Sejarah Perkembangan dan Pembaruan Hukum Islam
Saturday, 4 March 2017
SUDUT HUKUM | Hukum Islam pada dasarnya
dibedakan dalam dua kategori, yakni kategori syari’ah dan fiqh. Syari’ah
yang berasal dari wahyu maka bersifat Ilahiyah, sementara fiqh yang berarti
pemahaman manusia terhadap syari’ah, bersifat insaniyah. Hasbi
ash-Shidieqy mendefinisikan hukum Islam sebagai hasil daya upaya
para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pengertian
ini lebih dekat pada pengertian fiqh sebagaimana pengertian
yang diberikan Paydar. Berbeda
dengan Hasbi, Josep schacht, menyatakan
bahwa hukum Islam adalah lambang pemikiran Islam, manifestasi paling
tipikal dari pandangan hidup Islam serta merupakan inti dan titik sentral Islam
itu sendiri. Pengertian
ini lebih dekat kepada syari’ah. Namun
dalam kajian sejarah hukum Islam, pengertian hukum Islam lebih
diarahkan kepada fiqh, karena fiqhlah yang memiliki karakter dinamis sebagai
refleksi dari dinamika sejarah.
Secara
garis besar, sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam
dapat dibagi ke dalam enam periode, yakni periode Nabi, periode Khulafaur
Rasyidin, periode tabi’in, periode keemasan, periode taqlid dan periode
era kebangkitan kembali.
Hukum Islam Pada Masa Nabi
Perkembangan
hukum Islam sebenarnya sudah dimulai pada masa Rasulullah.
Era ini merupakan awal munculnya syari’ah dalam pengertian yang
sebenarnya, sekaligus masa pertumbuhan dan perkembangan fiqh Islam.
Era ini berlangsung semasa hidup Nabi Muhammad, terhitung sejak diwahyukannya
al-Qur'an (610M) sampai beliau wafat (632M).
Para
ahli hukum Islam biasanya membagi periode ini menjadi dua bagian,
yaitu tasyri’ Makkah dan tasyri’ Madinah. Periode Makkah, berlangsung
selama 13 tahun, sejak diangkatnya Nabi SAW. ketika itu umat
Islam masih terisolir, minoritas, lemah dan belum terbentuk satu umat
yang memiliki pemerintahan yang kuat. Karenanya, perhatian Rasulullah
lebih diarahkan kepada dakwah tauhid, di samping membentengi
diri dan pengikutnya dari gangguan dan tantangan orangorang yang
sengaja menghalangi dakwah Islam. Sehingga pada fase ini
tidak
ada kesempatan ke arah pembentukan hukum-hukum amaliah dan penyusunan
undang-undang keperdataan. Singkatnya,
periode Makkah merupakan
periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat
jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata.
Berbeda
dengan periode Makkah, yang lebih mengarah kepada revolusi
akidah, pada periode Madinah pesan-pesan yang terkandung dalam
al-Qur'an berubah menjadi spesifik. Pada periode ini umat Islam bertambah
banyak dan mampu membentuk pemerintahan yang gilang gemilang
dan media dakwah pun semakin lancar. Keadaan inilah yang mendorong
perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undangundang untuk
mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan
bangsa lainnya atau dengan negara yang bukan Islam. Untuk kepentingan
itulah, maka di Madinah disyari’atkan hukum, seperti hukum perkawinan,
perceraian, warisan, perjanjian, hutang piutang, kepidanaan dan
lain-lain.
Dengan
kata lain, periode Madinah dapat disebut periode revolusi sosial
dan politik. Adapun
sumber kekuasaan yang digunakan pada masa rasul, adalah
al-Qur'an dan as-Sunnah, sehingga tidak ada ruang bagi perbedaan
pendapat. Ini terjadi karena perbedaan pendapat dapat diatasi oleh
wahyu yang otoritatif Kekuasaan tasyri’ (pembuatan undang-undang) hanya
dipegang oleh Rasulullah. Apabila ada ijtihad dari sahabat, itu juga dapat
menjadi tasyri’ tetapi setelah mendapat pengakuan dari Rasul.
Ada
tiga hal yang berkaitan dengan perkembangan hukum Islam pada
periode Nabi yaitu, pertama bahwa Nabi memegang kekuasaan penuh dalam
menghadapi problem yang dihadapi masyarakat dengan berlandaskan
terhadap al-Qur'an dan Sunnah. Kedua, ayat-ayat hukum yang
turun adalah untuk menjawab setiap peristiwa yang terjadi. Ketiga, hukum
Islam diturunkan secara bertahap, tidak gradual.
