Penghibahan dalam Sistem KUH Perdata
Friday, 17 March 2017
SUDUT HUKUM | Hibah adalah pemberian yang
dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika
masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan
pada waktu penghibah masih hidup juga. Biasanya
pemberian-pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak
menerima pemberian itu, oleh karena pada dasarnya seseorang pemilik harta
kekayaan berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada
siapa pun.
Sebenarnya hibah ini tidak termasuk materi hukum waris
melainkan termasuk hukum perikatan yang diatur di dalam Buku Ketiga Bab
kesepuluh BW. Di samping itu salah satu syarat dalam hukum waris
untuk adanya proses pewarisan adalah adanya seseorang yang meninggal
dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Sedangkan dalam
hibah, seseorang pemberi hibah itu masih hidup pada waktu pelaksanaan
pemberian.
Berkaitan dengan hibah ini,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Hibah yaitu perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah ketika hidupnya untuk memberikan sesuatu barang dengan cuma-cuma kepada penerima hibah.
- Hibah harus dilakukan antara orang yang masih hidup.
- Hibah harus dilakukan dengan akta notaris, apabila tidak dengan akta notaris, maka hibah batal.
Menurut pasal 1666 KUH Perdata,
penghibahan (bahasa Belanda: schenking, bahasa
Inggeris: donation) adalah suatu perjanjian dengan mana penghibah, diwaktu hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu barang guna keperluan penerima hibah yang menerima
penyerahan itu.
Penghibahan ini digolongkan pada
apa yang dinamakan: perjanjian "dengan cuma-cuma"
(bahasa Belanda: "om niet"), dimana perkataan "dengan cuma-cuma" itu
ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang
lainnya tidak usah memberikan kontraprestasi sebagai imbalan.
Perjanjian yang demikian juga
dinamakan perjanjian "sepihak" ("unilateral")
sebagai lawan dari perjanjian "bertimbal-balik" ("bilateral").
Perjanjian yang banyak tentunya adalah bertimbal-balik, karena yang lazim adalah bahwa
orang menyanggupi suatu prestasi karena
ia akan menerima suatu
kontra-prestasi.
Perkataan "di
waktu-hidupnya" penghibah, adalah untuk membedakan penghibahan ini dari
pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testament (surat
wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah
pemberi meninggal dan setiap waktu selama pemberi itu masih hidup,
dapat dirubah atau ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam
testament itu dalam B.W. dinamakan_"legaat" ("hibah wasiat") yang
diatur dalam hukum waris, sedangkan penghibahan ini adalah suatu perjanjian.
Karena penghibahan menurut B.W. itu adalah suatu perjanjian, maka sudah
dengan sendirinya tidak boleh ditarik kembali secara sepihak oleh
penghibah.
Baik diperhatikan, bahwa penghibahan
dalam sistim B.W. adalah (seperti halnya dengan jual-beli
atau tukar-menukar) bersifat "obligatoir" saja, dalam arti belum
memindahkan hak milik, karena hak milik ini baru berpindah dengan dilakukannya
"levering" atau penyerahan (secara yuridis). Dikatakan bahwa
penghibahan, disamping jual-beli dan tukarmenukar merupakan salah satu
"titel" bagi pemindahan hak milik.
Penghibahan hanyalah dapat
mengenai barang-barang yang sudah ada. Jika ia meliputi
barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekadar mengenai itu
hibahnya adalah batal (pasal 1667). Berdasarkan ketentuan ini maka
jika dihibahkan suatu barang yang sudah ada, bersama-sama dengan suatu
barang lain yang baru akan ada dikemudian hari, penghibahan yang
mengenai barang yang pertama adalah sah, tetapi mengenai
barang yang kedua adalah tidak sah.
Penghibah tidak boleh
memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan
kepada orang lain suatu barang yang termasuk dalam penghibahan;
penghibahan yang semacam ini, sekadar mengenai barang tersebut,
dianggap sebagai batal (pasal 1668). Janji yang diminta oleh penghibah bahwa ia
tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan barangnya kepada orang
lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut tetap ada padanya
karena hanya seorang pemilik dapat menjual atau memberikan barangnya
kepada orang lain, hal mana dengan sendirinya bertentangan dengan
sifat dan hakekat penghibahan. Sudah jelaslah bahwa janji seperti itu
membuat penghibahannya batal. Apa yang terjadi sebetulnya hanyalah suatu
pemberian hak nikmat-hasil saja.
