Cara Terjadinya Penghibahan dalam Hukum Islam
Friday, 17 March 2017
SUDUT HUKUM | Di
antara cara-cara hibah
yang terkenal ialah penerimaan (al-qabdh). Ulama
berselisih pendapat, apakah penerimaan itu menjadi cara atau syarat akad
atau tidak. Imam Taqi al-Din menyatakan setiap yang boleh dijual boleh pula
dihibahkan. Menurut
Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, hibah terjadi
dengan ijab, misalnya "saya hibahkan barang ini kepadamu" atau saya milikkannya
kepadamu" atau saya anugerahkannya kepadamu", dan juga qabul
yang bersambung dengan ijab, misalnya "saya menerima" atau "saya puas".
Sedangkan
Syekh Muhammad ibn Qasīm al-Gāzi menandaskan tidak sah
hukumnya suatu hibah kecuali dengan adanya ijab dan qabul yang diucapkan. Ats-Tsauri, Syafi'i dan Abu Hanifah
sependapat bahwa syarat hibah adalah penerimaan. Apabila barang tidak diterima, maka
pemberi hibah tidak
terikat. Imam Malik berpendapat bahwa hibah menjadi
sah dengan adanya
penerimaan, dan calon penerima hibah boleh dipaksa untuk menerima, seperti
halnya jual beli. Apabila penerima hibah memperlambat
tuntutan untuk menerima
hibah sampai pemberi hibah itu mengalami pailit menderita sakit, maka
batallah hibah
tersebut.
Apabila
pemberi hibah
menjual barang hibah, maka dalam hal ini Imam
Malik merinci pendapatnya. Yakni apabila penerima hibah mengetahui tetapi
kemudian berlambat-lambat, maka ia hanya memperoleh harganya. Tetapi
jika ia segera mengurusnya, maka ia memperoleh barang yang dihibahkan
itu.
Jadi,
bagi Imam Malik penerimaan merupakan salah satu syarat kelengkapan
hibah, bukan syarat hibah. Sementara bagi Imam Syafi'i dan Abu Hanifah
termasuk syarat hibah.
Imam Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa
hibah
menjadi sah dengan terjadinya akad,
sedang penerimaan tidak menjadi
syarat sama sekali, baik sebagai syarat kelengkapan maupun syarat hibah.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh golongan Zhahiri.
Tetapi
dari Imam Ahmad juga diriwayatkan bahwa penerimaan menjadi
syarat hibah
pada barang yang dapat ditakar dan
ditimbang. Fuqaha yang
tidak mensyaratkan penerimaan dalam hibah yaitu
karena menurut Imam Malik,
Imam Ahmad dan Abu Tsur hibah itu serupa dengan jual beli. Di samping
bahwa pada dasarnya penerimaan (al-Qabdhu) itu untuk sah akadakad itu
tidak dipersyaratkan adanya penerimaan, kecuali jika ada dalil yang mensyaratkan
penerimaan.
Berbeda
halnya dengan fuqaha yang mensyaratkan penerimaan, maka Imam
Syafi'i dan Abu Hanifah berpegangan dengan penerimaan yang diriwayatkan
dari Abu Bakar ra. pada riwayat hibahnya kepada 'Aisyah ra. Riwayat
ini merupakan nash tentang disyaratkannya penerimaan bagi sah hibah.
Mereka
juga berpegangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik
dari Umar ra. bahwa ia berkata:
Bahwasannya Malik telah mengabarkan kepadaku dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdurrahim bin Abdul Qoriy, sesungguhnya Umar bin Khattab berkata: Kenapakah orang-orang yang memberikan pemberian kepada anakanaknya kemudian mereka menahannya? Apabila anak salah seorang dari mereka meninggal, maka berkatalah ia, "Hartaku ada di tanganku, tidak kuberikan kepada seorang pun". dan jika ia hendak meninggal, maka ia pun berkata, "Harta tersebut untuk anakku, telah kuberikan kepadanya". Maka barang siapa memberikan suatu pemberian, kemudian orang yang memberikannya tidak menyerahkannya kepada orang yang diberinya dan menahannya sampai jatuh ke tangan ahli warisnya apabila ia meninggal, maka pemberian itu batal.
Ali
ra juga berpendapat seperti itu. Imam Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa pendapat Umar tersebut merupakan ijma' sahabat, karena dari
mereka tidak diriwayatkan adanya perselisihan berkenaan dengan hal itu. Akan
halnya Imam Malik, maka ia menyandarkan kepada dua perkara bersama-sama,
yakni qiyas dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, kemudian ia
menggabungkan keduanya.
Ditinjau
dari kedudukan hibah
sebagai salah satu akad, maka Imam Malik
berpendapat bahwa penerimaan tidak menjadi syarat hibah. Dan ditinjau
dari kenyataan bahwa para sahabat mensyaratkan adanya penerimaan, sebagai
suatu penyumbat jalan keburukan (saddu'dz-dzari'ah) yang disebutkan oleh
Umar ra., maka Imam Malik menjadikan penerimaan pada hibah sebagai syarat
kelengkapan dan bukan menjadi kewajiban dalam akad hibah. Kemudian
jika ia berlambat-lambat sehingga masa penerimaan habis, karena pemberi
hibah
menderita sakit atau mengalami pailit,
maka orang yang diberi hibah
ini gugur haknya.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda
pendapat tentang syarat sahnya hibah, khususnya berkenaan dengan persoalan
serah terima. Perbedaan tersebut terjadi karena masing-masing ulama
menggunakan pendekatan dan titik berbeda.