Sejarah Hukum Udara di Indonesia
Sunday, 26 February 2017
SUDUT HUKUM | Negara Kesatuan Republik
Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) merupakan wilayah kepulauan dengan
perbandingan 2: 3 antara daratan dan perairan dimana kapal dan pesawat udara
asing mempunyai hak lintas untuk melintasi alur alut yang telah ditetapkan. Hal
ini sangat berpotensi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat udara
asing karena terbukanya ruang udara diatas Alur Laut Kepulauan Indonesia
(selanjutnya disebut ALKI).
Untuk itu diperlukan adanya undang-undang negara untuk mengantisipasinya baik ruang udara di wilayah ruang udara Indonesia secara keseluruhan maupun ruang udara diatas ALKI, Kedaulatan negara di ruang udara, wilayah kedaulatan, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pada Bab III Kedaulatan Atas Wilayah Udara pada: Pasal 4 menyatakan bahwa NKRI berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara NKRI. Sebagai negara berdaulat, NKRI memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara NKRI, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.19Ketentuan dalam Pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab NKRI untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah NKRI secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan NKRI.
Untuk itu diperlukan adanya undang-undang negara untuk mengantisipasinya baik ruang udara di wilayah ruang udara Indonesia secara keseluruhan maupun ruang udara diatas ALKI, Kedaulatan negara di ruang udara, wilayah kedaulatan, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pada Bab III Kedaulatan Atas Wilayah Udara pada: Pasal 4 menyatakan bahwa NKRI berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara NKRI. Sebagai negara berdaulat, NKRI memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara NKRI, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.19Ketentuan dalam Pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab NKRI untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah NKRI secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan NKRI.

Dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan:
negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiapa negara mempunyai kedaulatan penuh
dan eksklusif ats ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang
terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua Konvensi ini dengan sengaja
menjelaskan bahwa wilayah negar juga terdiri dari laut wilayahnya yang
berdekatan. Hal ini juga dinyatakan oleh Pasal 2 Konvensi Jenewa mengenai Laut
wilayah dan oleh Pasal 2 ayat (2) konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982.
Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah negara, yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara di selat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibetnya, kecuali kalau ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang di atas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara di bawahnya. Hal ini sering terjadi di atas wilayah udara Indonesia bagian barat 2014 Pelanggaran oleh Heinz Peier Lanud Soewondo Medan yang memasuki Wilayah Udara Indonesia.
Indonesia bagian timur oleh pesawat udara pelanggaran oleh pesawat Beechraft, yaitu Tan Chin Kia (Kapten Pilot), Mr Z Heng Chia (siswa), Xiang Bo Hong (siswa) oleh Lanud Supadio Pontianak. Pesawat berjenis „beechcraft‟ buatan tahun 95 ini tengah menuju utara setelah lepas landas dari Darwin. Pesawat Australia ini lantas dipaksa turun di Manado, Sulawesi Utara, setelah dua pesawat Sukhoi Indonesia, yang diterbangkan dari pangkalan udara Makasar tahun 2014.
Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pesawat udara merupakan apek penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang di buat oleh negara-negara. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut.
Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan tanggung jawab negara melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) ayat (3) yang menyatakan, bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir “hak menguasai oleh negara” atas sumber daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah negara, yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara di selat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibetnya, kecuali kalau ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang di atas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara di bawahnya. Hal ini sering terjadi di atas wilayah udara Indonesia bagian barat 2014 Pelanggaran oleh Heinz Peier Lanud Soewondo Medan yang memasuki Wilayah Udara Indonesia.
Indonesia bagian timur oleh pesawat udara pelanggaran oleh pesawat Beechraft, yaitu Tan Chin Kia (Kapten Pilot), Mr Z Heng Chia (siswa), Xiang Bo Hong (siswa) oleh Lanud Supadio Pontianak. Pesawat berjenis „beechcraft‟ buatan tahun 95 ini tengah menuju utara setelah lepas landas dari Darwin. Pesawat Australia ini lantas dipaksa turun di Manado, Sulawesi Utara, setelah dua pesawat Sukhoi Indonesia, yang diterbangkan dari pangkalan udara Makasar tahun 2014.
Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pesawat udara merupakan apek penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang di buat oleh negara-negara. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut.
Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan tanggung jawab negara melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) ayat (3) yang menyatakan, bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir “hak menguasai oleh negara” atas sumber daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Makna dari
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bahwa ruang udara sebagaimana penjelasan
sebelumnya merupakan sumber daya alam yang dikuasai negara. Istilah “dikuasai”
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti “dimiliki” oleh negara,
melainkan memberikan arti kewenangan sebagai organisasi atau lembaga negara untuk
mengatur dan mengawasi penggunannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sesuai Konvensi Chicago Tahun 1944, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa setiap
negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive
souvereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari Pasal
tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan
utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah : (1) setiap negara
berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara
nasionalnya; (2) tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional
tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam
suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral
maupun multilateral.
Secara yuridis
formal wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara holistik, sampai dikeluarkannya
perjanjian atau konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982. Sejak ditetapkannya konvensi tersebut sebagai hukum
internasional dan telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985,
menyebabkan negara Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kewajiban
menyediakan ALKI (archipelagic sea lane passages) yang merupakan jalur
lintas damai bagai kapal-kapal asing.
