Kewarganegaraan
Saturday, 4 March 2017
Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan
Salah satu
persyaratan diterimanya sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang
diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warganegara yang bersangkutan
dapat dibedakan dari warganegara lain. Pengaturan
mengenai kewarganegaraan ini
biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius
soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’.
Dalam zaman
keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu
negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan
sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat
pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja
melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan
dalam proses persalinan.
Dalam hal negara
tempat asal seseorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan
menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan
persoalan, akan tetapi apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang
berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang
status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah
menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Muhammad Tahir Azhary
berpendapat bahwasannya suatu negara biasanya harus memiliki tiga
unsur pokok yaitu:
- rakyat atau sejumlah orang;
- wilayah tertentu;
- Pemerintahan yang berwibawa dan berdaulat.
Sebagai unsur
komplementer dapat ditambahkan pengakuan oleh masyarakat internasional atau
negara-negara lain.49 L. Oppenheim dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasionaljuga berpendapat bahwa terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk
berdirinya suatu negara, yaitu adanya:
- Rakyat, yang terdiri dari kumpulan orang-orang, lelaki maupun perempuan yang hidup dalam suatu masyarakat sungguhpun mereka berasal dari suku/keturunan yang berlainan dan warna kulit berlainan;
- Daerah/wilayah, tak perduli berapapun luasnya dan di mana orang-orang menetap;
- Pemerintah, yang terdiri dari orang-orang yang mewakili rakyatnya dan memerintah berdasarkan hukum dari daerah / wilayah tersebut;
- Pemerintah yang berkuasa yang tidak tunduk pada kekuasaan apapun di atas dunia baik di dalam maupun di luar wilayahnya.
Sebagaimana telah
kita ketahui dalam Ilmu Tata Negara, bahwa rakyat merupakan salah satu unsur bagi
terbentuknya suatu negara, di samping unsur wilayah dan unsur pemerintahan. Suatu
negara tidak akan terbentuk tanpa adanya rakyat walaupun memiliki wilayah
tertentu dan pemerintahan yang berdaulat, demikian pula kalau rakyatnya ada yang
berdiam pada wilayah tertentu akan tetapi tidak memiliki pemerintahan sendiri
yang berdaulat ke dalam dan ke luar, maka negara itupun jelas tidak bakal ada.
Sehingga ketiga unsur itu sangat diperlukan bagi persyaratan terbentuknya suatu
negara.
Pengertian rakyat
sering dikaitkan dengan pengertian warganegara. Warganegara adalah
rakyat yang menetap di dalam suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya
dengan negara.51 Sedang dalam pengertian penduduk dapat mencakup pengertian
yang lebih luas, baik meliputi warga negara maupun bukan warga negara yang
kesemuanya jelas bertempat tinggal dalam suatu wilayah negara.
Secara tegas penduduk
dapat dibagi atas:
- penduduk warganegara;
- penduduk bukan warganegara, yaitu orang asing.
Keduanya sangat
berbeda dalam hubungannya dengan negara yang didiaminya yaitu:
- Setiap warganegara memiliki hubungan yang tidak terputus dengan tanah airnya, dengan Undang-Undang Dasar Negaranya, walaupun yang bersangkutan berada di luar negeri atau selama yang bersangkutan tidak memutuskan hubungannya atau terikat oleh ketentuan hukum internasional.
- Penduduk yang bukan warganegara (orang asing) hubungannya hanya selama yang bersangkutan bertempat tinggal dalam wilayah negara tersebut. Tetapi kalau dilihat dari sudut kewajiban negara untuk melindungi kepentingan penduduknya, maka baik warganegara maupun orang asing mendapat perlindungan hukum yang sama dari Negara.
Warganegara adalah
salah satu tiang daripada adanya negara, di samping kedua tiang yang lain,
yaitu wilayah dan pemerintah negara. Karena warganegara merupakan tiang atau
sokoguru negara, maka kedudukan daripada warganegara itu sangatlah penting
dalam suatu negara.
Menurut Black's Law
Dictionary, "citizen is a person who, by either birth or naturalization,
is a member of a political community, giving allegiance to the community
and being entitled to enjoy all its civil rights and protections; a member of the
civil state, entitled to all its privileges.
Bila dibicarakan
mengenai hubungan warganegara dengan negara atau keanggotaan dalam negara, maka
hubungan tersebut dinyatakan dengan istilah kewarganegaraan yang menyatakan
hubungan atau ikatan hukum antara seorang individu dengan suatu negara atau
keanggotaan daripada suatu negara.
