Pelaksananaan Demokrasi Liberal
Saturday, 28 January 2017
SUDUT HUKUM | Indonesia melaksanakan
demokrasi parlementer sejak tahun 1950 yang liberal dengan mencontoh sistem
parlementer barat, sehingga masa ini disebut masa demokrasi liberal. Indonesia
dibagi manjadi 15 Provinsi yang mempunyai otonomi berdasarkan UUDS tahun 1950.
Pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh suatu dewan menteri ( kabinet )
yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada
parlemen ( DPR ). Demokrasi liberal berlangsung sejak 3 November 1945, yaitu
sejak sistem multi-partai berlaku melalui Maklumat Pemerintah. Sistem
multi-partai ini lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku
sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama.
Di Indonesia, demokrasi liberal
mengalami perubahan-perubahan kabinet yang mengakibatkan pemerintahan menjadi
tidak stabil. Demokrasi liberal secara formal berakhir pada tanggal 5 Juli 1959
setelah dikeluarkannya dekrit presiden, sedang secara material berakhir pada
saat gagasan Demokrasi Terpimpin dilaksanakan. Demokrasi Liberal disebut juga
Demokrasi Parlementer, tapi tanpa parlemen yang sesungguhnya sampai
diselenggarakannya pemilihan umum pertama tahun 1955. Dengan
demikian, periode Demokrasi Liberal yang sesungguhnya
baru dimulai setelah pemilihan umum pertama itu, sekalipun dalam praktiknya
telah berjalan sejak November 1945.
Ciri utama masa Demokrasi
Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah
partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas
mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil
usaha pembentukan partai ( kabinet formatur ). Bila dalam perjalanannya
kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka
kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang (
umumnya ketua partai ) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil
pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden. Suatu kabinet dapat
berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia
memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen
kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis
kabinet.
Selama sepuluh tahun
(1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur
satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah :
- Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
- Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
- Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
- Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
- Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
- Kabinet Ali II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
- Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Program kabinet pada umumnya
tidak dapat diselesaikan. Mosi yang diajukan untuk menjatuhkan kabinet lebih
mengutamakan merebut kedudukan partai daripada menyelamatkan rakyat. Sementara
para elit politik sibuk dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan
karena adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian yang
menimbulkan labilnya sosial-ekonomi. Dalam periode demokrasi liberal terdapat
beberapa hal yang secara pasti dapat dikatakan telah melekat dan mewarnai
prosesnya, yaitu:
- Penyaluran Tuntutan
Tuntutan terlihat sangat intens
(frekuensinya maupun volumenya tinggi) dan melebihi kapasitas sistem yang
hidup, terutama kapasitas atau kemampuan mesin politik resmi. Melalui sistem
multi-partai yang berlebihan, penyaluran input sangat besar, namun kesiapan
kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya. Selektor dan penyaring aneka
warna tuntutan itu kurang efektif berfungsi, karena gatekeeper (elit
politik) belum mempunyai konsensus untuk bekerja sama, atau pola kerjasama belum cukup
tersedia.
- Pemeliharaan dan Kontinuitas Nilai
Keyakinan atas Hak Asasi
Manusia yang demikian tingginya, sehingga menumbuhkan kesempatan dan kebebasan
luas dengan segala eksesnya. Ideologisme atau aliran pemikiran ideologis bertarung
dengan aliran pemikiran pragmatik. Aliran pragmatik diilhami oleh paham
sosial-demokrat melalui
PSI, sedangkan yang beraliran ideologik diilhami oleh nasionalisme-radikal
melalui PNI.
- Integrasi Vertikal
Terjadi hubungan antara elit
dengan massa berdasarkan pola integrasi aliran. Integrasi ini tidak selalu
berarti prosesnya dari atas (elit) ke bawah (massa) saja, melainkan juga dari
massa ke kalangan elit berdasarkan pola paternalistik.
- Integrasi Horisontal
Antara elit politik tidak
terjalin integrasi yang dapat dibanggakan. Walaupun pernah terjalin integrasi
kejiwaan antarelit, tetapi akhirnya berproses ke arah disintegrasi. Di lain
pihak, pertentangan antar elit itu bersifat menajam dan terbuka. Kategori elit
Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity makers) lebih
menampak dalam periode demokrasi liberal. Walaupun demikian, waktu itu terlihat
pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselangselingan
pergantian kepemimpinan seperti kelompok administrators yang dapat memegang
peranan.
- Gaya Politik
Bersifat idiologis yang berarti
lebih menitikberatkan faktor pembeda. Karena ideologi cenderung bersifat kaku
dan tidak kompromistik atau reformistik. Adanya kelompok-kelompok yang
mengukuhi ideologi secara berlainan, bahkan bertentangan pada saat berhadapan
dengan penetapan dasar negara pada sidang Konstituante. Gaya politik yang
ideologik dalam Konstituante ini oleh
elitnya masing-masing dibawa ke tengah rakyat, sehingga timbul ketegangan dan
perpecahan dalam masyarakat.
- Kepemimpinan
Berasal dari angkatan Sumpah
Pemuda pada tahun 1928 yang lebih cenderung, belum permisif untuk meninggalkan
pikiran-pikiran paternal, primordial terhadap aliran, agama, suku, atau
kedaerahan.
- Pola Pembangunan Aparatur Negara
Berlangsung dengan pola bebas,
artinya ditolerir adanya ikatan dengan kekuatankekuatan politik yang berbeda
secara ideologis. Akibatnya, fungsi aparatur negara yang semestinya melayani
kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan
golongan menurut ikatan primordial.
Sistem politik pada masa
demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya partai– partai politik, karena
dalam sistem kepartaian menganut sistem multi partai. Konsekuensi logis dari
pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal parlementer gaya barat dengan
sistem multi partai yang dianut, maka partai-partai inilah yang menjalankan
pemerintahan melalui perimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 –
1959, PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR, dan dalam waktu
lima tahun ( 1950 -1955 ) PNI dan Masyumi silih berganti memegang kekuasaan
dalam empat kabinet. Akan tetapi terjadinya
instabililitas politik yang berakibat negatif bagi pembangunan dalam masa
demokrasi liberal ini.
Rujukan:
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta: Gema Insani Press, 1996.