Periode Sahabat (Khulafaur Rasyidin abad 11 H - 41 H)
Periode
ini dimulai setelah Rasul wafat, dan disebut periode sahabat
sebab kekuasaan perundang-undangan dipegang oleh para tokoh sahabat
Rasulullah. Dalam
menetapkan suatu hukum, para sahabat menggunakan al-Qur'an
dan sunnah Nabi. Mereka mengembalikan setiap peristiwa kepada kedua
sumber tersebut. Jika pada keduanya tidak ditemukan suatu hukum, maka
mereka melakukan ijtihad. Dalam
berijtihad, terkadang mereka menggunakan
analogi (qiyas), atau berdasarkan kemaslahatan dan menolak
kemudharatan. Ijtihad
mereka inilah yang menjamin perkembangan
hukum Islam sehingga mampu beradaptasi dengan keragaman
masyarakat.
Mereka
juga mempunyai metode dan kemampuan
yang berbeda-beda dalam memahami nash hukum. Para sahabat
terkenal dalam penggunaannya terhadap ra’y. Dan
diantara mereka
selalu terjadi perbedaan pendapat. Tetapi meskipun demikian, mereka
juga terkadang mengadopsi (sepakat dan memakai) pendapat sahabat
lain. Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa pada periode ini ada
empat sumber yang dijadikan pegangan oleh para sahabat, yaitu al-Qur'an,
sunnah, qiyas (ra’yu) dan ijma’.
Periode Tabi’in (Setelah Masa Khulafa al-Rasyidin sampai Awal Abad II H)
Generasi
setelah sahabat adalah tabi’in. Mereka melanjutkan tradisi
sahabat dalam perjalanan hukum Islam. Mereka menetapkan hukum berdasarkan
apa yang mereka pahami dari nash, baik dalam al-Qur'an maupun
sunnah. Selain
itu mereka juga menjalankan ijtihad, seperti yang dijalankan
para sahabat. Aktivitas ijtihad yang dilakukan oleh para tabi’in ada
dua cara. (1) mereka tidak takut untuk mengutamakan pendapat seorang
sahabat daripada sahabat yang lainnya, bahkan pendapat seorang tabi’in
atas pendapat seorang sahabat. (2) mereka sendiri melakukan pemikiran
asli, bahkan pada masa inilah pembentukan hukum yang sesungguhnya
dimulai.
Pada
periode ini juga ada upaya untuk membukukan hadits, atas inisiatif
dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa ini juga terdapat pembagian
terhadap aktivitas pemikiran hukum secara bebas yakni Irak, Hijaz
dan Syria imamnya masing-masing. Irak memiliki dua madzhab yaitu
Basrah dan Kufah. Hijaz juga memiliki dua madzhab yaitu Makkah dan
Madinah, namun madzhab Madinah lebih menonjol, sementara di Syria
yang kurang populer madzhabnya. Hal inilah yang kemudian para ulama
terbagi menjadi dua aliran, Ahli
Ra’yu dan Ahli Hadits.
Periode Keemasan (Awal Abad II H – Pertengahan Abad IVH)
Periode
ini disebut juga periode kematangan dan kesempurnaan fiqh55 atau masa pembukuan sunnah dan munculnya
Imam-imam Madzhab (Imam
Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Hambali). Madzhab-madzhab
tersebut telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi
bagi kajian hukum yang amat luas dan komprehensif sehingga memberikan
peluang dan kemudahan kepada generasi muslim berikutnya untuk
lebih mengembangkan kajian-kajian hukum dan menjalankan ketentuan-ketentuan
syari’ah secara lebih baik.
Berkembangnya madzhab-madzhab
tersebut, seharusnya membuat hukum Islam lebih fleksibel,
dinamis, karena kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat akan
memunculkan alternatif ketentuan hukum (dari hasil ijtihad), yang pada
akhirnya hukum Islam akan lebih adaptif dan akomodatif terhadap setiap
perubahan yang terjadi di masyarakat.
Akan
tetapi, perkembangan berikutnya justru sebaliknya. Hukum Islam
menemui titik anti klimaksnya dan aktivitas berijtihad berhenti. Periode
ini kemudian disebut dengan periode taqlid atau keterpakuan tekstual.
Periode Taqlid (Permulaan Abad Empat Sampai Runtuhnya Kota Bagdad)
Periode
taqlid atau era kemandekan ini terjadi setelah masa keemasan.