Dalam menyatakan
hubungan atau ikatan hukum tersebut di masing-masing negara tidak
dinyatakan dalam istilah yang sama dalam arti dan isinya. Terkadang digunakan istilah citizen,
national atau subject yang penggunaannya sering membingungkan.
Kewarganegaraan (citizenship)
adalah suatu status menurut hukum dari suatu negara yang memberi
keuntungan-keuntungan hukum tertentu dan membebankan kewajiban-kewajiban
tertentu kepada individu. Sedangkan kebangsaan (nationality) sebagai istilah hukum internasional menunjuk kepada ikatan yaitu ikatan seorang individu terhadap
suatu negara yang memberi kepada suatu negara hak untuk mengatur atau
melindungi nationals-nya, meski di luar negeri sekalipun.
Sehingga Sudargo
Gautama menyimpulkan bahwa pengertian pokok dari kewarganegaraan ialah
ikatan antara individu dengan negara, yaitu individu merupakan anggota
penuh secara politik dalam negara itu dan berkewajiban untuk tetap setia kepada
negara (permanence of allegiance), tetapi sebaliknya negara berkewajiban
melindungi individu tersebut di manapun ia berada.
Pengertian kewarganegaraan
sendiri menurut Kho Wan Sik dapat dibedakan atas:
- Kewarganegaraan dalam arti yuridis (juridische nationaliteit) dan sosiologis (sociologische nationaliteitsbegrip).
Kewarganegaraan dalam
arti yuridis adalah ikatan hukum (derechtsband) antara negara dengan
orang-orang pribadi (natuurlijke personen) yang karena ikatan itu menimbulkan akibat,
bahwa orang-orang tersebut jatuh di bawah lingkungan kuasa pribadi dari
negara yang bersangkutan atau dengan kata lain warga dari negara itu (burgers
van die Staat zijn).
Kewarganegaraan dalam
arti sosiologis adalah kewarganegaraan yang tidak berdasarkan ikatan
yuridis, tetapi sosial politik yang disebut natie. Kewarganegaraan yang
sosiologis adalah kewarganegaraan yang terikat pada suatu negara oleh
karena adanya perasaan kesatuan ikatan karena satu keturunan, kebersamaan sejarah,
daerah/tanah (wilayah) dan penguasa berkembang dalam suatu persekutuan
daerah atau negara tempat ia tinggal.
Dari sudut
kewarganegaraan sosiologis dapat dilihat bahwa kewarganegaraan yuridis mungkin tidak
memiliki persyaratan kewarganegaraan sosiologis, sedangkan dari sudut
kewarganegaraan sosiologis hanya satu persyaratan yang tidak dipenuhi yaitu
persyaratan yuridis yang merupakan ikatan formal dengan negara tersebut dalam
bentuk antara lain surat bukti. Terkadang kedua ikatan tersebut tidak
bersamaan, sehingga sangatlah ideal apabila kewarganegaraan yuridis dan
kewarganegaraan sosiologis itu manunggal dalam diri seorang
warganegara.
- Kewarganegaraan dalam arti formal dan materil (formal en materiil nationaliteitsbegrip).
Kewarganegaraan dalam
arti formal (gatranya) adalah tempat kewarganegaraan itu dalam sistematika
hukum karena menyangkut salah satu sendi dari negara, yaitu rakyat negara,
maka kewarganegaraan itu terletak di bidang hukum publik, sebab kaidah-kaidah
yang mengenai adanya negara semata-mata bersifat publik (publiekrechtelijk).
Kewarganegaraan dalam
arti materiil (isinya) adalah akibat hukum dari pengertian
kewarganegaraan itu, yaitu apakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang konkrit terhadap
seseorang yang timbul dari pengertian kewarganegaraan itu atau dengan kata
lain, apakah perbedaan yang timbul dari ikatan hukum antara kedudukan seorang
warganegara dengan orang asing.
Kho Wan Sik,
melukiskan sifat hukum dari pengertian kewarganegaraan sebagai pertalian hukum
antara negara dengan seorang (manusia) dengan akibat hukum, bahwa orang itu
menjadi warganegara dan jatuh di bawah lingkungan kekuasaan pribadi (personengebeid
atau personal jurisdiction) negara tersebut. Menurutnya juga bahwa
kewarganegaraan itu bersifat baik suatu pertalian hukum maupun suatu status (apabila
dilihat dari sudut perseorangan).
Dalam Black's Law
Dictionary juga disebutkan pengertian citizenship adalah:
- the status of being a citizen;
- the quality of a person's conduct as a member of a community.
Sedang menurut M.
Said Nizar, seorang anggota KOMNAS HAM R.I mengemukakan bahwa
hubungan antara negara dengan warganegara tidak mungkin dapat dibahasakan
secara lengkap tanpa diikutsertakan pembahasan soal "nasionalisme".
