Politik Luar Negeri Arab Saudi
Tuesday, 28 February 2017
SUDUT HUKUM | Arab Saudi adalah
sebuah negara Islam, dengan demikian tentu adaketerkaitan yang erat dengan
Islam, baik dalam ideologi, agama dankebudayaan. Kendati demikian, alasan
pedoman agama dan bentuk pemerintahan monarki absolut tidak membuat Arab Saudi
menutup mata terhadap hubungan internasional. Arab Saudi aktif menjalin
hubungan bilateral dengan beberapa organisasi internasional seperti PBB, GCC,
OKI, serta organisai internasional lainnya. Politik luar negeri Arab Saudi
dibedakan atas tiga fase yang sesuaidengan perkembangannya serta kekuasaan yang
dimilikinya. Politik luar negerisuatu negara tidak dapat dilepaskan dari situasi
politik dalam negerinya. Ideologi Arab Saudi yang anti radikalisme dan
kombinasi dari ciri-ciri wahhabisme yang menjadikan politik luar negerinya
memiliki tiga fase.
Ketiga fase tersebut mempunyai hubungan dan merupakan
elemen-elemen dari kebijaksanaan cita-cita Islam Arab Saudi dan Fase-fase
tersebut adalah:
- Dynastic Alliance (1932-1956)
- Arab Cold War (1956-1967)
- Aid and Oil Politics (1967- sekarang)
Pada fase pertama
tahun 1932 dimana pada waktu itu gerakan wahhabisme sedang tumbuh di wilayah
tersebut. Dengan melihat kekurangan sumber-sumber ekonomi yang dimilikinya, dan
minimnya kemampuan militernya, menjadikan Raja Abdul Aziz berfikir lebih keras
agar negaranya mampu bertahan dengansegala kekurangannya. Melihat kondisi yang
demikian, Raja Abdul Aziz melakukan diplomasi atau politik pragmatis demi
mewujudkan keamanan bagi negaranya.
Selama kebijakan ini,
Arab Saudi menunjukkan adanya kesadaran Islamiyah, terbukti dengan adanya
pemberian bantuan militer kepada bangsa Palestina secara diam-diam untuk
melaksanakan pemberontakan yang bertujuan mengurangi pengaruh Inggris di
Palestina pada tahun 1936-1939 bersama-sama dengan Mesir melawan ambisi dinasti
Hashimite karena dianggap mempunyai hubungan yang erat dengan Inggris. Arab
Saudi ingin menunjukkan sikap solidaritasnya yang tinggi dengan negara-negara
Arab guna memperlihatkan perlawanannya terhadap pembagian wilayah di Palestina.
Berbeda dengan fase
pertama, pada fase kedua ini Arab Saudi lebih berhati-hati dalam mengambil
sikap berkaitan hubungannya dengan Mesir. Pemerintah Saudi menganggap bahwa
Mesir adalah pioner dari ideologi radikal yang berujung pada demokratisasi.
Negara ini benar-benar menghindari ideologi yang radikal, yang mana menurut
pandangan Arab Saudi bahwa ideologi islam radikal itu akan berujung pada
gerakan-gerakan revolusi.
Dalam perang dingin
Arab, pemerintah Arab Saudi mencoba mengimbangi pan Arabisme dan solidaritas
Islam. Arab Saudi berupaya untuk menjalin hubungan persahabatan dengan
negara-negara Islam non-Arab, seperti Irak. Dimana padatahun 1965 timbul reaksi
dari Kairo yang menuduh bahwa Arab Saudi dan Irak berkeinginan untuk membentuk
pakta Islam sebagai alat untuk menghancurkan persatuan Arab.
Di bawah Raja Faisal,
politik luar negeri Arab Saudi terhadap Negara-negara Arab dapat dikategorikan
sebagai politik yang konservatif. Arab Sauditidak menginginkan adanya perubahan
status quo serta adanya perubahan-perubahan teritorial negara-negara Arab
akibat adanya usaha federasi atauintegrasi seperti apa yang telah dilakukan
oleh negara-negara Arab pada waktuitu. Selain itu Arab Saudi selalu berupaya
untuk menangkal ideologi yang revolusioner sebagaimana yang disebarkan oleh
negara-negara pan Arab yang berpusat di Kairo. Untuk mengimbangi arus
revolusioner negara-negara republik Arab, Arab Saudi berusaha menjalin
persahabatan dengan negara monarki Arab lainnya seperti Yordania, Kuwait,
Maroko, Yaman royalis dan Libya sebelum revolusi Qaddafi 1969.
Adanya perang saudara
di Yaman kian memperuncing pertentangan kubu konservatif dan kubu revolusioner.
