Metode Ta’lili
Sunday, 29 January 2017
SUDUT HUKUM | Metode
ini merupakan metode yang berusaha menemukan illat (alasan)
dari pensyariatkan suatu hukum. Sehingga berdasarkan pada anggapan
bahwa ketentuan-ketentuan yang diturunkan Allah untuk mengatur
perilaku manusia ada alasan logis dan hikmah yang ingin dicapainya.
Sebab Allah tidak menurukan ketentuan dan aturan tersebut secara
sia-sia atau tanpa tujuan apa-apa. Secara umum tujuan tersebut adalah
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Tetapi secara lebih khusus,
setiap perintah dan larangan mempunyai alasan logis dan tujuan masing-masing.
Sebagian daripadanya disebutkan langsung di dalam al-Qur'an
atau al-hadits. Sebagian lagi diysariatkan saja dan ada pula yang harus
direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu.[1]
Jumhur ulama berpendapat
bahwa alasan logis tersebut selalu ada. Tetapi ada yang tidak terjangkau
oleh akal manusia sampai saat ini. Seperti alasan logis untuk berbagai
ketentuan dalam bidang ibadah. Alasan logis inilah yang digunakan
sebagai alat dalam metode ta’lili. Dalam hal ini, berdasarkan kegunaan
dan kedudukannya dalam penysari’atkan hukum, illat
dibagai menjadi
illat tasyri dan illat qiyasi.
Illat tasyri adalah illat yang digunakan untuk mengetahui apakah
sesuatu ketentuan dapat diteruskan berlaku atau sudah sepantasnya
berubah karena illat yang
mendasarinya telah bergeser. Kaidah
ini telah dirumuskan dalam sebuah kaidah kulliyah;
al-hukm yadurru ma’a al-illat wujudan wa’adaman. Maksudnya, ada dan tidaknya hukum
berputar sesuai dengan illatnya.[2]
Banyaknya
ketentuan fiqh yang berubah dan berkembang berdasarkan
kepada asas ini. Perubahan dapat dilihat dari dua segi;
- pemahaman tentang illat hukum itu sendiri yang berubah, sesuai dengan perkembangan pemahaman terhadap dalil nash yang menjadi landasannya. Misalnya pemahaman tentang illat zakat hasil pertanian. Yang biasa dipahami sebagai illat adalah makanan pokok atau dapat disimpan lama atau dapat ditakar atau dapat ditimbang atau hasil dari tanaman yang ditanam. Tetapi sekarang dipopulerkan pendapat bahwa illat tersebut adalah al-nama (produktif). Jadi semua tanaman yang produktif wajib dikeluarkan zakatnya.
- pemahaman terhadap illat masih tetap seperti sediakala, tetapi maksud tersebut akan tercapai lebih baik sekiranya hukum yang didasarkan kepadanya diubah. Contoh populer untuk hal ini adalah pembagian tanah al-fay’ (rampasan perang) di Irak pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Illat pembagiannya adalah agar tidak menjadi monopoli orang-orang kaya saja. Pada masa Rasulullah, kebun-kebun orang Yahudi yang kalah perang di Madinah dan Khaibar dibagi-bagikan kepada kaum muslimin. Tetapi Umar tidak mau membagi lahan-lahan pertanian Irak yang demikian subur dan luas, setelah selesai perang. Menurutnya pembagian itu akan melahirkan sekelompok orang kaya baru yang justru dihindari oleh al-Qur'an. Tanah tersebut harus menjadi milik negara dan disewakan kepada penduduk. Hasil sewa inilah yang dibagikan kepada orang-orang yang tidak mampu dan pihak-pihak yang memerlukan bantuan keuangan dari negara.[3]
Mungkin
dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, illat-illat yang
namanya masih tetap, tetapi ukuran atau kandungannya telah berubah.
Misalnya illat untuk
melakukan shalat khauf (surat
al-Baqarah ayat
239). Oleh jumhur ulama, illat tersebut ditafsirkan secara sempit hanya
mencakup takut karena perang atau binatang buas. Tetapi pada masa
sekarang, beberapa ulama di antaranya HAMKA menafsirkannya lebih
luas hingga mencakup antara lain takut kehilangan tempat duduk di dalam
kerata api yang padat.[4] Untuk pergeseran ukuran, dapat diberikan contoh
musafir sebagai illat mengqashar
shalat. Selama ini ukuran musafir
ditentukan dengan jarak kilometer. Tetapi karena zaman modern ini
alat transpormasi telah sangat beragam dibanding dengan masa Rasul, mungkin
ukuran tersebut akan lebih tepat dengan waktu tempuh.
Kemudian
illat qiyasi. Illat qiyasi adalah illat yang
digunakan untuk
mengetahui apakah ketentuan yang berlaku terhadap suatu masalah yang
dijelaskan oleh suatu dalil nash dapat diberlakukan pada ketentuan lain
yang tidak dapat dijelaskan oleh dalil nash, karena ada kesamaan illat antara
keduanya. Dengan kata lain, ketentuan pada masalah kedua yang tidak
ada dalil nashnya karena mempunyai illat yang sama. Inilah yang dinamakan
qiyas. Penalaran ini diterima secara luas di kalangan ulama fiqh.
