Wali Nikah Bagi Anak Temuan
Sunday, 22 January 2017
SUDUT HUKUM | Susunan orang-orang yang sah
menjadi wali nikah, adalah:
- Bapak
- Datuk (kakek), yaitu bapak dari bapak
- Saudara laki-laki sekandung
- Saudara laki-laki sebapak
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak
- Saudara bapak yang laki-laki (paman)
- Anak laki-laki dari paman
- Hakim
Akan tetapi, perlu digaris bawahi
bahwa kekuasaan penguasa atau hakim sebagai wali bagi orang-orang
yang belum cakap bertindak hukum, merupakan kekuasaan umum yang sifatnya
tidak begitu kuat, para ulama mengatakan perwalian yang bersifat khusus
(seperti ayah, paman, kakek, atau orang yang diberi wasiat oleh ayahnya jika
ia meninggal dunia) lebih kuat dari pada perwalian umum (penguasa dan hakim).
Menurut jumhur ulama, diantaranya
Malik, As-Tsaury, Al-Laits, dan Syafi'i, bahwa yang berhak
menjadi wali adalah “ashabah”( yakni para kerabat terdekat dari pihak ayah)2sebagaimana yang
disebutkan di atas, kecuali hakim (nomor 1-8). Bahkan menurut Syafi'i,
suatu pernikahan baru di anggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat,
baru dilihat urutannya secara tertib. Selanjutnya bila wali yang jauh pun tidak
ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.Perlu juga diketahui, bahwa wali
yang dekat, yang ditahan atau ditawan, sama dengan wali yang jauh, walaupun
berada dalam satu kota.
Berbeda dengan Abu Hanifah, semua
kerabat si wanita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan menjadi
wali nikah. Sebagaimana sudah dijelaskan diatas, bahwa wanita boleh
menikahkan dirinya sendiri dan menikahkan orang lain, dibenarkan juga menjadi
wali zul arham dalam pembagian warisan.
Islam melarang pembunuhan anak
dengan alasan apa pun, baik karena kemiskinan, ancaman kemiskinan,
atau gairah yang berlebihan akan “kehormatan”. Di zaman pra-Islam
(yang dinamakan zaman jahiliah), beberapa orang gadis atau anak perempuan
dikuburkan hidup-hidup karena kemiskinan atau untuk melindungi keluarga dari
risiko perilaku buruk dan memalukan. Al-Qur'an mencela hal itu dengan
sangat keras.
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka..(QS. al-An'am: 151)
Seorang anak mempunyai kehormatan
(harga diri), maka harus dipelihara dan dididik serta diperbaiki
keadaannya. Jadi
apabila kita menemukan anak yang terbuang kita wajib
memungutnya, karena memungut anak temuan merupakan pemurnian/ penyelematan
dari kehancuran dan amal sukarela yaitu dengan menjaganya/ merawat/
mengasuh.
Mayoritas ulama sependapat bahwa
orang yang menemukan lebih utama untuk memelihara anak tersebut.
Akan tetapi, kemudian mereka berselisih pendapat tentang siapa yang
berhak menjadi wali nikah bagi anak temuan tersebut ketika anak temuan tersebut akan
menikah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa
hakim adalah orang yang berhak menjadi wali bagi orang yang
tidak mempunyai wali. Mereka berpegang juga pada hadits nabi yang
diriwayatkan Ibnu Abbas yang telah disepakati keshahihannya, dan bunyi hadits
tersebut adalah:
Tidak dipandang sah nikah tanpa wali, dan penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.
Berdasarkan hadits di atas
menurut mereka orang yang berhak menjadi wali nikah bagi orang yang tidak
memiliki wali (anak temuan) adalah penguasa (hakim). Sebagaimana yang telah
kita ketahui bahwa hakim adalah urutan terakhir dari susunan wali.
Kemudian ketentuan wali dalam
hukum pernikahan di Indonesia dapat ditemukan pada Kompilasi Hukum
Islam mulai dari Pasal 20 sampai Pasal 23 KHI, bagian ketiga pasal 19
menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Tidak adanya wali dalam perkawinan menyebabkan pernikahannya batal.
Selanjutnya pasal 20 disebutkan
bahwa:
(1) Yang bertindak sebagai wali
nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syariat hukum Islam
yakni muslim, akil dan baligh
(2) Wali nikah terdiri dari
a. Wali nasab
b. Wali hakim
Disebutkan dalam pasal 23 bahwa:
(1) Wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau aib atau
adlal atau enggan
(2) Dalam hal wali adlal atau
enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada
keputusan pengadilan agama tentang wali tersebut.
Wali terdiri dari wali nasab dan
wali hakim. Wali nasab adalah ayah, kakek dari pihak ayah, kemudian laki-laki
dari pihak saudara, dari pihak paman dan laki-laki dari pihak saudara
kakek. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali apabila tidak ada wali bagi calon
mempelai istri atau karena adlolnya (tidak mau menikahkan) wali yang ada.
Bila berkumpul wali-wali yang
setaraf maka hendaklah yang menikahkan itu orang yang lebih dalam
pengetahuannya tentang agama dan lebih taqwa. Dalam hal ini boleh saja hak
perwalian itu pindah
1. Dari wali akrab kepada wali ab'ad
Hak perwalian itu dapat pindah
dari wali akrab kepada wali ab'ad, apabila wali akrabnya:
a) Tidak beragama Islam
b) Fasiq
c) Belum dewasa
d) Gila
e) Pikun (fasid pikirannya karena
lupa)
f) Bisu
g) Budak
2. Dari wali nasab kepada wali
hakim
Hak perwalian itu pindah dari
wali nasab kepada wali hakim, apabila wali nasabnya:
a) Tidak ada sama sekali
b) Adlol (tidak mau menikahkan)
atau terjadi perselisihan diantara perempuan dengan wali
c) Mafqud (hilang tidak diketahui
tempat tinggalnya)
d) Sedang ihram (haji atau umrah)
e) Bepergian jauh tanpa
meninggalkan wakil
f) Ditahan atau dipenjara serta
tidak dapat ditemui
g) Tidak memenuhi syarat, sedang
ab'ad tidak ada atau tidak memenuhi syarat.