Dalam hal ini Mesir membantu kaum republik yang menginginkan terjadinya
pergulingan terhadap sistem monarki, sedangkan Arab Saudi melakukan counter
intervensi dengan membantu kaum royalissehingga mengakibatkan kegagalan
intervensi Mesir di Yaman, tetapi pada hakikatnya perang merupakan arena
konfrontasi antara kekuatan revolusioner dan kekuatan status quo di dunia Arab.
Dan dengan adanya perang tersebut, Mesir dan Syria menjadi terkucil dari dunia
Arab, sedangkan keretakan ideologi di duniaArab makin berkurang.
Pecahnya perang
Arab-Israel merupakan perang kilat, yakni terjadi selama enam hari, yang
terjadi pada tanggal 5 Juni 1967 dimana Mesir, Syria dan Yordania mengalami
kekalahan. Tentunya hal ini mengakibatkan posisi negaraArab Saudi semakin kuat
sehingga mampu mempengaruhi setiap momen penting yang terjadi di dunia Arab.
Seusai perang Arab-Israel, sengketa Yaman dapat diselesaikandengan adanya
konferensi Khortum dimana Arab Saudi menawarkan bantuan kepada Mesir untuk
menarik pasukannya dari Yaman dan Arab Saudi menyetujui berdirinya suatu
republik di Yaman. Dengan demikian Arab Saudi menganggap Mesir bukan lagi
sebagai sebuah ancaman bagi kepentinggannya di kawasan Teluk. Selanjutnya Arab
Saudi kemudian menghimbau Mesir dan negara-negara yang berada di garis depan
untuk lebih memfokuskan perhatian kepada Israel, Palestina maupun Yerussalem
yangdianggap sebagai lawan yang radikal di kawasan Teluk.
Pada fase ketiga yang
dimulai sejak tahun 1967, Arab Saudi muncul sebagai sebuah negara yang dominan
dan berusaha merubah perimbangan kekuasaan di Timur-Tengah sesudah adanya
perang Arab-Israel 1967, serta berusaha meningkatkan kekayaan minyaknya. Untuk
itu Arab Saudi menjadi dewan pimpinan OPEC maupun OAPEC. Sampai saat ini
peranan Arab Saudi masih berpengaruh, dan sangat vital dalam menentukan harga
minyak dunia serta produk untuk mengambil garis kebijaksanaan yang moderat
dalam menolak ekstrimisme dalam dunia perminyakannya.Arab Saudi merumuskan
kebijakannya untuk memelihara stabilitas dan kesejahteraanekonomi internasional
serta tidak merusak perdamaian hidup manusia.
Pada fase ketiga ini,
sejak tahun 1967, di dalam politik luar negerinya, Arab Saudi mempunyai tiga
sasaran utama, yaitu:
- Mendukung negara-negara Arab termasuk Palestina melawan Israel. Dukungan ini juga ditujukan agar tercapainya perdamaian Arab-Israel. Arab Saudi tahu bahwa Israel mempunyai kemampuan untuk menghancurkan ladang minyaknya.
- Tercapainya stabilitas dan keamanan, serta berjuang untuk membendung pengaruh radikalisme, terutama komunisme yang dianggap bahaya utama untuk agama islam dan kebudayaan Arab salah.
- Memajukan Islam dengan memperjuangkan suatu kebangkitan Islam di lingkungan global.
Adapun beberapa
program tersebut adalah dengan memajukan perkembangan sosial dan ekonomi dalam
dunia Islamtermasuk menyebarkan nilai-nilai dan norma-norma islam. Diantaranya
adalah pembentukan bank Islam yang di nilai mampu memberikan manfaat dan
bantuan kepada negara-negara Islam. Kemampuan ekonomi, militer dan sosial yang
dimiliki oleh Arab Saudi menjadikan negara ini memiliki peran yang cukup
penting dalam hal donasi atau bantuannya kepada negara-negara Islam. Bantuan
yang diberikan oleh Arab Saudi terhadap negara-negara Islam diperkirakan hampir
mencapai 96% pada tahun 1976, dan ¾ diantaranya diberikan kepada negara-negara
Arab.
Pada tahun 1970an
politik luar negeri Arab Saudi bisa dikatakan lebih aktif daripada tahun-tahun
sebelumnya. Ideologi Islam tidak hanya berfungsi sebagai alat politik luar
negerinya, tetapi secara terus-menerus makin memperkuat otoritas Arab Saudi
sebagai penegak nilai-nilai Islam.
Pecahnya perang
Arab-Israel tahun 1973 menyebabkan Arab Saudi melakukan embargo minyak ke
negara-negara terkemuka yang mempunyai pengaruh besar dalam percaturan politik
dunia. Pengaruh Arab Saudi yang semakin meningkat secara efektif menunjang bagi
kepemimpinannya di dunia Arab. Berkat kekayaan yang digunakan untuk menunjang
politik luar negerinya, maka pada tahun 1970an sampai dengan sekarang, Arab
Saudi mempunyai peran penting dalam politik regional dan internasional, sesuai
dengan arah politik luar negerinya yang liberal dan pro-barat.
