Pengertian Dan Sejarah Mazhab Hukum Islam
Friday, 24 February 2017
SUDUT HUKUM | Secara
bahasa mazhab dapat berarti pendapat (view, opinion, ra’yi), kepercayaan,
ideologi (belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, paham, aliran
(doctrine, teaching, school –
al-ta’lim wa al-thariqah). Sebagaimana disebutkan
di atas, wujud hukum Islam bermula dari pendapat perseorangan terhadap
pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang penemuan hukum
terhadap suatu kejadian (waqi’ah) yang ada. Tentu, pendapat tadi dapat
mewujudkan sosok hukum dengan menggunakan metode yang digunakan
secara spesifik.
Bermula
dari pendapat perorangan yang dilengkapi dengan metode itu kemudian
diikuti oleh orang lain atau murid, yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat
perseorangan itu kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu
seterusnya diikuti oleh orang lain. Dari pendapat dengan metodenya perseorangan
itu, kemudian menjadi sebuah metode dalam pendapat yang dianggap
baku dan disebutlah dengan sebuah mazhab.
Jika
diperhatikan, hukum Islam merupakan pendapat perseorangan kemudian
diikuti oleh murid-muridnya, lalu dianggap sebagai pendapat yang paling
kuat di daerah atau kota tertentu. Ketika itulah maka disebut dengan mazhab
sebuah kota atau daerah, yang seolah menjadi sebuah consensus (ijma’) dari masyarakat kota atau daerah
tersebut. Maka ada mazhab Hijazi, yaitu pendapat tentang hukum Islam, yang
bermula dari pendapat perseorangan
kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan melebar diikuti oleh orang-orang
menjadi sebuah consensus. Mazhab Hijazi kemudian terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu mazhab Madinah dan mazhab Makkah. Di sisi lain,
muncul juga mazhab Iraqi, yaitu pendapat tentang hukum Islam, yang bermula
dari pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan
melebar diikuti oleh orang-orang di sebuah daerah di wilayah Iraq.
Kemudian,
mazhab Iraqi mengelompok menjadi dua, yakni mazhab Kuffah
dan mazhab Basrah. Ada mazhab lain yang popular yaitu mazhab Syam.
Oleh karenanya dalam sejarahnya ada tiga mazhab besar atas dasar kedaerahan
ini yakni mazhab Iraqi, mazhab Hijazi dan mazhab Syami. Perlu ada
catatan, bahwa sebenarnya ada pula mazhab di Mesir yang mempunyai karakter
tersendiri. Namun di daerah-daerah yang sudah ada nama mazhab kedaerahan
itu tetap masih terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Pengelompokan
mazhab atas kedaerahan ini berakhir dengan munculnya imam
Syafi’i.
Dalam
perkembangan berikutnya, mazhab yang semula sangat terdominasi
oleh pendapat kedaerahan, lalu kembali lagi ke pendapat perseorangan.
Di masing-masing daerah muncul perkembangan pendapat yang berbeda.
Dari pendapat-pendapat yang berbeda ini kemudian mengerucut kepada
pendapat perseorangan. Pendapat perseorangan yang dilengkapi dengan
metodologi (manhaj) yang dipakai ini kemudian menguat. Mazhab yang
semula didasarkan atas nama daerah, seperti uraian singkat di atas, kemudian
berubah menjadi mazhab yang dinisbahkan kepada nama-nama perseorangan.
Di antara sekian banyak mazhab, yang paling popular ada empat
mazhab di kalangan ahlussunnah waljama’ah atau biasa disebut dengan mazhab
sunni.
Selanjutnya,
perkembangan mazhab hukum Islam tidak lepas dari kebijakan
politik pada masa pemerintahan kekhalifahan. Beberapa peristiwa politik
yang melahirkan dan mempengaruhi perkembangan hukum Islam dapat dirunut
dari akar kesejarahan politik khilafah Abbasiyah.
Peristiwa
politik yang berorientasi kepada semangat umat Islam dan banyak
berpengaruh bagi perkembangan fiqih adalah jatuhnya dinasti Bani Umayah
dan tampilnya dinasti Abbasiyah di panggung kekuasaan. Pada masa daulah
Abasiyah, bukan sekedar penting bagi negara tetapi justru merupakan urusan
pertama dan utama bagi negara. Dengan kondisi ini para ahli agama, termasuk
hukum Islam mempunyai tempat di lingkaran pemerintahan terutama
pada wilayah qudlat karena harus di dasarkan pada perintah agama.