Kepada penghibah diperbolehkan
untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau
nikmat-hasil dari barang-barang yang dihibahkan, baik barang-barang
bergerak maupun tak bergerak, atau bahwa ia tetap memberikan
kenikmatan atau nikmat-hasil tersebut kepada seorang lain; dalam hal mana
harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab ke sepuluh Buku Kedua Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (pasal 1669). Bab kesepuluh dari Buku II
B.W. yang dimaksudkan itu adalah bab yang mengatur tentang hak pakai
hasil atau nikmat hasil. Sekadar ketentuan-ketentuan tersebut
mengenai tanah, maka ketentuan-ketentuan itu sudah dicabut oleh
Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No. 5 tahun 1960), tetapi
ketentuan-ketentuan yang mengenai barang bergerak masih berlaku.
Hibah menjadi batal jika dibuat
dengan syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang-utang
atau beban-beban lain, selainnya yang dinyatakan dengan tegas di dalam
akte hibah sendiri atau di dalam suatu daftar yang ditempelkan padanya
(pasal 1670). Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa adalah
diperbolehkan untuk memperjanjikan bahwa penerima hibah akan melunasi
beberapa utang penghibah, asal disebutkan dengan jelas utang-utang yang
mana (kepada siapa dan berapa jumlahnya). Kalau itu tidak
disebutkan dengan jelas maka janji seperti itu akan membuat batal
penghibahannya.
Penetapan seperti yang
dimaksudkan di atas, yang dicantumkan dalam perjanjian penghibahan,
dengan mana diletakkan suatu kewajiban bagi penerima hibah, lazimnya
dinamakan suatu "beban". Secara kurang tepat pasal 1670 memakai
perkataan "syarat". Perbedaan antara ''syarat'' dan ''beban'' adalah, bahwa
terhadap suatu syarat pihak yang bersangkutan adalah bebas, dalam arti bahwa ia
dapat menerima atau menolak, sedangkan suatu beban adalah
mengikat, merupakan suatu kewajiban.
Penghibah boleh memperjanjikan
bahwa ia akan memakai sejumlah uang dari harta-benda
yang dihibahkan. Jika ia meninggal dengan tidak telah memakai jumlah
uang tersebut, maka apa yang dihibahkan itu tetap untuk
seluruhnya pada penerima hibah (pasal 1671). Menurut pasal 1672 penghibah
dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil kembali
barang yang telah diberikannya baik dalam halnya penerima hibah
sendiri maupun dalam halnya penerima hibah beserta keturunan
keturunannya akan meninggal lebih dahulu dari pada penghibah; tetapi ini tidak
dapat diperjanjikan selainnya hanya untuk kepentingan penghibah sendiri.
Akibat dari hak untuk mengambil
kembali barang yang telah dihibahkan itu ialah bahwa segala
pengasingan barang-barang yang telah dihibahkan itu dibatalkan,
sedangkan barang-barang itu kembali kepada penghibah, bebas dari segala
beban dan hipotik yang telah diletakkan di atasnya sejak saat penghibahan
(pasal 1673). Pasal ini memberikan kepada suatu janji yang dicantumkan
dalam perjanjian hibah, suatu kekuatan berlaku terhadap pihak-pihak
ketiga, sehingga menimbulkan suatu keadaan seperti yang kita telah
jumpai dalam suatu jual-beli dengan hak membeli kembali. Pihak-pihak
ketiga diharuskan memperhatikan dan mentaati janji yang tercantum
dalam suatu penghibahan. Sudah barang
tentu pasal 1673 ini tidak bisa
diperlakukan kalau yang dihibahkan itu barang yang bergerak, karena
mengenai barang semacam ini pihak pembeli selalu diperlindungi oleh
pasal 1977 (1).
Pasal 1674 menetapkan bahwa, jika
terjadi suatu penghukuman untuk menyerahkan suatu barang
yang telah dihibahkan, kepada seorang lain, maka penghibah tidak
diwajibkan menanggung Ketentuan mi juga sangat wajar, karena penghibahan
adalah suatu perjanjian dengan cumacuma, artinya tanpa imbalan prestasi
dari pihaknya penerima hibah. Kepada penghibah tidak ada
kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram dan terhadap cacat-cacat
yang tersembunyi seperti halnya dengan seorang penjual barang.