Era ini ditandai dengan munculnya iklim penjelasan permasalahan
yang telah dikaji sebelumnya tanpa memberikan pemikiran baru,
merumuskan kembali metode para pendiri madzhab dan mencapai puncaknya
pada pembelaan fanatik terhadap pendapat para imam madzhab.
Faktor
lain yang menyebabkan hukum Islam mengalami kemandekan
adalah perselisihan teologis yang mengakar pada fanatisme madzhab.
Kondisi ini diperburuk oleh situasi politik yang tidak stabil yang membuat
para ulama sibuk dalam urusan negara dan melakukan urusan fiqh. Selain itu juga disebabkan adanya perang
salib di bawah arahan Gereja
Katolik Romawi, dan serbuan tentara Barbar di bawah kepemimpinan
Holago Khan dari Tartar.
Periode
ini terjadi pada pertengahan abad IV H, bersamaan dengan
saat beberapa persoalan yang dihadapi, politik, intelektual, moral dan
sosial yang mempengaruhi prinsip-prinsip kebangkitan mereka dan menghalangi
aktivitas mereka dalam berijtihad.
Pada
periode ini aktivitas yang dilakukan para ahli hukum Islam adalah,
penta’lilan hukum-hukum (penelitian terhadap illat-illat hukum), Pentarjihan
pendapat-pendapat yang bertentangan dalam madzhab dan Dukungan
terhadap madzhab tertentu yang dianut (fanatisme madzhab).
Periode kebangkitan kembali
Setelah
mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya,
pemikiran Islam bangkit kembali. Hal ini terjadi pada abad ke-19 M/13H.
kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sebagai reaksi terhadap
sikap taqlid tersebut di atas yang telah membawa kemunduran hukumIslam. Muncullah gerakan-gerakan baru di antara gerakan para ahli hukum
yang menyarankan kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah.
Gerakan
ini dipelopori oleh Ibnu Taymiyyah (1263-1328 M) bersama dengan
muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (1292-1356 M).Ia mengatakan
bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dan tidak pernah tertutup. Seruan
Taymiyyah untuk menghidupkan kembali tradisi ijtihad atau
kembali kepada ajaran Islam yang murni, yaitu al-Qur'an dan Hadits sangat
berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam selanjutnya. Pada
periode inilah gerakan-gerakan pembaruan hukum Islam muncul sebagai
respon terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Pola
pemikiran Ibnu Taymiyyah dilanjutkan oleh Muhammad Ibnu
Abdul Wahab (1707-1787) pada yang terkenal dengan sebutan gerakan
Wahabi. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani
(1839-1897) bersama dengan muridnya Muhammad Rasyhid Ridha
terutama di lapangan politik. Dia
yang memasyhurkan ayat al-Qur'an
(surat 13: 11) yang menyatakan: “Allah tidak akan merubah suatu nasib
sesuatu bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha
mengubah nasibnya sendiri”. Ayat ini dipakainya untuk menggerakkan
kebangkitan umat Islam yang pada umumnya dijajah bangsa
Barat pada waktu itu. Ia menilai bahwa kemunduran Islam terjadi akibat
dari penjajahan Barat.
Gerakan
yang dilakukan Jamaluddin al-Afghani diteruskan oleh Muhammad
Abduh (1849-1905M). Gerakan
yang diusung oleh mereka adalah
sama yaitu Islam yang dianut umat bukan lagi Islam yang sebenarnya,
inilah yang menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran.
Oleh karena itu, untuk dapat bangkit kembali umat Islam harus
kembali kepada Islam sejati, Islam sebagaimana dipraktekkan di zaman
klasik.
Periode
inilah yang akhirnya mengantarkan hukum Islam dalam perkembangannya
(zaman modern) menjadi menarik dibicarakan. Sejak abad
ke-19 terjadi kontak antara dunia Islam dengan peradaban Barat. Kontak
tersebut melahirkan dampak yang mencengangkan bagi perubahan struktur
sosial dunia Islam. Sejak itu pula, perkembangan hukum di dunia Islam
hampir ditemukan dan didikte oleh pengaruh-pengaruh barat.
Setelah
dunia Islam mendapatkan kembali kemerdekaannya dari Barat,
tampak upaya-upaya yang semakin intensif untuk mengangkat kembali
hukum Islam dan kemudian mendefinisikannya dalam skema hukum
nasional mereka masing-masing. Rumusan-rumusan hukum Islam
tradisional dipertanyakan bahkan digugat, khususnya menyangkut sejauh
mana relevansinya dengan kebutuhan hukum masyarakat modern.
