Hak Ulayat menurut UUPA
Thursday, 16 March 2017
SUDUT HUKUM | Politik dualisme hukum, membawa
akibat-akibat buruk bagi pemahaman dan bekerjanya hukum di Indonesia, terutama
jika dilihat dari segi substansinya yang tidak kontekstual karena belum
menjawab setiap permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan Indonesia saat
ini. Menyadari kelemahan tersebut, Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960
(UUPA) mencoba menyelesaikannya, khususnya yang berkaitan dengan bumi, air dan
ruang angkasa. Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 september 1960, maka
berakhirlah masa dualisme hukum pertanahan di Indonesia dan menjadi suatu
unifikasi hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya
sebagai landasan utama hukum pertanahan nasional. Dengan demikian hak atas
tanah yang bersumber pada hukum adat seperti yang bersangkutan dengan hak
ulayat juga mengalami perubahan.
Pada masa pemerintahan Hindia
Belanda belum pernah hak ulayat diakui secara resmi di dalam undang-undang
bahkan seringkali hak ulayat diabaikan meskipun ada dan berlaku di lingkungan
masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang hak ulayat sejak berlakunya UUPA
menemuhi sedikit titik terang, hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal
3 UUPA yang menentukan bahwa:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Pengertian hak ulayat dalam
UUPA secara eksplisit tidak ditemukan, namun berdasarkan ketentuan tersebut,
pengakuan hak ulayat dibatasi pada dua hal yakni berkenaan dengan eksistensi dan pelaksanaanya. Dengan
demikian, jelaslah bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat masih diakui keberadaanya sepanjang dalam kenyataanya di masyarakat
masih ada. Kalau sudah ada, tidaklah perlu untuk membuat adanya hak ulayat
baru.
Penjelasan
Umum II angka (3) menegaskan bahwa kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus
tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas.
Hak ulayat pelaksanaanya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan yang lebih luas itu. Tidak dapat dibenarkan masih mempertahankan
isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari
masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya, di dalam lingkungan
negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian jelas bertentangan dengan asas
pokok Pasal 2 dan dalam praktek pun akan membawa akibat terhambatnya usaha
besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya.
Ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk mendudukan hak ulayat pada tempat yang sewajarnya
dalam alam bernegara dewasa ini. Artinya, hak ulayat diperhatikan sepanjang hak
tersebut menurut kenyataanya masih ada (berlaku) pada masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Jika masih ada (berlaku), pelaksanaanya tidak boleh
dilakukan secara mutlak, seakan-akan terlepas hubungannya dengan
masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lain di lingkungan NKRI.
Pengakuan
eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat
masyarakat hukum adat telah ada, dan hidup sebelum terbentuknya NKRI. Berkaitan
dengan pengakuan keberadaan hak ulayat, Boedi Harsono (1999:193), menentukan bahwa UUPA tidak memberikan
kriterianya. Alasan para perancang dan pembentuk UUPA untuk tidak mengatur
tentang hak ulayat adalah karena pengaturan hak ulayat, baik dalam penentuan
kriteria eksistensi maupun pendaftaranya, akan melestarikan keberadaan hak
ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak ulayat.
Kecenderungan tersebut dipercepat dengan bertambah kuatnya hak-hak individu,
melalui pengaturanya dalam bentuk hukum yang tertulis dan penyelenggaraan
pendaftarannya yang menghasilkan surat-surat tanda pembuktian haknya.
Berpegang pada
konsepsi yang bersumber pada hukum adat, menurut Maria Sumardjono (2009:171),
kiranya adil bila kriteria penentu eksistensi hak ulayat didasarkan pada adanya
tiga unsur yang harus dipenuhi secara simultan. Pertama, yakni adanya subyek
hak ulayat, yaitu masyarakat hukum adat; Kedua, Obyek hak ulayat, yakni
tanah wilayah yang merupakan lebensraum-nya; Ketiga adanya
kewenangan tertentu dari masyarakat hukum adat itu untuk mengelola tanah
wilayahnya, termasuk menentukan hubungan yang berkenaan dengan persediaan,
peruntukan dan pemanfaatan serta pelestarian tanah wilayahnya itu.
Hal tersebut
barangkali tidak sulit untuk memahaminya dari belakang meja. Masalahnya akan
menjadi tidak sederhana ketika harus berhadapan dengan peristiwa hukum yang
konkret. Dalam kenyataanya ketiadaan kriteria persyaratan eksistensi hak ulayat
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi hak ulayat
atas tanah masyarakat hukum adat. Tanpa adanya kriteria obyektif, pihak yang
berhadapan dengan masyarakat hukum adat (pemerintah atau swasta) dapat secara
sepihak menafikan keberadaan masyarakat hukum adat. Secara
obyektif, posisi tawar masyarakat hukum adat berhadapan dengan pihak yang
posisinya lebih kuat dari segi politik ataupun modal, jelas tidak seimbang.