Dengan
dinasti baru inilah tiba saatnya perkembangan dan kesuburan hukum Islam. Abad
ini merupakan abad fiqih, abad ahli yurisprudensi, dan abad fuqaha’.
Qadli merupakan tokoh terhormat dan penting. Pada masa ini studi tentang
yurisprudensi berkembang secara intensif dari pusat kekuasaan sampai pusat
daerah negeri yang paling terpencil. Upaya dan usaha pengembangan ilmu
pengetahuan hukum tersebut didukung oleh moril dan metriil, sehingga masyarakat
maju dengan pesat.
Beberapa
mazhab fiqih tersebut dapat dikategorikan kepada tiga kelompok
besar, yaitu kelompok Ahlussunnah, Syi’ah dan Khawarij. Mazhab-mazhab hukum
Ahlusunnah banyak sekali, di antaranya adalah mazhab Sufyan
Al-Tsauri di Kufah, mazhab Al-Auza’i di Syam, mazhab Al-Syafi’i dan
Laits bin Sa’ad di Mesir, mazhab Ishaq bin Rahawiyah di Nisabur, mazhab
Ibnu Abi Layla, mazhab Ibnu Jarir, mazhab Abu Tsaur, mazhab Ahmad
bin Hanbal, dan mazhab Daud al-Asfihani atau al-Dzahiri di Baghdad.
Namun
demikian dari sekian banyak mazhab hukum Islam hanya empat
yang sampai sekarang diakui kalangan Sunni sebagai mazhab yang mu’tabar. Dari
keempat mazhab ini kemudian hukum Islam berkembang ke seluruh
dunia. Masing-masing negara dapat dilihat mazhab apa yang dominan. Di
Saudi Arabia yang dominan adalah mazhab Hanbali, di India, Pakistan dan Turki
yang dominan adalah mazhab Hanafi, di Afrika Utara yang paling dominan
adalah mazhab maliki, sedangkan di Indonesia dan Malaysia yang paling
dominan adalah mazhab Syafi’i.
Perlu
diketahui bahwa mazhab telah mendominasi perkembangan hukum
Islam selama berabad-abad. Bahkan tidak jarang pemikiran hukum Islam
di dalam masing-masing mazhab itu difahami secara doktrinal dan dogmatik.
Artinya, pendapat imam mazhab dan beberapa ulama besar yang mengikatkan
dirinya pada mazhab tertentu menjadi sebuah doktrin. Yang
terjadi kemudian adalah mazhab dalam hukum Islam seolah-olah menjadi
agama baru yang memainkan peranan penting dalam keberagamaan umat
Islam.
Setelah para pendiri mazhab meninggal, para pengikut mazhab yang
ekstrim tidak bisa menahan diri untuk saling bertikai. Konflik ini mencapai
puncaknya pada abad 11 M di Baghdad dan sekitarnya. Tetapi dalam
hal ini, harus dicermati bahwa sesungguhnya di antara para pendiri mazhab
terdapat kemesraan hubungan guru murid. Sungguh mereka bahkan mempunyai
jaringan intelektual bersama yang cukup kuat. Dengan
demikian perbedaan
di antara mereka sama sekali tidak menimbulkan perpecahan apalagi
fanatisme ajaran yang menjadikan mereka saling berselisih secara tajam
dan membabi buta.
Perbedaan
pendapat dan mazhab tersebut ada pengaruh faktor budaya kedaerahan
atau yang biasa disebut dengan ‘urf
atau al-adah
(adat kebiasaan), meskipun
pengaruhnya tidak semata-mata pada esensi hukumnya, namun lebih
pada pengaruh terhadap mujtahid / faqih yang kemudian berdampak pada
hasil pemikiran atau ijtihadnya. Oleh karena itu, di Indoensia juga muncul
pendapat untuk menciptakan “mazhab ala Indonesia”. Atau setidaknya agar
berusaha menemukan hukum Islam yang sesuai dengan sosio kultural bangsa
Indonesia, yang dalam banyak hal terdapat perbedaan dengan sosio kultural
masyarakat di negara-negara Arab.
Dengan ini maka mazhab dapat berkembang
bukan hanya karena menyangkut pada pemikiran para ulama pendiri
mazhab akan tetapi bisa menurut daerah. Di sinilah Islamic area studies perlu
ditumbuhkembangkan sehingga sangat mungkin apa yang terjadi pada
masa lalu dengan adanya mazhab kedaerahan akan terulang pada saat sekarang ini.