Eksistensi Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sunday, 22 January 2017
SUDUT HUKUM | Eksistensi proses restorative
justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana sangat ditentukan
oleh legal culture baik dari masyarakat termasuk aparatur penegak hukumnya.
Pemahaman peradilan yang hanya mengedepankan penerapan aturan membuktikan
kesalahan pelaku dan lalu menghukumnya tidak bisa menerima konsep ini. Baginya
peradilan adalah hak negara untuk mengenakan sanksi kepada warganya yang telah
melanggar aturan. Penjeraan dan atau rehabilitasi menjadi faktor yang sangat
populis di dalamnya, perhatian peradilan didominasi oleh kepentingan pelaku,
masyarakat dan negara.
Martin
Stephenson menyatakan:
Restorative justice lebih pada penyelesaian masalah antara para pihak dalam hubungan sosial dari pada menghadapkan pelaku dengan aparat pemerintah. Falsafat just peace principle diintegrasikan dengan the process of meeting, discussing and activety participating in the resolutian of the criminal matter. Integrasi pelaku di satu sisi dan kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.
Di Indonesia
Sistem peradilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, terdapat perubahan fundamental sebagai upaya mengatasi kelemahan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Perubahan fundamental yang ada antara lain
digunakannya pendekatan restorative justice melalui sistem diversi.
Dalam peraturan ini diatur mengenai kewajiban para penegak hukum dalam
mengupayakan diversi (penyelesaian melalui jalur non formal) pada seluruh
tahapan proses hukum.
Dalam Pasal 1
ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyatakan:
Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”
Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Sistem
Peradilan Pidana Anak meliputi:
- penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
- persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
- pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Dalam sistem
peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b
wajib diupayakan Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Restorative
justice telah lama
diterapkan dalam masyarakat Indonesia, contoh seorang pelaku yang menabrak
orang lain yang menimbulkan cidera atau meninggal, tidak jarang serta merta
berusaha memberi perhatian dengan mengambil tanggungjawab pengobatan, memberi
uang duka, meminta maaf, dan sebagainya. Hal ini disebutkan di atas bisa juga
dikatakan sebagai bentuk penghukuman pemidanaan terhadap pelaku atas apa yang
telah dilakukannya, meskipun sesungguhnya kelalaian yang mengakibatkan
seseorang meninggal atau mengalami luka-luka dapat dikenakan pidana penjara
berdasar Pasal 359, 360 KUHP.
Restorative
justice adalah
konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada
ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Restorative Justice harus
juga diamati dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatan.
Dari kenyataan
yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan
terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi
korban, dan keadilan bagi masyarakat. Hal inilah yang mendorong ke depan konsep
”restorative justice”.
Kemudian Bagir
Manan dalam tulisannya juga, menguraikan tentang substansi ”restorative
justice” yaitu:[1]
Restoratif Justice adalah suatu yang berisi prinsip-prinsip, antara lain: Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai “stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions).”
Berbicara
sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam
suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti
di sini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi masyarakat. Sistem peradilan pidan dianggap berhasil apabila sebagian
besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dan
diputuskan bersalah serta mendapat pidana.
Menurut
Remington dan Ohlin menyatakan:
criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.”
Pengertian
sistem ini sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil
tertentu dengan segala keterbatasannya Istilah criminal justice system Hagan
membedakan criminal justice system dengan criminal justice process:
Criminal justice process diartikan sebagai setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.”
Menurut Muladi
menyatakan :
“Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah :a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; danc) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.”
Komponen-komponen
yang bekerjasama dalam sistem peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan (LP). Keempat komponen ini diharapkan
bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan intergrated criminal justice
system. Muladi menegaskan bahwa:
“Makna Integrated criminal justice system merupakan suatu sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam:a) Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan dalam rangka hubungan antarlembaga penegak hukum;b) Sinkronisasi substansi (substansi syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan yang bersifat vertical dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; danc) Sinkronisasi cultural (cultural syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.”
Dalam sistem
peradilan pidana dikenal 3 (tiga) bentuk pendekatan, antara lain :
- Pendekatan normatif memandang keempat aparat penegak hukum sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.
- Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi.
- Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial.
Menurut Muladi
bahwa:
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materril, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana.”
Namun
kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal
jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana
berupa ketidakadilan. Sehingga sistem peradilan pidana tidak hanya mengejar
kebenaran formal tetapi juga kebenaran materiil atau nilai-nilai yang hidup dan
diakui dalam masyarakat.
[1] Bagir
Manan, Perlu Ada Perdamaian di Luar Pengadilan, Media Indonesia,
Jakarta, 2000, hlm. 2.