Pendapat Para Ulama Tentang Undian Berhadiah
Wednesday, 22 March 2017
SUDUT HUKUM | Undian
berhadiah sebenarnya bukanlah suatu perkara baru di dunia ini.
Hanya saja dari masa ke masa bentuk dan tujuannya beraneka macam. Salah
satu yang paling terkenal adalah yanasib atau lotre, yakni kegiatan pengumpulan
uang dalam jumlah besar yang dilakukan oleh pemerintah, yayasan
atau organisasi dari ribuan atau bahkan jutaan orang. Sebagian kecil dari
uang terkumpul itu diberikan kembali kepada beberapa penyumbang dengan
mengundi kupon-kupon yang telah dibeli oleh para penyumbang tersebut.
Adapun sisanya dikuasai oleh penyelenggara dan digunakan untuk kepentingan
umum.
Di
Indonesia praktek tersebut pernah ada dengan berbagai nama, seperti
Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB), Tapornas, Porkas, Damura dan sebagainya.
Umumnya undian semacam itu digunakan dengan dalih untuk memajukan
bidang olah raga Indonesia seperti Tapornas, Porkas, dan Danura. Pro
dan kontra pun terjadi menanggapi permasalahan itu. Ada pihak yang
menghalalkan, namun ada pula yang mengharamkannya.
Ibrahim
Hossen mengatakan bahwa lotre, SSB, Porkas dan sejenisnya tidaklah
masuk dalam kategori judi. Menurut beliau yang dimaksud dengan judi
adalah suatu permainan yang mengandung unsur taruhan yang dilakukan secara
berhadap-hadapan atau langsung antara dua orang atau lebih.
Pengertian
ini terinspirasi dari pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa
‘illat
diharamkannya judi adalah
berhadap-hadapan/langsung. Pendapat
serupa juga diungkapkan oleh Syekh Ahmad Sukarti, Fuad Muhammad
Fachrudin dan Syekh Muhammad Abduh seperti yang dikutip oleh
Ibrahim Hossen dalam bukunya yang berjudul “Apakah Judi itu?”
A.
Hassan dalam bukunya yang berjudul “Soal-Jawab Tentang Berbagai
Masalah Agama” mengatakan bahwa kita boleh mengadakan dan menerima
uang lotere selama Undang-undang negara ini memperbolehkannya.
Sebab, jika kita tidak menerima uang hasil lotre itu,
maka
dikhawatirkan uang tersebut akan jatuh pada pihak-pihak yang ingin melemahkan
Islam. Akan tetapi, dalam hal ini beliau melarang umat Islam untuk
membeli lotre.
Sedangkan
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa meskipun lotre
masuk dalam kategori haram, namun keharamannya tidaklah sama dengan
keharaman qimar
atau maisir karena pada qimar dan
maisir
langsung menimbulkan
permusuhan, pertengkaran bahkan terkadang sampai tikammenikam antara
yang menang dan yang kalah. Dalam lotre ini tidak terdapat yang
demikian. Namun, di dalamnya terdapat pula padanya hal-hal yang menyamakan
dengan qimar
atau maisir.
Muktamar
Majlis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo pada tanggal 27- 31
Juli 1969, seperti yang dikutip Masjfuk Zuhdi, memutuskan antara lain bahwa
Lotre Totalisator (Lotto), Nasional Lotre (Nalo) dan sesamanya adalah termasuk
perjudian, sehingga hukumnya haram. Adapun penjelasan yang dikemukakan
adalah sebagai berikut:
- Lotto dan Nalo pada hakikat dan sifatnya sama dengan taruhan dan perjudian dengan unsur-unsur:
- Pihak yang menerima hadiah sebagai pemenang dan
- Pihak yang tidak mendapat hadiah sebagai yang kalah.
- Oleh karena Lotto dan Nalo adalah salah satu jenis taruhan dan perjudian, maka berlaku nash sharih dalam QS Al-Baqarah ayat 219 dan QS Al-Maidah ayat 90 – 91 sebagaimana telah penulis sebut dalam Bab I
- Muktamar mengakui bahwa hasil Lotto dan Nalo yang diambil oleh pihak penyelenggara mengandung manfaat bagi masyarakat sepanjang bagian hasil itu benar-benar dipergunakan bagi pembangunan.
- Bahwa mudharat dan akibat jelek yang ditimbulkan oleh tersebarluasnya taruhan dan perjudian dalam masyarakat jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh dari penggunaan hasilnya.