Nasionalisme adalah suatu "state of mind" atau suatu sikap
kejiwaan yang mengikat rakyat
menjadi suatu bangsa dengan satu tanah air. Tali pengikat ini menuju kepada suatu
cita-cita masa depan dengan cakrawala luas. Seorang sastrawan Perancis "Ernest
Renan" menjelaskan bahwa nasionalisme itu adalah "suatu jiwa dan suatu prinsip
spiritual" (Une ame, un principe spiritual).
Jika konsep
kewarganegaraan itu adalah suatu "Jiwa" berarti citizenship bukanlah
symbol". Sebab dia adalah jiwa yang menyatu dan berkualitas. Tetapi pemahaman seperti ini
tidak pernah dibicarakan secara rinci. Bahkan di zaman kolonial diskusi
tentang kewarganegaraan tidak pernah menyentuh apa yang dikatakan oleh Ernest
Renan yaitu soal keterikatan jiwa. Diskusi kewarganegaraan tersebut dikerdilkan
dan disederhanakan, dipatok dalam pemahaman yang sempit.
Prinsip-Prinsip Penentuan Kewarganegaraan
Tiap-tiap negara
adalah berdaulat untuk menentukan tentang siapa-siapa yang dapat menjadi
warganegaranya dan siapa pula yang tidak atau tentang perolehan dan kehilangan
kewarganegaraan dari warganegaranya. Dalam hal kedaulatan negara ini termasuk juga, bahwa
tidak ada negara yang berhak mengatur masalah-masalah kewarganegaraan
negara lain. Pembatasan ini berdasarkan kepada "general international
law'', yaitu asas "pacta sunt servanda" dan "of
mutual recognition of each
other souvereignity" berupa konvensi-konvensi internasional, kebiasaan internasional dan
prinsip-prinsip hukum yang umum dan secara internasional telah diakui di bidang
kewarganegaraan.
Pelaksanaan peraturan
lalu lintas orang tersebut merupakan derivasi dari hak negara untuk memberi
izin atau melarang orang asing masuk kedalam wilayahnya dan merupakan atribut
esencial dari pemerintahan negara yang berdaulat. Oleh karena itu orang asing yang
memasuki wilayah suatu negara akan tunduk pada hukum negara tersebut sebagaimana
halnya warganegara itu sendiri.
Dalam
ketentuan-ketentuan kewarganegaraan terdapat dua asas yang utama yaitu:
a.Asas daerah
kelahiran (lus Soli)
Ditinjau dari istilah
bahasa latin, maka ius berarti hukum, sedangkan soli berarti tanah,
sehingga dalam pengertian sepenuhnya maka ius soli adalah hukum yang mengikuti tanah
kelahiran. Maksudnya adalah kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh
tempat kelahirannya yaitu seseorang adalah warganegara dari suatu negara berdasarkan
tempat dimana ia dilahirkan. Jadi asas ini merupakan asas dalam pewarganegaraan yang
mengikuti di tempat mana seseorang itu dilahirkan. Asas kelahiran (ius
soli) di dalam wilayah Republik Indonesia juga diterapkan untuk
menghindarkan adanya orang yang "tanpa kewarganegaraan" (Stateless).
Apabila anak yang
dilahirkan di Indonesia tidak memperoleh kewarganegaraan ibunya maupun dari
ayahnya, maka anak itu dapat memiliki kewarganegaraan RI untuk menghindari
anak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Asas ius soli lazim
dimanfaatkan oleh negara-negara yang jumlah rakyatnya kecil atau sedikit,
kebanyakan penduduk di negara itu adalah pendatang yang diterima untuk
melaksanakan berbagai pekerjaan bagi perkembangan perekonomiannya, atau
para imigran yang diterima dengan baik di negara yang bersangkutan.
Menurut Sudargo
Gautama bahwa kepentingan negara-negara yang termasuk negeri-negeri imigran
adalah bagaimana kepentingan warga-warga asing yang telah masuk dalam negeri
mereka secepat mungkin diasimilasi menjadi rakyat mereka. Terutama dalam
negeri-negeri yang masih kekurangan warga. Hubungan pertalian dengan negara asal
secepat mungkin harus dilepaskan. Para imigran ini secepat mungkin harus
dijadikan warganegara dari Negara baru yang telah dipilih oleh mereka sebagai tempat
mencari kehidupan. Jadi untuk negeri-negeri semacam ini sudah tentu ius
soli adalah yang paling tepat .