Mereka menggunakan alasan-alasan dari al-Qur'an, hadits serta praktek
sahabat yang mendukung keabsahannya. Penolakannya hanya dari
kelompok zhahiri terutama Ibn Hazm, dengan alasan kegiatan ini tidak
diperlukan dengan mengada-ada terhadap firman Allah dan hadits Rasul.
Untuk
melakukan qiyas perlu
dipenuhi beberapa unsur dan persyaratan
yaitu; pertama, untuk
masalah pokok (maqis alaih) harus mempunyai
ketentuan yang berdasarkan dalil nash dan tidak ada keterangan
bahwa ketentuan tersebut berlaku khusus sehingga tidak boleh diberlakukan
pada masalah lain, misalnya ketentuan yang khusus untuk Nabi
s.a.w. Kedua, untuk
masalah baru (maqis) harus
tidak ada ketentuan nash
yang mengaturnya secara langsung. Dengan kata lain, masalah baru tersebut
belum diketahui hukumnya. Terhadap masalah-masalah yang ketentua
pokoknya telah sama-sama diatur oleh dalil nash dan ingin dilakukan
qiyas pada
bagian yang lain lebih terperinci, para ulama menetapkan
bahwa masalah baru (yang akan diqiyaskan) tersebut tidak boleh
disyari’atkan lebih awal dari masalah pokok, misalnya mengqiyaskan
hukum mebaca niat haji kepada mambaca niat shalat.
Ketentuan
haji disyari’atkan lebih belakang dari shalat. Membaca niat waktu
haji sunnah hukumnya. Tetapi ini tidak boleh diqiyaskan kepada membaca
niat shalat sehingga niat shalat pun dianggap sunah, karena penysariatan
shalat lebih awal dari haji tersebut. Ketiga, untuk illat yang ada
pada masalah pokok betul-betul ditemukan pada masalah baru dan relatif
sama kualitasnya. Dikatakan relatif, karena sulit mencari dua keadaan
yang betul-betul sama. Illat untuk qiyas mempunyai persyaratan relatif
lebih ketat daripada illat tasyri.
Yaitu harus merupakan keadaan yang
konkrit, harus dapat diukur sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian
hukum, harus mempunyai relevansi yang jelas sehingga terasa
logis dan rasional. Dan syarat yang lebih penting, tidak ada halangan
syari’at atau akilah yang menyebabkan illat pada masalah pokok tidak
berlaku pada masalah baru.
Inilah
persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam melakukan
qiyas. Tetapi
sebagian ulama masih menambahkan persyaratan
lain, misalnya ketentuan pada masalah pokok bukan merupakan
perkecualian dari kaidan umum. Contohnya izin memakan ikan
dan belalang tanpa disembelih adalah perkecualian dari kewajiban menyembelih
semua hewan. Karenanya, ketentuan ini tidak boleh diqiyaskan
kepada hewan lain seperti kodok atau blekicot. Tetapi pendapat seperti ini
dibantah oleh banyak ulama. Menurut mereka, sekiranya ketentuan untuk masalah
pokok telah terpenuhi, maka qiyas boleh
dilakukan, lepas dari kenyataan apakah dalil nash yang mengaturnya
merupakan perkecualian atau tidak. Sebab, ketentuan khusus atau
hukum perkecualian tersebut akan tetap berlaku selama kondisi dan persyaratan
dan kondisi khusus.
Dalam prakteknya, untuk sebuah masalah sering
ditemukan beberapa kemungkinan illat, sehingga para ulama harus melakukan
pilihan sebelum mengqiyaskannya. Penentuan pilihan ini merupakan
bidang ijtihad yang
luas dan tetap terbuka, sehingga selalu merangsang
para ulama untuk tetap memikirkan atau merenungkan kembali. Sekiranya
tingkat kekuatan illat tersebut
tidak sama ada yang jelas
dan ada yang tersembunyi itu karena ada pertimbangan khusus.
Pilihan
seperti ini dinamakan istihsan atau qiyas
khafi. Sebagai contoh bisa
dikemukakan ketentuan tentang larangan masuk masjid bagi orang haidh,
yang diqiyaskan kepada orang junub karena sama-sama hadas besar.
Ada ulama yang merasa qiysa di atas kurang tetap. Menurut mereka ada
unsur lain yang membedakan haidh dan junub. Walupun keduanya sama-sama
hadas besar. Junub bersifat ikhtiyari dan orang boleh bersuci secepat
dia inginkan, sedangkan haidh bersifat fitri dan tidak akan berhenti
sebelum waktunya habis, yang relatif lebih panjang waktunya dibanding dengan
junub. Karenanya tidak pantas larangan perempuan haidh memasuki masjid
kalau hanya diqiyaskan kepada junub.
[1]
Ibn Qayim al-Jawziyyah, I’lam
al-Muwaqi’in, Jilid I, Beirut Libanon: Daar al-Kitab al-Ilmiah, t.th., hlm. 196
[2] Muhtar
Yahya, op.cit., hlm. 550.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqh, terj. Saifullah Ma’sum, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1994, hlm. 364,
[4] HAMKA,
Tafsir al-Azhar, Jilid II, Jakarta: Nurul Islam, 1984, hlm.
255.