Konsep Maslahah dalam Hukum Islam
Wednesday, 8 February 2017
SUDUT HUKUM | Dalam pemikiran hukum Islam bila
dikaitkan dengan perubahan social, muncul dua teori; Pertama,
teori Keabadian yang meyakini bahwa hukum Islam tidak mungkin bisa
berubah dan dirubah sehingga tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan
zaman. Peran akal manusia hanya memahami doktrin teks-teks hukum.
Kedua, teori
Adaptabilitas yang meyakini bahwa hukum Islam, sebagai hukum yang diciptakan
Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bisa beradaptasi dengan perkembangan
zaman, sehingga ia bisa dirubah demi ewujudkan kemaslahatan umat
manusia. Hukum Islam terikat dan dipahami menurut latar belakang
sosio-kultural yang mengelilinginya, sehingga peran akal dapat memahami perputaran
hukum.
Dasar lahirnya teori
adaptabilitas adalah prinsip Maslahah, yang merupakan tujuan hukum Islam itu
sendiri. Prinsip maslahah ini yang membuat hukum Islam mampu
merespons setiap perubahan sosial. Dalam catatan sejarah, eksistensi
maslahah sebagai metode istinbath hukum bila dikaitkan dengan peran akal di
dalamnya, memunculkan corak maslahah yang berbeda-beda di kalangan
pemikiran hukum Islam.
Kata maslahah yang dalam
Bahasa Indonesia dikenal dengan maslahat, berasal dari Bahasa
Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara etimologi
berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan. Maslahah merupakan
bentuk masdar (adverd) dari fi‟il (verb) salaha. Dengan
demikian terlihat bahwa, kata maslahah dan kata manfaat yang juga berasal dari
Bahasa Arab mempunyai makna atau arti yang sama.
Sedangkan menurut istilah atau
epistemology, maslahah diartikan oleh para ulama Islam dengan
rumusan hampir bersamaan, di antaranya al- Khawarizmi (w. 997 H.)
menyebutkan, maslahah adalah al-marodu bilmaslahatil- mukhaafazatu 'ala maqsudi-syar'i bidaf'i-l mufaasidi „ani-lkholqi, yaitu memelihara tujuan hukum
Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang
merugikan diri manusia (makhluq).
Sedangkan ulama telah
berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal,
harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan. Tidak jauh berbeda dengan
al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai
suatu tindakan memelihara tujuan syara‟
atau tujuan hukum Islam, sedangkan
tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali adalah memelihara lima hal di
atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima
hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah,
dan menolak mafsadah disebut maslahah. Sedangkan
menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai orang yang paling popular
dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah-mursalah
mengatakan
bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus
yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakan syara‟.
Tujuan syara’ yang harus
dipelihara tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Apabila seseorang melakukan aktivitas yang pada intinya untuk
memelihara kelima aspek tujuan syara’ diatas, maka dinamakan maslahah.
Disamping itu untuk menolak segala bentuk kemadhorotan (bahaya)
yang berkaitan dengan kelima tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.
Imam al-Ghazali
memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan
dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan
manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada
kehendak syara’, tetapi sering didasarkan pada hawa nafsu. Oleh sebab itu, yang
dijadikan patokan dalam mentukan kemaslahatan itu adalah kehendak
dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Kemaslahatan yang dapat dijadikan
pertimbangan untuk menetapkan hukum menurut al-Ghazali adalah
apabila; Pertama, maslahah itu sejalan dengan tindakan syara’. Kedua,
maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
Ketiga, maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dhoruri,
baik yang menyangkut kemaslahatan pribadi maupun orang banyak dan
universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Maslahah menurut Abu
Ishak al- Syathibi dapat dibagi dari beberapa segi: pertama, dari segi
kualitas dan kepentingan kemaslahatan ada tiga macam, yaitu:
(a) Maslahah al-Dharuriyyah
Kemaslahatan yang berhubungan
dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat, yakni
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan
dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini disebut dengan al-mashalih
al-khamsah.
(b) Maslahah al-Hajiyah
kemaslahatan yang dibutuhkan
untuk menyempurnakan atau mengoptimalkan kemaslahatan pokok
(al-mashalih al-khamsah) yaitu berupa keringanan untuk
mepertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia (al-mashalih
al-khamsah) diatas.
(c) Maslahah al-Tahsiniyyah,
Kemaslahatan yang sifatnya
komplementer (pelengkap), berupa keleluasan dan kepatutan yang
dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya ( maslahah
al-hajiyyah).
Kedua, dari segi
keberadaan maslahah, ada tiga macam, yaitu :
(a) Maslahah al-Mu‟tabarah
Kemaslahatan yang didukung oleh
syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk
dan jenis kemaslahatan tersebut.
(b) Maslahah al-Mulghah
Kemaslahatan yang ditolak oleh
syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
(c) Maslahah al-Mursalah
Kemaslahatan yang keberadaannya
tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara’
melalui dalil yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat
atau hadits). Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu maslahah
gharibah dan maslahah mursalah.
Maslahah
gharibah adalah
kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada
dukungan syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Al-Syathibi
mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek,
sekalipun ada dalam teori. Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak
didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh
sekumpulan makna nash.
Jumhur Ulama Ushul Fiqh (Ulama
Hanafiyah, Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah)
menetapkan bahwa maslahah dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum,
apabila memenuhi tiga syarat: Pertama, kemaslahatan itu sejalan dengan
kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash
secara umum. Kedua, kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti,
bukan sekedar perkiraan sehingga hukum yang diterapkan melalui maslahah
al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau
menolak kemudaratan. Ketiga, kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang
banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Alasan Jumhur ulama Ushul Fiqh,
antara lain :
(a). Hasil induksi terhadap ayat
atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat
manusia.
(b). Kemaslahatan manusia
senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka
sendiri. Apabila Syari’at Islam terbatas pada teks-teks hukum yang ada,
akan membawa kesulitan.
(c). Merujuk kepada tindakan yang
dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi SAW., antara lain Umar Ibn
al-Khaththab tidak memberi zakat kepada para mu’allaf, karena
kemaslahatan orang banyak menuntut hal itu. Abu Bakar Ash-Shiddiq mengumpulkan
al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab sebagai salah satu
kemaslahatan kelestarian al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu
logat bahasa di zaman Utsman bin Affan demi memelihara tidak terjadinya
perpedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.
Rujukan:
- Malcom H. Keer, Moral and Legal Judgment Indevendent of Relevation, Philosophy: East and West 18, 1968,
- Ahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta: PT LKIS, 2005.
- Muhammad Khalid Mas’ud, Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Shatibi‟s Life and Thought, terj. Yudian W Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: al-Ikhlas, 1995,
- Abu Ishak Al Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Beirut: Dar al-Ma’rifah. 1973.