Hubungan Arab Saudi
dengan negara-negara barat lainnya yakni Inggris, Prancis dan Jerman semakin
meningkat, bahkan ketiga negara tersebut merupakannegara pengekspor senjata
bagi Arab Saudi, dimana kontrak pembelian senjata Arab Saudi dengan
negara-negara itu hampir mencapai 11 milyar dollar.
Sebagai negara
berorientasi non blok, Arab Saudi juga mempunyai hubungan dengan negara-negara
yang sehaluan, khususnya dengan negara-negara di benua Asia dan Afrika terutama
dengan Islam. Hal ini dikarenakan Arab Saudi ingin menggalang solidaritas Islam
internasional. Arab Saudi yang bergabung dalam OKI juga berusaha meningkatkan
kerjasama dengan negara-negara anggota OKI lainnya. Kemudian, hubungan Arab
Saudi dengan negara-negara Teluk yang tergabung dalam The Gulf Coorperation
Council (GCC) juga ditingkatkan. Terbukti dengan meningkatnya konsepsi
pertahanan kawasan oleh negara-negara itu sendiri, sedang pihak luar hanya
boleh membantu dengan memberikan senjata-senjata yang diperlukan.
Hal ini
dilakukan karena adanya kekhawatiran akan campur tangan pihak asing yang
dinilai dapat memperkeruh konflik di kawasan Timur Tengah. Jika berbicara
mengenai politik luar negeri Arab Saudi, tentunya tidak bias lepas dari
hubungannya dengan Amerika Serikat, sikap pro-barat dan anti komunis yang
dianut Arab Saudi mendorong terjalinnya hubungan dengan barat terutama dengan
Amerika Serikat sangat erat bahkan sudah sampai tingkat sekutu.
Secara politis,hal
demikian bisa dimengerti karena adanya alasan kepentingan
pembangunan,pertahanan dan keamanan Arab Saudi yang sangat mengandalkan dunia
barat. Hubungan keduanya dinilai mempunya persamaan kepentingan, antara
lain:
- Arab Saudi dan Amerika Serikat sama-sama anti komunis dan antigerakan radikal revolusioner,
- Arab Saudi dan Amerika Serikat menginginkan stabilitas di kawasanTeluk,
- Arab Saudi beserta Amerika Serikat mempunyai kepentingan terhadap kelangsunganmengalirnya minyak ke negara-negara industri agar tetapmenguntungkan bagi pihak penjual maupun pembeli minyak.
Hubungan Arab Saudi
dan Amerika Serikat merupakan hubungan yang special dan komplementer dengan
kehadiran ARAMCO sejak tahun 1933 yang merupakan penghubung paling kuat di
antara kedua negara tersebut. Arab Saudi adalah salah satu kawan dagang Amerika
Serikat yang terpenting, yang maksudnya Amerika Serikat membeli minyak Arab
Saudi dengan imbalannya, maka Arab Saudi mengeluarkan 25% dari anggaran belanjanya
untuk mengimpor senjata dari Amerika Serikat, dan dapat dikatakan bahwa Amerika
Serikat mensuplai sekitar 90% keperluan militer bagi Arab Saudi.Amerika Serikat
di sini bertindak sebagai pelindung intergritas wilayah dan keamanan nasional
Arab Saudi. Pada saat Mesir melakukan pemboman atas wilayahArab Saudi semasa
perang saudara di Yaman pada awal tahun 1960-an pesawatpesawat Amerika terbang
di atas wilayah sama sebagai ancaman terhadap Mesir untuktidak meneruskan
petualangan militernya di wilyah Arab Saudi.
Pada saat Arab Saudi
mengalami ketakutan terhadap ancaman ekspor revolusi Republik Islam Iran,
Amerika memberikan komitmen pembelaannya terhadapeksistensi Arab Saudi.
Ketergantungan Arab Saudi terhadap perlindungan militerAmerika Serikat kian
menguat tahun 1979 dalam kasus sebagi berikut:
- Tahun 1979, Khomeini mengambil alih Iran dan menetapkan ekspor revolusi,
- November 1979, terjadi pendudukan Mekkah oleh para pemberontak antipenguasa Arab Saudi,
- Desember 1979, Uni Soviet invasi ke Afghanistan yang memperkuat kekhawatiran akan kian meluasnya pengaruh komunisme Uni Soviet di Timur Tengah.
Bagi Amerika Serikat,
Arab Saudi adalah salah satu Negara koalisinya yang bisa membantunya dalam
mencapai kepentingan Amerika di kawasan Teluk. Kebijakan tersebut tetap berlanjut
pada masa-masa berikutnya.