Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
Saturday, 28 January 2017
SUDUT HUKUM | Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan:
Hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishash untuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhsan, riddah, dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang dilakukan berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk Islam.
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti spionase dan melakukan kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail.
Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran dan assunah. Demikian pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhshan.
Dari uraian tersebut jelas bahwa hukuman mati untuk jarimah ta’zir, hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya, dengan syarat-syarat sebagai berikut.
Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.
Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada jilid dalam had agar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, disamping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam ta’zir dengan sifat jilid dalam hudud.
Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian perut dan dada, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya.
a. Hukuman Mati
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti spionase dan melakukan kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail.
Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Alquran dan assunah. Demikian pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan antara muhsan dan ghair muhshan.
- Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati
- Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi.
Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.
b.Hukuman Jilid (Dera)
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ibn Taimiyah, dengan alasan karena sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada jilid dalam had agar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, disamping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam ta’zir dengan sifat jilid dalam hudud.
Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian perut dan dada, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya.