Pendapat Yusuf Qardhawi Tentang Undian Berhadiah
Wednesday, 22 March 2017
SUDUT HUKUM | Dalam
menyikapi permasalahan undian berhadiah, Yusuf Qardhawi membagi
bentuk-bentuk hadiah menjadi tiga macam, yaitu: bentuk yang diperbolehkan
syariat, bentuk yang diharamkan syariat, bentuk yang diharamkan
tanpa adanya perselisihan dan bentuk yang masih diperselisihkan.
1. Bentuk yang Diperbolehkan Syariat
Bentuk
hadiah yang diperbolehkan dan diterima oleh syara’ adalah
hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan mengajak kepada
peningkatan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan amal shaleh. Misalnya,
hadiah yang disediakan bagi pemenang dalam perlombaan menghafal
Al-Qur’an atau hadiah yang disiapkan bagi yang berprestasi dalam
studi. Bisa juga sumbangan dalam bidang keislaman, keilmuan, sastra
atau sejenisnya yang disediakan oleh pemerintah, yayasan dan individu.
Semua itu diperbolehkan asalkan berfungsi untuk memotivasi dalam
persaingan yang diperbolehkan syara’ dalam kebaikan.
Dalam
hadits riwayat Ahmad dari Ibnu Umar disebutkan bahwa Nabi
Muhammad pernah melaksanakan perlombaan balap kuda. Kemudian
Nabi memberikan hadiah kepada para pemenangnya. Nabi juga sering
memberikan hadiah tertentu kepada para sahabat yang telah berhasil melakukan
pelayanan untuk Islam seperti yang diriwayatkan Bukhari dari Urwah. Dalam hadits lain yang diriwayatkan
oleh Anas bin Malik r.a. kepada
salah seorang pemenang lomba.
Dari Anas bin Malik r.a, ketika ia ditanya, ”Pernahkan kamu mengadakan lomba di masa Rasulullah dengan menyediakan hadiah/tanggungan?” Jawab Annas : ”Ya benar, Rasulullah SAW menyediakan kuda balapnya untuk hadiah, dan ketika ada salah seorang yang menang, maka beliau tersenyum merasa senang dan keheran-heranan.” (HR Ahmad).
Bentuk
hadiah seperti ini adalah disediakan kepada orang-orang yang
memenuhi syarat tertentu. Apabila ada orang yang telah memenuhi syarat
sesuai dengan yang sudah ditentukan oleh sebuah panitia khusus, maka
ia berhak mendapatkan hadiah tersebut. Hadiah seperti ini diperbolehkan
dan tidak ada perdebatan mengenai hukumnya.
2. Bentuk yang Diharamkan Tanpa Adanya Perselisihan
Bentuk
yang tidak diragukan keharamannya adalah jika orang yang
membeli kupon dengan harga tertentu, banyak atau sedikit, tanpa ada gantinya
melainkan hanya untuk ikut serta dalam memperoleh hadiah yang disediakan
berupa mobil, emas, atau lainnya. Bahkan, hal seperti ini termasuk
larangan serius (bagi yang melakukannya dianggap telah melakukan
dosa besar). Karena termasuk perbuatan judi yang dirangkaikan
dengan khamar seperti disebut dalam QS Al-Baqarah ayat 219
dan QS Al-Maa’idah ayat 90.
Para
ulama’ berkata, ”Perumpamaan orang yang memperoleh harta
dari jalan haram, lalu menyedekahkannya ke jalan Allah bagaikan orang
yang membersihkan najis dengan air kencing, maka hanya akan menambahnya
lebih kotor.”
Dalam
kitab ”Al-Halaal
wal Haraam fil Islam” Yusuf
Qardhawi menyatakan
bahwa orang-orang yang memperbolehkan untuk maksud ”tujuan
kemanusiaan” tak ubahnya dengan orang-orang yang mengumpulkan
dana untuk tujuan kemanusiaan dengan jalan mengadakan tarian
haram dan seni haram.
3. Bentuk yang masih diperselisihkan
Bentuk
undian yang masih diperselisihkan hukumnya adalah berupa
kupon yang diberikan kepada seseorang sebagai ganti dari pembelian
barang dari sebuah toko atau karena membeli bensin di sebuah pom
bensin. Juga karena mengikuti pertandingan bola dengan membayar tiket
masuk disertai dengan pemberian kupon.
Meskipun
sebagian besar ulama zaman sekarang memperbolehkan
model seperti di atas, bahkan dalam kitab Min Hadyil Islam Fatawi Mu’ashirah
Juz II Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa hadiah
yang dibagi-bagikan perusahaan dagang kepada para pelanggan atau
pembelinya baik yang berupa uang maupun barang itu tidak termasuk ke
dalam kategori judi (maisir). Sebab salah satu karakter judi ialah mengandung
untung-rugi bagi salah satu dari dua belah pihak, seperti halnya
yaa
nasib yang terkenal di negara-negara Barat.