Akhirnya oleh pasal 1675
dinyatakan bahwa beberapa ketentuan dari Buku II berlaku untuk
penghibahan. Jika kita menengok pada ketentuan-ketentuan tersebut,
ternyata bahwa itu mengenai apa yang dinamakan: pengangkatan waris
atau pemberian hibah wasiat secara ''lompat-tangan". Dengan itu
dimaksudkan: penunjukan seorang ahli waris atau pemberian barang dalam suatu
testament (wasiat) dengan ketentuan bahwa waris atau penerima hibah
wasiat dilarang untuk memindahtangankan barang-barang warisan itu
(se-umur hidup mereka) sedangkan barang-barang tersebut, setelah
mereka meninggal, barus diberikan kepada seorang atau orang-orang -lain
lagi yang ditunjuk di dalam testament tersebut.
Dimaksudkan oleh pasal 1675
tersebut diatas, bahwa laranganlarangan itu berlaku juga terhadap
penghibahan. Dengan demikian adalah terlarang pemberian hibah yang
disertai penetapan bahwa penerima hibah selama hidupnya dilarang untuk
memindah-tangankan barang yang dihibahkan, sedangkan
semeninggalnya penerima hibah barang itu harus diterimakan kepada seorang lain
yang ditunjuk dalam perjanjian. Oleh pasal 879 (dalam hal pengangkatan
waris atau pemberian hibah wasiat) ditetapkan bahwa bagi waris atau
penerima hibah wasiat penetapanpenetapan seperti yang dilarang oleh
undang-undang itu adalah batal dan tak berharga. Artinya:
pengangkatan waris atau pemberian hibah wasiat tetap berlaku tanpa berlakunya
penetapan-penetapan yang dilarang itu. Mutatis mutandis ketentuan ini
juga berlaku untuk penghibahan, sehingga penghibahan tetap berlaku tanpa
berlakunya penetapan-penetapan yang terlarang itu.
Maksudnya undang-undang untuk
mengadakan larangan-larangan tersebut adalah untuk mencegah
adanya barang-barang yang terlalu lamaberada diluar peredaran, hal mana dapat
mengganggu lalu-lintas hukum. Perkataan "penghibahan"
(atau "pemberian") dalam pasal 1666 dan selanjutnya dipakai dalam arti
yang sempit, karena hanya perbuatanperbuatan yang memenuhi syarat-syarat yang
disebutkan disitu dinamakan "penghibahan", misalnya
syarat "dengan cuma-cuma" yaitu tidak memakai pembayaran.
Disini orang lazim
mengatakan adanya suatu "formate schenking" yaitu
suatu penghibahan formil. Tetapi bagaimana halnya dengan seorang yang menjual
rumahnya dengan harga yang sangat murah atau yang membebaskan debitornya
dari utangnya? Menurut ketentuan pasal 1666 tersebut ia tidak
melakukan suatu penghibahan atau pemberian, tetapi menurut pengertian yang
luas ia dapat dikatakan menghibahkan atau memberi juga. Disini dikatakan
tentang adanya suatu "materiele schenking"
(penghibahan menurut hakekatnya) dan baiklah diketahui bahwa penghibahan dalam arti kata
yang luas ini dipakai dalam pasal 920 (tentang pemberian atau
penghibahan yang melanggar ketentuan tentang legitieme portie), pasal 1086
(tentang pemasukan atau inbreng, di mana ditetapkan bahwa
pemberian-pemberian harus diperhitungkan dalam pembagian warisan) dan pasal
1678( tentang larangan memberikan bendabenda atas nama antara suami dan
isteri).
Juga sudah kita lihat bahwa
syarat "dengan cuma-cuma" tidak melarang adanya penghibahan yang
disertai dengan suatu beban (bahasa Belanda: 'last"),
yaitu suatu kewajiban dari penerima hibah untuk berbuat sesuatu, misalnya memberikan
bea-siswa kepada seorang mahasiswa. Apabila "beban"
tersebut melampaui nilai (harga) barang yang telah dihibahkan, sebetulnya tidak lagi
dapat dikatakan tentang suatu penghibahan.
Rujukan:
- Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung: Armico, 1985,
- R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985,
- Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1991,
- R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1985,
- Wirjono Projodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur Bandung, 1961.
- Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986.