Hal tersebut juga berlaku pada wilayah udara di atas alur laut tersebut. Meskipun demikian, pemberlakuan ketentuan tersebut belum ada kesepakatan antara International Maritime Organization (IMO) dan International Civil Aviation Organization (ICAO), akibatnya belum ada ketentuan adanya pesawat udara yang mengikuti alur laut tersebut. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan merupakan salah satu hukum nasional sebagai salah satu bentuk implementasi dari Konvensi PBB tentang HukumLaut tahun 1982, secara horizontal wilayah kedaulatan Indonesia adalah wilayah daratan yang berada di gugusan kepulauan Indonesia. Sedangkan wilayah perairan, mencakup: (1) laut teritorial, yaitu jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia; (2) perairan kepulauan, yaitu semua perairan yang terletak pada sisi dan garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai; (3) perairan pedalaman, yaitu perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil dan di pelabuhan.
Hal tersebut juga berlaku pada wilayah udara di atas alur laut tersebut. Meskipun demikian, pemberlakuan ketentuan tersebut belum ada kesepakatan antara International Maritime Organization (IMO) dan International Civil Aviation Organization (ICAO), akibatnya belum ada ketentuan adanya pesawat udara yang mengikuti alur laut tersebut. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan merupakan salah satu hukum nasional sebagai salah satu bentuk implementasi dari Konvensi PBB tentang HukumLaut tahun 1982, secara horizontal wilayah kedaulatan Indonesia adalah wilayah daratan yang berada di gugusan kepulauan Indonesia. Sedangkan wilayah perairan, mencakup: (1) laut teritorial, yaitu jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia; (2) perairan kepulauan, yaitu semua perairan yang terletak pada sisi dan garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai; (3) perairan pedalaman, yaitu perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil dan di pelabuhan.
Undang-undang
lain yang terkait dengan wilayah kedaulatan adalah Undang-undang No. 5 Tahun
1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dalam undang-undang tersebut
secara umum dinyatakan bahwa wilayah perairan Indonesia juga mencakup Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) yaitu jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah
sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 6 Tahun 1996 yang meliputi dasar laut,
tanah dibawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal.
Dari uraian di atas, bahwa batas wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional
belum di atur dalam peraturan perundang-undangan yang ada, hanya menetapkan
bahwa Indonesia mempunyai wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan. Kegiatan penerbangan merupakan salah satu wujud kegiatan dan atau
usaha terhadap wilayah kedaulatan atas wilayah udara yang diberi wewenang dan
tanggung jawab kepada Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU No. 15
Tahun 1992, bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah
udara Republik Indonesia Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara,
penerbangan dan ekonomi nasional.
Sebagaimana
penjelasan Pasal 5 UU No. 15 Tahun 1992 disebutkan, bahwa wilayah udara yang
berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia
merupakan kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Bentuk lain wujud dari penyelenggaraan
kedaulatan atas wilayah udara nasional Indonesia, adalah penegakan hukum
terhadap pelanggaran pesawat udara yang terbang pada kawasan terlarang baik
nasional maupun asing sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 15
Tahun 1992, bahwa pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang
terbang melalui kawasan udara terlarang, dan terhadap pesawat udara yang
melanggar larangan dimaksud dapat dipaksa untuk mendarat di pangkalan udara
atau bandara udara di dalam wilayah NKRI.
Dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka pertahanan dan keamanan negara dan keselamatan penerbangan. Dalam penjelasan Pasal tersebut dinyatakan, kawasan udara terlarang terdiri atas kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (prohibited area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan, dan kawasan udara terlarang yang bersifat terbatas (restricted area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atas kepentingan umum, misalnya pembatasan ketinggian terbang, pembatasan waktu operasi, dan lain-lain. Meskipun diatur pelarangan terbang di kawasan udara terlarang dalam undang-undang tersebut, namun tidak diatur secara tegas wewenang dan tanggung jawab terhadap penenggakan hukum di kawasan udara tersebut.
Dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka pertahanan dan keamanan negara dan keselamatan penerbangan. Dalam penjelasan Pasal tersebut dinyatakan, kawasan udara terlarang terdiri atas kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (prohibited area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan, dan kawasan udara terlarang yang bersifat terbatas (restricted area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atas kepentingan umum, misalnya pembatasan ketinggian terbang, pembatasan waktu operasi, dan lain-lain. Meskipun diatur pelarangan terbang di kawasan udara terlarang dalam undang-undang tersebut, namun tidak diatur secara tegas wewenang dan tanggung jawab terhadap penenggakan hukum di kawasan udara tersebut.
Wujud dari
bentuk wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional selain pelarangan di
kawasan udara terlarang tersebut atas, juga terdapat pelarang-an lain yaitu
perekaman dari udara menggunakan pesawat udara sebagai-mana ditetapkan dalam
Pasal 17 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1992, bahwa dilarang melakukan perekaman dari
udara dengan menggunakan pesawat udara kecuali atas izin Pemerintah. Pelarangan
tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Dari
beberapa ketentuan pelarangan sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 1992
sebagai wujud pengakuan wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional, tetapi
tidak mengatur wewenang dan tanggung jawab penegakkan hukum di
ruang udara nasional sebagai wilayah kedaulatan di udara dan di kawasan udara
terlarang.