Hal ini karena hadiah
yang diberikan oleh perusahaan itu sifatnya dari satu pihak (yakni pihak
perusahaan) tanpa merugikan pihak kedua, yakni para pelanggan atau
pembeli.
Adapaun
cara yang dipergunakan sebagian perusahaan dengan menggunanakan
undian, maka hal itu tidak terlarang oleh syara’ menurut pandangan
jumhur ulama, dan hal ini juga ditunjuki oleh beberapa hadits sahih
yang memperbolehkan menetapkan kemenangan dengan jalan undian.
Namun,
dikecualikan dari hal itu ialah orang yang membeli barang
dari toko atau perusahaan hanya dengan motivasi ingin mendapatkan
hadiah, sedang ia tidak punya tujuan (keperluan) untuk membelinya.
Maka hal ini mengarah kepada judi yang terlarang atau mendekatinya.
Meskipun
Yusuf Qardhawi sendiri tidak suka jika perusahaanperusahaan Islam
ikut-ikutan menggunakan cara Barat ini dalam menarik pelanggan,
misalnya dengan membagi-bagikan hadiah yang hakikatnya masih
samar bagi kebanyakan pedagang pada zaman sekarang. Sebab hadiah-hadiah
yang dibagikan kepada sebagian pembeli itu pada akhirnya menimbulkan
kenaikan harga yang nota bene harus ditanggung oleh semua pembeli.
Dengan demikian, seolah-olah pembeli yang beruntung mendapatkan
hadiah memungut harganya dari seluruh pembeli. Hal inilah yang
menimbulkan kesamaran (syubhat)
menurut pandangan Yusuf Qardhawi,
walaupun sebagian pedagang (produsen) beralasan bahwa hadiah
yang diberikan itu diambilkan dari laba atau keuntungannya.
Dalam
hal ini sebenarnya menurut Qardhawi masih perlu diteliti lebih lanjut. Bagaimanapun
juga, Yusuf Qardhawi tidak memandang terlarang menerima
hadiah tersebut asalkan tujuan pokoknya adalah membeli. Namun,
pada kitab yang sama juz III Yusuf Qardhawi mendukung
pendapat Syekh Abdul Aziz bin Baaz (Mufti Arab Saudi) yang
cenderung mengharamkan bentuk semacam ini dengan beberapa sebab.
Pertama, transaksi semacam ini meskipun bukan jelas-jelas perjudian,
namun di dalamnya terdapat motif perjudian, yaitu bergantung pada
nasib, bukan pada usaha yang merupakan sunatullah. Mereka tidak berpegang
pada sebab musabab dan syariat Allah, yaitu perintah untuk bekerja
dalam bidang pertanian, industri, perdagangan dan kerajinan lainnya.
Seorang
muslim diminta bekerja untuk hidupnya, sebagaimana ia diminta
bekerja untuk hari akhiratnya. Ia meminta kepada Tuhannya agar diberikan
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Bagi seorang muslim, bekerja
di dunia adalah wajib duniawi.
Adapun
dalam transaksi ini seseorang hanya menunggu hadiah turun
dari langit yang akan menyulapnya dari miskin menjadi kaya dan dari
hina menjadi mulia tanpa ada usaha yang dilakukan jiwa seperti ini, yaitu
jiwa bergantung pada nasib adalah tidak sesuai dengan Islam. Sebab Islam
mencintai dan mengajak kepada usaha dan kerja dengan tangan untuk
mencapai hasil yang mulia. Rasulullah telah mengharamkan permainan
an-nardi
yang berasal dari Persia. Nabi bersabda
:
Barang siapa yang bermain an-nardi (semacam dadu), maka ia telah durhaka kepda Allah dan rasulnya.” (HR Abu Dawud & Ibnu Maalah dari Abu Musa Al-Asy’ari).
Barang siapa bermain nardisyir, maka bagaikan mencelupkan tangannya pada daging babi dan darahnya. “ (HR Muslim & Abu Dawud)
Menurut
Yusuf Qardhawi, pengharaman permainan-permainan di atas
karena dalam bentuk permainan ini seseorang berpegang pada nasib dan
tidak menggunakan akal dan kerja badan.
Kedua, perilaku seperti ini akan menimbulkan watak egoisme dalam
diri manusia dan merupakan hasil dari paham kapitalisme barat yang
berdasarkan pada kepentingan individu dan tidak memikirkan kepentingan
orang lain. Oleh sebab itulah sistem ini mengajak pada persaingan
dan tidak mempedulikan pelarangan perampasan hak orang lain.
