Pengertian Hukum Islam, Fiqh dan Syari’ah
Saturday, 4 March 2017
SUDUT HUKUM | Hukum
Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama
Islam. Sebagai sistem hukum ia memiliki beberapa istilah penting yang perlu
dijelaskan terlebih dahulu, sebab kadang membingungkan apabila tidak mengetahui
persis maknanya. Istilah penting yang dimaksud adalah hukum, syari’ah
dan fiqh.
Hukum
Jika
berbicara tentang hukum, maka sepintas akan terlintas dalam pikiran
kita sebuah peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur segala
tingkah laku manusia, baik berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat atau memang peraturan itu sengaja dibuat dan
ditegakkan oleh penguasa.
Hukum
dalam konsepsi Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh
manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat
tertentu. Dalam konsepsi perundang-undangan (Barat), yang diatur
oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain dan benda
dalam masyarakat.
Di
samping itu ada konsepsi hukum lain, diantaranya adalah hukum
Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditentukan oleh Allah, yang tidak
hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan dirinya sendiri, manusia dengan alam sekitarnya.
Sehingga
istilah hukum Islam jelas mencerminkan konsep yang jauh berbeda
jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Ada
dua pandangan mengenai hukum Islam, yaitu pandangan keabadian
dan pandangan keberubahan.
Pertama,
pandangan keabadian sebagaimana yang dipegangi oleh sejumlah
besar Islamisis seperti C.S. Hurgronje dan Josep Schacht, serta oleh
kebanyakan juris muslim lain yang hadits oriented (tradisionalis). Mereka
berpendapat bahwa dalam konsep dan perkembangannya serta metodologinya,
hukum Islam bersifat abadi. Mereka mempertahankan pendapat
bahwa hukum Islam mencari landasannya pada wahyu Tuhan melalui
Nabi Muhammad sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an dan hadits.
Sehingga hukum bersifat statis, final dan tidak menerima perubahan.
Kedua, pandangan
keberubahan yang berpendapat bahwa hukum Islam
memiliki ciri yang dinamis, fleksibel dapat berubah dan dalam kenyataannya
juga hukum selalu berubah sesuai dengan kondisi ruang dan waktu.
Yang menekankan aktivitas ijtihad.
Di
dalam al-Qur'an dan Sunnah, istilah al-Hukm
al-Islamy tidak pernah
kita jumpai. Istilah yang sering dipergunakan adalah al-Fiqh al-Islamy atau al-Syari’at al-Islamiyyah. Untuk
itu pemahaman terhadap istilah
syari’ah dan fiqh akan sangat membantu untuk memahami pengertian
hukum Islam secara utuh.
Syari’ah
Secara
harfiah, kata syari’ah adalah jalan ke sumber (mata) air yang
digunakan untuk minum, yakni
jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap
muslim. Menurut ulama ushul fiqh, syari’ah adalah ketetapan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf (muslim, baligh, dan berakal
sehat, baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat dan
penghalang).
Al-Qur'an
menggunakan kata syir’ah dan syari’ah, dalam
arti din
(agama), dengan pengertian jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia,
atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia.
Fazlur
Rahman mengemukakan bahwa syari’ah erat hubungannya dengan
ad-diin, bahkan kadang keduanya dapat saling dipertukarkan. addiin menurutnya
berarti kepatuhan dan ketaatan. Sedangkan syari’ah merupakan
penentu jalan dan subyeknya sendiri adalah Tuhan, maka addiin adalah
tindakan mengikuti jalan tersebut dan subyeknya adalah manusia. Dalam al-Qur'an disebutkan: “Tuhan telah
menetapkan jalan yang
harus kamu ikuti”, dan
juga “Lalu apakah mereka mempunyai Tuhan-tuhan
lain yang telah menetapkan jalan yang harus mereka ikuti.
Kalau
kita kembalikan pada asal rujukannya yaitu Tuhan dan kepada manusia,
maka syari’ah dan ad-diin adalah identik selama menyangkut jalan
tersebut dan apa yang terkandung di dalamnya.
Sementara
Abu Hanifah membedakan antara ad-diin
dan syari’ah. Ad-diin menurutnya
tidak pernah berubah sementara syari’ah selalu mengalami
perubahan sesuai perjalanan sejarah. Yang dimaksud dengan ad-diin adalah
pokok-pokok iman, seperti kepercayaan pada keesaan Allah,
iman pada Rasul-rasul, percaya hari akhir dan lain-lain, sedangkan syari’ah
merupakan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan.