Tak
pelak, pembaruan hukum Islam menjadi tema penting yang menyita perhatian
dunia Islam. Upaya inilah yang menentukan tampilan hukum Islam
pada periode selanjutnya. Akan
tetapi, upaya-upaya tersebut masih dihadapkan kepada problem
serius, khususnya berkaitan dengan metodologi pembaruan. Metode
yang dikembangkan para pembaru dalam menjawab persoalan-persoalan
hukum dewasa ini belum memuaskan.
Dalam penelitiannya tentang
perubahan hukum Islam, Norman D. Anderson mengemukakan dua
pola reformasi hukum yang dilakukan di dunia Islam. Pertama, syari’ah
lambat laun akan semakin terabaikan dalam praktek sehari-hari – seperti
hukum dalam dagang, hukum pidana dan banyak lagi – untuk akhirnya
mengikuti peraturan-peraturan yang asal usulnya sebagian besar asing
yang diterapkan oleh sistem peradilan sekuler. Kedua,
bahkan dalam bidang
hukum keluarga yang dianggap sakral itu, sejumlah perubahan yang
sangat signifikan dibuat dengan jalan menginterpretasi dan menerapkan
hukum keluarga itu.
Apa
yang disampaikan Anderson belum menyentuh akar permasalahan.
Untuk itu pada masa sekarang kita ditantang untuk merumuskan
metodologi pembaruan hukum Islam yang sistematis atau metode
pembaruan hukum Islam yang memadai, meminjam istilah An-Na’im
dengan didasarkan pada kerangka teologis yang relevan.
Hambatan
lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah psikologis
yang terlahir dari kerangka teologis pemahaman hukum Islam yang
tidak proporsional. Upaya pembaharuan hukum Islam mengandaikan adanya
bagian-bagian dari hukum Islam yang tidak memadai. Hal ini menurut
sebagian besar kalangan tradisional merupakan distorsi terhadap kesempurnaan
hukum Islam yang bersifat Ilahiyah.
Untuk
menembus hambatan ini yang harus dilakukan adalah membangun
kesadaran, bahwa hukum Islam sebenarnya bukanlah hukum yang
keseluruhan prinsip dan detail-detail aturannya diwahyukan secara langsung
oleh Allah kepada Nabi. Berdasarkan kajian historis dapat dilihat bahwa
hukum Islam merupakan produk formasi oleh para ahli hukum Islam
awal berdasarkan interpretasi atas sumber asasinya yaitu al-Qur'an dan
sunnah. Kesadaran historis yang seperti ini tentu akan membuat umat Islam
kontemporer lebih terbuka menerima kemungkinan reformasi hukum
Islam secara substansial.
Sejarah hukum Islam sebagaimana telah dikemukakan
akan lebih menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh) tidaklah bersifat
Ilahiyah, melainkan tidak lebih sebagai produk dari proses penafsiran
dan penjabaran logis dari teks al-Qur'an dan sunnah. Untuk tujuan
inilah kajian tentang pembaruan hukum Islam menjadi sangat urgen.
Rujukan
- Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonsktruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
- Norman D. Anderson, law Reform in The Muslim World., dikutip dalam Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward An Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Right and International Law, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKiS, 1994,
- .M. Rasjidi, Hendak Dibawa Kemana Umat Ini, Jakarta: Media Dakwah, t.th.
- Harun Nasution Tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
- Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, cet. V, 1987.
- Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta: UI-Press, cet. II, 1978,
- Marcel A. Boisard, L’ Hukanisme De L’Islam, terj. H.M. Rasjidi, Humanisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980,
- Noel J. Coulson, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence, terj. H. Fuad, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, Yogyakarta: IKAPI, 2001,
- Tengku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.th.
- Josep Schacht, An Introduction To Islamic Law, dikutip dalam Riyanta, Legislasi Pada Masa Rasulullah dalam Ainurrofiq (et.al), Madzhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002,
- Muhammad Ali Sayis, Tarikh al-fiqh al-Islamy, terj. Nurhadi, Sejarah Fikih Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003.
- Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 19-155.
- H. Ahyar Aminuddin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
- M. Hudhari Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, Terj. Mohammad Zuhri, Sejarah Pembinaan Hukum Islam, Indonesia: Dar al-Ihya, 1980,
- Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, terj. Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I, 2000,