Transaksi
ini tidak mempedulikan hak-hak orang lain. Mereka berusaha
untuk menarik konsumen dengan berbagai bentuk propaganda, promosi
dan iklan. Mereka memilih semboyan, “Aku adalah aku dan matilah
orang yang mati.” Paham semacam ini sangat berlawanan dengan jiwa
seorang muslim yang diajarkan oleh Islam, yaitu tidak boleh mengambil
keuntungan dengan menimbulkan kerugian pada orang lain sebagaimana
dalam firman Allah :
...Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelangggaran ....” (QS. Al-Maa’idah : 2)
...Dan mereka mengutamakan (oramg-orang Muhajirin) atas diri mereka, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)...” (QS. Al-Hasyr : 9)
Rasulullah
bersabda:
Tidaklah sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaq’alaih dari Anas)
Para
pedagang pada masa dulu, jika melihat tokonya penuh dengan
para pelanggan, sedang toko tetangganya sepi pelanggan, maka ia menasehati
para pelanggannya untuk belanja ke toko tetangganya tersebut. Mereka
ada yang menutup tokonya apabila penjualannya sudah cukup untuk
dia dan keluarganya, sehingga bisa memberi kesempatan kepada tetangganya
memperoleh keuntungan yang sama.
Adanya
promosi berhadiah seperti ini telah menimbulkan jiwa egoisme.
Sistem semacam ini sangat merugikan pedagang atau pengusaha kecil.
Mereka akan terinjak-injak oleh para pedagang besar karena tidak mampu
bersaing dan menyediakan kupon berhadiah yang bisa menarik banyak
pelanggan.
Ketiga, sesungguhnya nilai berhadiah ini setelah dihitung-hitung adalah
diambil dari pengumpulan uang konsumen sendiri. Artinya, sebenarnya
penjual mampu menjual barang dengan harga hanya 90 atau 80.
Tetapi, karena adanya hadiah, penjual lalu menambahkannya dengan 10
atau 20 untuk dibebankan kepada konsumen, yaitu ketika ia menjualnya dengan
harga 100. Tambahan dari 1 para pembeli yang berjumlah ribuan atau
puluhan ribu ini kemudian digunakan untuk membeli hadiah berharga untuk
diberikan kepada salah satu pembeli saja.
Sedangkan yang lainnya tidak
berhak apapun kecuali hanya bisa berandai-andai dan beranganangan untuk
mendapatkan hadiah tersebut. Dengan demikian, maka
hal ini akan menzalimi sejumlah konsumen dari menjual barang lebih
mahal dari selayaknya agar bisa memenuhi keinginan satu orang saja
dengan pengadaan hadiah tersebut.
Meski
cara ini direlakan oleh semua konsumen, namun hal ini tetap
tidak bisa dijadikan alasan pembenaran. Judi dan riba juga terjadi dengan
kerelaan dua pihak. Akan tetapi kerelaan di sini tidak menafikkan kezaliman
yang terjadi yang hanya diketahui oleh orang-orang yang mau berpikir.
Jumlah hadiah besar ini bukanlah diambil dari keuntungan pedagang,
melainkan dari uang konsumen secara khusus dan dikemas sedemikian
rupa. Sebab, sebelum mengeluarkan hadiah, pedagang terlebih dahulu
mengambil bagian laba tersendiri dari modal.
Adapun
cara yang benar dan diterima secara syara’ untuk mempromosikan
dan memperluas pasaran adalah dengan pelayanan sebaik mungkin
dan penyediaan barng-barang yang berkualitas. Kemudain dipasarkan
dengan harga semurah mungkin untuk meringankan pembeli, terutama
bagi orang-orang yang kurang mampu.
Keempat, dengan adanya hadiah besar ini (yang bertujuan untuk menarik
konsumen agar membeli barang lebih banyak), menjadikan konsumen
bersifat pemboros, yaitu dengan membeli barang yang tidak mereka
butuhkan. Hal ini merupakan tindakan paham kapitalis Barat yang mereka
namakan dengan “Peradaban Konsumsi.” Filsafat dan metodologi mereka
adalah berbeda dengan metode dan filsafat kita, karena metode kita
adalah tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan barang sesuai dengan
firman Allah dalam QS Al-A’raaf : 31 dan QS Al-Furqaan : 67.
...Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raaf : 31).
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir dan adalah (pembelanjaan) itu di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS Al-Furqaan : 67)
Adapun
metode orang-orang barat berdasarkan pada ajakan untuk
berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi dan membeli barang. Sampai-sampai
mereka membelinya dengan cara hutang atau dengan mengangsur
sekalipun hanya terpengaruh oleh iklan-iklan dan hadiah yang menarik.
Padahal dalam hadits riwayat Bukahari dari Anas disebutkan bahwa
Rasulullah berlindung kepada Allah dari beban hutang. Rasulullah sering
berkata dalam doanya:
Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari dosa dan hutang.”
Dalam
kidah syariat disebutkan bahwa “sesuatu yang membawa keharaman
adalah haram” dan “mencegah perkara yang membawa kerusakan
adalah wajib.” Oleh karena hadiah-hadiah besar tersebut akan membentuk
manusia bersifat pemboros yang diharamkan, maka mencegahya
adalah wajib. Mengharamkan transaksi seperti ini akan menjaga
harta dan akhlak orang Islam.