As-Syatibi
dalam bukunya al-Muwafaqat mendefinisikan syari’ah sebagai
aturan-aturan bagi orang mukallaf, baik mengenai perbuatan, ucapan
maupun keyakinan mereka. Manouchehr
Paydar, dalam Legitimasi Negara Islam, mendefinisikan syari’ah sebagai seperangkat hukum-hukum
suci untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupannya
serta mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi hari akhir
kelak.
Fiqh
Setelah
mengetahui pengertian syari’ah, selanjutnya beralih ke fiqh.
Fiqh secara harfiah berarti paham atau mengerti sesuatu secara mendalam. Dalam pengertian ini antara fiqh dan fahm adalah
sinonim. Setelah
mengalami perkembangan fiqh digunakan untuk nama dalam hukum-hukum
agama, baik yang mengenai hukum aqidah maupun mengenai
hukum amaliah.
Kata
fiqh dalam al-Qur'an dipergunakan dengan pengertian “memahami”
secara umum pada beberapa tempat. Ungkapan ليتفقهوافى الدين (agar mereka melakukan pemahaman dalam agama), menunjukkan bahwa
di masa Rasulullah istilah fiqh tidak hanya dikenakan dalam pengertian
hukum saja, tetapi mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua
aspek dalam Islam, yaitu teologis, politis, ekonomis dan hukum.
Namun
dalam perjalanannya, makna fiqh kini hanya sebagai istilah teknis untuk
menyebut suatu disiplin ilmu yang khusus membahas aspek hukum di
dalam Islam. Dari
pemaparan di atas, maka dapat dipahami bahwa fiqh
adalah ilmu tentang perilaku manusia yang landasan utamanya adalah nash/wahyu
al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa
antara syari’ah dan fiqh merupakan dua konsep yang berbeda namun keduanya
saling terkait. Karena syari’ah merupakan hukum Tuhan, sedang fiqh
aktualisasi dari syari’ah atau formula yang dipahami dari syari’ah. Syari’ah
tidak dapat dijalankan dengan baik, tanpa dipahami melalui fiqh atau pemahaman
yang memadai, dan diformulasikan secara baku.
Fazlur
Rahman dalam bukunya Islam, menyebutkan bahwa fiqh adalah
merupakan bagian dari syari’ah. Ia menjelaskan bahwa sumber (metode)
untuk menjelaskan syari’ah pada awal periode setelah Rasulullah ada dua.
Pertama, sumber tradisional, yang sudah diketahui otoritasnya, yakni al-Qur'an
dan sunnah Rasul sebagai dasar pegangan hukum Islam. Kedua, berupa akal
dan pemahaman manusia yang timbul karena sifat otoritatif dari prinsip pertama
tidak mampu memenuhi kebutuhan perkembangan zaman dari generasi
ke generasi. Prinsip pertama oleh Rahman disebut ‘ilmu’ (dalam bahasa Arab: ’ilm; bukan
pengetahuan seperti yang telah diartikan), sedang prinsip kedua
disebut fiqh yang berarti pengertian dan pemahaman.
Rujukan:
- Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, edisi VI, cet. X, 2002,
- Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah (Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam), Semarang: Aneka Ilmu, 2000,
- Manouchehr Paydar, Aspect of The Islamic Religious Norms and Political Realities, terj. M. Maufur el-Khoiry, Legitimasi Negara Islam, Problem Otoritas Syari’ah dan Politik Penguasa, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002,
- Tengku Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1975,
- Al-Ghazaly, al-Mustasfa Min ‘Ilm al-Usul, Mesir: Maktabah al-Jundiy, 1971,
- Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2000,
- Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Islam, Bandung: Pustaka, cet. II, 1994,
- Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, cet. XII, 1978,
- Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, terj. Agah Garnadi, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, cet. II, 1994.
- Abi Ishaq as-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Usul al-Syari’ah, jilid I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
- A. Qodri A. Azizy, Redefinisi Bermadzhab Dan Berijtihad, al-Ijtihad al-‘Ilmi al-‘Asri, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Islam IAIN Walisongo,Semarang 12 Juli 2003,