Pengertian Pernikahan di Bawah Tangan
Thursday, 9 March 2017
SUDUT HUKUM | Pernikahan di bawah tangan
merupakan sebutan yang biasa digunakan di tengah masyarakat.
Pernikahan di bawah tangan ini dimaksud menyebutkan perkawinan
yang belum atau tidak tercatat di KUA/PPN Kecamatan atau pernikahan
yang dilakukan secara sembunyi (siir), tetapi
telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan menurut hukum Islam.
Sebagaimana disebutkan di dalam
pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang
berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Hal itu tentu memberikan gambaran bagi kita
tiap-tiap pernikahan di bawah tangan
memiliki kewajiban bagi kedua
mempelai untuk mencatatkan perkawinannya di KUA/PPN tempat
mereka melangsungkan pernikahan. Dan dengan tidak dilakukannya
pencatatan bukan berarti pernikahan yang dilakukan tidak
syah secara Islam tetapi tidak sah secara hukum di Indonesia.
Perkawinan di bawah tangan sama
dengan perkawinan tidak dicatat, yang dimaksud dengan “perkawianan
di bawah tangan atau perkawinan tidak dicatat” adalah
perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat sesuai dengan Hukum
Islam, tetapi tidak dicatatkan atau belum dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA).
Istilah “tidak dicatat” tidak
sama dengan istilah “tidak dicatatkan”. Kedua istilah
tersebut mengandung makna yang berbeda. Pada istilah “perkawinan tidak
dicatat” bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur “dengan
sengaja” yang mengiringi iktikad atau niat seseorang untuk tidak
mencatatkan perkawinannya. Adapun istilah “perkawinan tidak
dicatatkan” terkandung iktikad atau niat buruk dari suami khususnya yang
bermaksud perkawinannya memang “dengan sengaja” tidak
dicatatkan. Karena itu penulis menyepadankan “perkawinan tidak dicatat” dengan
“perkawinan yang belum dicatatkan” yang berbeda dengan
perkawinan tidak dicatatkan.
Ibnu Taimiyah menyampaikan
tentang pertanyaan seseorang kepada Syaikhul Islam rahimahullah,
yaitu mengenai seorang laki-laki yang menikahi seoarang perempuan
dengan cara mushafahah nikah sirri yaitu perkawinan
tanpa wali dan tanpa saksi, dengan maskawin
lima dinar, dan ia telah tinggal
bersamanya dan mencampurinya.
Menurut Ibnu Taimiyah, Syakhul
Islam rahimahullah menjawab, bahwa laki-laki yang menikahi
perempuan tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakannya, menurut
kesepakataan Imam, perkawinan itu bathil. Ibnu taimiyah
mengemukakan bahwa pernikahan sirri adalah sejenis perkawinan pelacur,
karena tanpa wali dan tanpa dua orang saksi, dan perkawinan sirri juga
termasuk dzawatil akhdan yaitu perempuan yang mempunyai
laki-laki piaraan (gundik). Perbuatan tersebut adalah haram dilakukan.
Nikah di bawah tangan cukup
dengan adanya wali dari mempelai perempuan, ijab-qabul,
mahar dan dua orang saksi laki-laki serta tidak perlu melibatkan
petugas dari Kantor Urusan Agama setempat. Nikah di bawah tangan
atau nikah sirri biasanya dilaksanakan karena kedua belah
pihak belum siap meresmikan atau meramaikan dengan resepsi. Selain
itu, biasa alasannya untuk menjaga agar tidak terjerumus kepada
hal-hal yang dilarang agama.
Kata sirri secara
etimologi berasal dari bahasa Arab assiru yang mempunyai arti ”rahasia”.
Menurut Faridl, pengertian nikah sirri terdapat dua kemungkinan, yaitu pertama,
nikah yang dilaksanakan hanya sesuai dengan ketentuan
agama, tidak dilakukan pengawasan dan pencacatan oleh Kantor Urusan
Agama (KUA). Kedua, nikah sirri yang mengandung arti sembunyi
atau tidak dipublikasikan, dalam ajaran Islam tidak dibenarkan
karena dapat menimbulkan fitnah, buruk sangka terhadap yang bersangkutan
yaitu suami-isteri.
Dan di lain pihak mengatakan
bahwa nikah di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan
dalam ruang yang terbatas dan tidak dilakukan pencacatan atau
pengawasan oleh KUA/PPN sehingga tidak memperoleh Akta Nikah. Hal
ini dimaksudkan sebagai cara untuk menghindar dari ketentuan hukum pernikahan
(perkawinan).
Rujukan:
- Ahmad, Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : Kencana, 1977),
- Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Tercatat, (Jakarta : Sinar Garfia, 2010),
- Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2007).