Orang-orang yang
tadinya termasuk warga asing menetap dalam wilayah negara yang menganut ius
soli dan melahirkan anak-anaknya disitu, maka anak-anak tersebut haruslah
dipandang sebagai warga dari negara bersangkutan dan negara dimana ia dilahirkan
dan hidup. Anak-anak yang dilahirkan di negara itu lazimnya diberi
pewarganegaraan pasif. Sehingga dalam hal ini ius soli selalu dikaitkan
dengan pewarganegaraan pasif. Dalam pewarganegaraan pasif sendiri adalah bahwa seseorang yang tidak mau
diwarganegarakan oleh sesuatu negara atau tidak mau diberi dan dijadikan
warganegara sesuatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak
repudiasi.
Jika diperhatikan
negara Amerika Serikat, Kanada, Australia termasuk
negara yang menerapkan asas ius soli dan memanfaatkan asas tersebut dalam
pewarganegaraan pasif terhadap keturunan-keturunan berbagai suku bangsa yang
berimigran ke negara-negara tersebut. Negara Indonesia pada masa penjajahan (Hindia
Belanda) membuat peraturan kewarganegaraan dengan menganut asas ius soli.
Walaupun demikian Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia No.62 Tahun
1958 yang berlaku sekarang menganut juga asas ius soli terbatas dengan
tujuan untuk menghindari terjadinya seseorang menjadi tanpa kewarganegaraan (stateless).
b. Asas Keturunan (Ius
Sanguinis)
Menurut istilah
bahasa latin, ius berarti hukum, sedangkan sanguinis dapat berarti keturunan
atau darah, jadi asas ini mengikuti hukum atau ketentuan-ketentuan dari keturunan atau
darah orangtuanya. Artinya bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh
keturunan dari pada orang yang bersangkutan. Penganutan asas ius
sangunis ini memang sangat penting apalagi pada masa sekarang dimana hubungan
antara suatu negara dengan negara lainnya berlangsung dengan pesat dan
sangat baik, yang memungkinkan orang-orang untuk berpindah atau bermukim sementara
waktu di negara lain dalam rangka pekerjaan, pendidikan atau tugas tugas
kenegaraan yang diembannya.
Terlebih bila
diperhatikan bahwa negara-negara yang memilih asas ius sanguinis
pada umumnya termasuk negara-negara emigran.69 Sebagai
contoh negara yang menganut asas
ini adalah negara RRC, India, Indonesia yang terkenal sebagai negara yang banyak
jumlah warganya.
Dalam kaitannya
sebagai konsekuensi asas ius sanguinis ini, apabila adanya keinginan seseorang
warganegara untuk berpindah kewarganegaraan harus ditempuh melalui proses
pewarganegaraan atau naturalisasi. Jika persyaratan-persyaratan tersebut dapat
dipenuhi oleh yang bersangkutan maka terkabullah kehendaknya.
Dalam penentuan
apakah seseorang menjadi warganegara suatu negara ataukah tidak, dengan
menggunakan asas ius sanguinis atau ius soli tidak dapat dilepaskan dari keadaan-keadaan
yang menjadi latar belakang penentuan itu, yaitu keinginan pembentuk
negara atau pemerintah masing-masing negara untuk menjadikan
warganegaranya sebagaimana yang mereka kehendaki dan dicitacitakan.
Tetapi tidak jarang
dalam kenyataannya kita menemui negara-negara yang memanfaatkan kedua
asas tersebut. Artinya tidak memilih salah satu asas secara konsekuen (taat asas)
melainkan dipakai suatu kombinasi dari kedua asas. Kedua asas dipergunakan namun
hanya saja yang satu lebih dikedepankan dari yang lain. Negara-negara yang pertama-tama
mementingkan asas ius sanguinis (keturunan) juga tak mengabaikan sama
sekali asas ius soli (tempat kelahiran).
Juga karena
masing-masing negara berdaulat untuk menentukan siapakah warganegaranya, maka
dalam kenyataannya terdapat ketidakseragaman peraturanperaturan mengenai
kewarganegaraan. Ketidakseragaman ini dapat terjadi bahwa apabila seseorang
yang telah ditentukan menjadi warganegara dari suatu negara tertentu adalah pula
warganegara dari negara lain, berdasarkan asas penentuan kewarganegaraan dari
negara itu atau dapat pula terjadi seseorang menjadi tanpa kewarganegaraan. Di
sinilah akan timbul permasalahan benturan asas yang mengakibatkan
seseorang memiliki dwikewarganegaraan/dual citizenship/bipatridie/ kewarganegaraan ganda
atau bahkan multipatridie (memiliki. lebih
dari dua kewarganegaraan) dan
atau menjadi tanpa kewarganegaraan (apatridie/stateless).
