Pemerasan dalam Fikih Jinayah
Saturday, 11 March 2017
SUDUT HUKUM | Konsep jinayah berasal
dari kata jana, yajni yang berarti kejahatan, pidana, kriminal. Jinayah
adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan
kerugian atau kerusakan terhadap agama, jiwa, akal, dan harta benda. Adapun
hukum pidana Islam atau jinayah adalah hukum pidana yang ada dalam
lingkung hukum Islam, terjemahan dari konsep ‘uqubah, jarimah, dan jinayah.
Istilah pidana dalam kamus
Umum Bahasa Indonesia berarti kejahatan atau kriminal, seperti pembunuhan,
perampokan, korupsi, dan lainnya. Menurut Moeljanto,
hukum pidana adalah hukum yang mengatur
perbuatan-perbuatan pidana yang berlaku di negara tertentu.
Dasar-dasar dan aturan tersebut
bertujuan sebagai berikut:
- Menentukan jenis-jenis perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi para pelanggar larangan tersebut.
- Menentukan waktu dan bentuk yang telah dilanggar yang dapat dikenakan atau dijatuhui pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
- Menentukan dengan cara pemindanaan yang dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Moeljanto menyatakan
bahwa hukum pidana adalah hukum publik, yaitu yang mengatur hubungan
antarnegara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Adapun perbuatan
yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, atau dikenal dengan
istilah perbuatan pidana atau delik adalah tindakan kejahatan, misalnya
pencurian, penggelapan, penganiayaan, dan lain-lain.
Hukum pidana Islam berasal dari
konsep hukum Islam yang berhubungan dengan tindak kriminal. Istilah-istilah
tersebut antara lain:
- ‘Uqubah, yang berarti hukuman atau siksa,5 sedangkan menurut terminologi hukum Islam, al-’uqubah adalah hukum pidana Islam yang meliputi hal-hal yang merugikan ataupun tindak kriminal.
- Jarimah, berasal dari akar kata jarama, yajrimu, jarimatan, yang berarti “berbuat” dan “memotong”. Kemudian, secara khusus dipergunakan terbatas pada “perbuatan dosa” atau “perbuatan yang dibenci”. Kata jarimah juga berasal dari kata ajrama yajrima yang berarti “melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, keadilan, dan menyimpang dari jalan yang lurus”.
Secara etimologi, kata jinayah
berasal dari kata jana yajni jinaayatan, yang berarti berbuat dosa. Istilah lain
dari jarimah yang berarti segala larangan yang diancam Allah dengan sanksi
hukum yang ditentukan (had) atau yang tidak ditentukan. Arti dari
“segala larangan” dapat berupa perbuatan aktif melakukan tindakan yang
diperintahkan. Hal ini menunjukan bahwa istilah jarimah yang mengandung
pengertian tindakan yang dilarang dan diancam oleh hukum.
Dengan demikian, hubungan
pemerasan dalam aturan Fikih Jinayah pada umumnya ada 3 pembagian Jarimah dan
penerapan Hukumnya. Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya. Akan
tetapi, secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari
beberapa segi.
1) Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman had. Penegrtian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh
syara’ dan menjadi hak Allah (hak masyarakat).Dengan demikian ciri khas jarimah
hudud itu adalah sebagai berikut:
- Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
- Hukuman tersebut merupak hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia si samping hak Allah maka hak Allah yang lebih menonjol.
- Dalam hubungannya dengan hukuman had maka penegrtian hak Allah di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarga) atau masyarakat yang diwakilkan oleh negara.
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut:
- Jarimah zina
- Jarimah qazdaf
- Jarimah syurbul khamr
- Jarimah pencurian
- Jarimah hirabah
- Jarimah riddah
- Jarimah Al Baqyu (pemberontakan)
Dalam jarimah zina,
syurbul khamar, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang dilanggar adalah hak
Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan qazdaf
(penuduhan zina) yang disinggung di samping hak Allah, juga terdapat hak
manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.
2) Jarimah qishash dan diat
Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qishash dan diat. Baik qishash maupun diat keduanya adalah hukuman yang
sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa had
merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak
manusia (individu).
Dalam hubungannya dengan
hukuman qishash dan diat itu adalah:
- Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada minimal atau maksimal;
- Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
3) Jarimah ta’zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ya’dib atau memberi pelajaran. Ta’zir juga
diartikan Ar Rad wa Al Man’u, artinya menolak dan mencegah.
Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’,
melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya.
Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan hukum secara
global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menentapkan hukuman
masing-masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan
hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Dengan demikian ciri khas dari jarimah
ta’zir itu adalah sebagai berikut:
- Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
- Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa.
Berbeda dengan jarimah hudud
dan qishash maka jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya. Hal ini oleh karena
yang termasuk jarimah ta’zir ini adalah setiap perbuatan maksiat yang
tidak dikenakan hudud had dan qishash, yang jumlahnya sangat banyak.
Tujuan diberikannya hak
penentuan jarimah-jarimah ta’zir dan hukumnya kepada penguasa adalah agar
mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingan, serta
bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.
Jarimah ta’zir di samping ada yang diserahkan penentuannya
sepenuhnya kepada ulil amri, juga ada yang memang sudah ditetapkan syara’,
seperti riba yang sebenarnya sudah ditetapkan syara’ (hudud) akan tetapi
syarat-syarat untuk dilaksanakannya hukuman tersebut belum dipenuhi. Misalnya,
pencurian yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri kurang dari nishab
pencurian, yaitu seperempat dinar.