Sanksi Tindak Pidana Pemerasan dalam Hukum Islam
Saturday, 11 March 2017
SUDUT HUKUM | Dari uraian yang
sudah dipaparkan diatas, bisa diketahui bahwa kalau dilihat dari
perspektif hukum pidana Islam, tindak pidana pemerasan mempunyai penjabaran,
sebagai berikut.
Masalah penipuan di website,
kasus pemerasan melalui e-mail, pencemaran nama baik
dengan menggunakan media internet seperti e-mail, mailing,
list, penyebaran pornografi di website, penyebaran foto atau film pribadi yang vulgar
di internet, kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang
lain tidak berfungsi. Dalam kasus ini bisa dikatagorikan pada jarimah ta’zir.
Dari berbagai paparatn di atas, maka dapat dipahami bahwa kejahatan apa
pun bentuknya, baik konvensional maupun kejahatan yang dilakukan
melalui internet atau cybercrime tidak akan lepas dari hukuman, oleh karena
mengganggu ketertiban umum yang sangat diperlihara oleh Islam. Seiring
dengan itu di dalam hukum positif dikenal dengan adagium “setiap
kejahatan tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa hukuman” (aut punere
aut de dere, nullum crimen sine poena).
Cybercrime
dalam hal ini pemerasan sudah masuk dalam ranah jarimah
ta’zir bukan termasuk jarimah qishash dan hudud. Sebab bisa dipastikan bahwa di
zaman Rasulullah belum ditemukan teknologi computer dan internet seperti
zaman ini. Maka dari itu tidak ada satu ayat atau hadis pun yang menyebutkan
secara eksplisit kejahatan dunia maya seperti yang ada di zaman sekarang ini.
Berdasarkan hak yang
dilanggar oleh pelaku, Imam Muhammad Abu Zahra membagi hukuman
ta’zir menjadi dua, yaitu ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah dan
sanksi ta’zir yang berkaitan dengan pelanggaran hak manusia.
Selanjutnya ia memberikan
contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan hak
Allah dan pelakunya harus dihukum ta’zir, diantaranya perbuatan bid’ah,
pelecehan terhadap Nabi Muhammad, perdangangan manusia, berbisnis
narkoba, manipulasi, riba, dan kesaksian palsu. Adapun beberapa
contoh pelanggaran yang berkaitan dengan hak manusia terutama pada
kasus pemerasan. Disamping adanya pengembalian nama baik yang
dilakukan pelaku karena memfitnah korban, masih terdapat sanksi lagi berupa ta’zir
memelihara hak manusia.
Ibnu Aqil berpendapat
bahwa pemfitnah termasuk pemerasan maupun perampokan
muslim yang mengganggu orang lain boleh dihukum ta’zir. Pendapat ini
sama dengan pendapat yang menyatakan bahwa pelaku bid’ah atau
orang-orang yang selalu berbuat kerusakan juga boleh dihukumi ta’zir sesuai dengan
keputusan hakim.
Hal ini disesuaikan
dengan Hadist berikut:
Dari Ziyad bin Alaqa berkata, “Saya mendengar Arfajah berkata saya mendengar Rasulullah bersabda,’Akan terjadi fitnah dan bid’ah. Barangsiapa bermaksud memecah persatuan umat ini, padahal mereka dalam persatuan, maka hukumlah orang tersebut dengan pedang”(HR.Muslim)
Ta’zir dapat terjadi
pada setiap jarimah yang tidak masuk dalam cangkupan had dan
kafarah, baik menyangkut pelanggran terhadap hak Allah. Serta ta’zir juga
dapat berlaku pada pelanggaran hak manusia, melakukan tidak senonoh,
mencuri, berkhianat, suap, mencaci, menfitnah atau pemerasan dengan lafat qadzaf.
Dari uraian diatas
dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir sebagai tindakan untuk
menghukum beberapa jenis kejahatan tertentu boleh ditentukan terutam
dalam tindak pidana pemerasan melalui media elektronik.
Adapun mengenai jika
dikaitkan dengan hukum yang ada di Indonesia maka diatur dalam Pasal 27
ayat 4 jo Pasal 45 ayat 1, sudah dapat dihukumi penjara dengan kurungan
penjara 6 tahun dengan denda 1 miliyar rupiah tentu harus dengan pertimbangan
hakim.
Hukuman yang berat
seperti ini juga untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak
pidana pemerasan dengan memanfaatkan media elektronik. Dengan
demikian, hal ini sesuai dengan pendapat ulama Hanabilah yang
membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir, kalau pelaku berulang kali
melakukan tindak pidana.