3.
Apatridie dan Bipatridie
Dalam kenyataannya
terdapat keanekaragaman peraturan dan asas-asas kewarganegaraan
apakah ius soli atau ius sanguinis, karena negara bebas untuk memilih asas-asas
manakah yang hendak dipakainya dalam menentukan siapakah yang menjadi
warganya. Kemudian menimbulkan apatridie, bipatridie bahkan mungkin multipatridie
karena dari benturan asas-asas kewargarnegaraan yang tidak seragam. Akibatnya
timbul peraturan-peraturan di bidang kewarganegaraan yang tidak sama di semua
negara. Menurut istilah Sudargo Gautama hal ini menggambarkan
seolah-olah terjadi "pertentangan". Namun
untuk lebih mempertajam
pembahasan pada tulisan ini, tidak akan dikemukakan lebih jauh hal-hal berkenaan dengan multipatridie.
Yang dimaksud dengan apatridie
yaitu orang-orang yang tidak mempunyai suatu kewarganegaraan
(tanpa kewarganegaraan). Pada akhir-akhir ini, apatridie banyak kemungkinan
terjadi, karena perkembangan hubungan antara negara dan hubungan politis.
Beberapa negara tertentu telah mulai mempergunakan pencabutan kewarganegaraan
sebagai semacam hukuman. Apabila orang-orang yang terkena dinyatakan hilang
kewarganegaraan oleh negara yang bersangkutan, dan mereka ini belum dapat
memperoleh kewarganegaraan pengganti, maka mereka ini bertatus tanpa
kewarganegaraan.
Keadaan tanpa
kewarganegaraan ini adalah menyedihkan bagi yang harus mengalami. Sama
sekali tidak ada perlindungan dari sesuatu negara. Tidak dapat memiliki paspor
negara tertentu. Seandainya mereka harus diusir dari negara tempat mereka berdomisili,
kemana mereka harus dikirim. Sedangkan Bipatridie atau
dwikewarganegaraan akan terjadi apabila seseorang memiliki dua kewarganegaraan.
Kenyataan terjadinya bipatridie
kerapkali sering berlaku yaitu kalau seseorang penduduk pada suatu
negara yang berasal dari kewarganegaraan lain diberi pewarganegaraan oleh
negara yang didiaminya, tanpa ia menyatakan malepaskan kewarganegaraan
aslinya (leluhurnya). Jika satu negara menganut asas ius sanguinis dan negara lain
menganut asas soli maka kemungkinan akan timbul kewarganegaraan ganda/dwi
kewarganegaraan/bipatridie sangatlah besar. Walaupun pada umumnya soal
dwikewarganegaraan timbul karena perbedaan-perbedaan dalam peraturanperaturan kewarganegaraan
berbagai bangsa yang disebabkan oleh benturan asas penentuan kewarganegaraan
suatu negara adalah tidak seragam. Terkadang dapat pula terjadi seorang
menjadi bipatridie dengan adanya penerapan prinsip kewarganegaraan yang
sama dalam negara-negara bersangkutan.
Seiring dengan
semakin berkembangnya jalur informasi dan transportasi mengakibatkan
hubungan antar bangsa juga menjadi semakin berkembang. Orang asing, datang dan
pergi ke suatu negara tertentu merupakan suatu hal yang lumrah, baik untuk bekerja,
sekolah, berdagang atau hanya sekedar sebagai turis. Hal yang sama juga terjadi di
Indonesia.
Dalam kehidupan
sehari-hari, mereka sudah pasti berhubungan satu sama
lain, baik dengan warga negara setempat atau dengan warga negara asing lainnya,
hubungan mana seringkali diakhiri dengan suatu perkawinan. Keadaan berkewarganegaraan
ganda sering pula terjadi akibat dari perkawinan campuran
antar bangsa yang otomatis menganut hukum perkawinan dan kewarganegaraan yang
berbeda. Di mana masing-masing pihak terkait dalam perkawinan campuran
tersebut oleh negara asalnya ada yang mengizinkan anak yang
dihasilkan dari
perkawinan tersebut untuk memiliki kewarganegaraan kedua orangtuanya
(kewarganegaraan ganda/dwikewarganegaraan).
Dari pengertian warga
negara diatas, dikatakan bahwa warga negara mempunyai kedudukan
resmi sebagai anggota penuh suatu negara karena mereka memiliki semua hak
dan kewajiban sebagai anggota negara sesuai dengan hukum yang berlaku di
negara tersebut. Berikutnya sebagai warga negara mereka dituntut untuk
memberikan kesetiaannya kepada negara dimana mereka tercatat sebagai warga negara.