Sejarah Politik Hukum Keimigrasian di Indonesia
Saturday, 4 March 2017
SUDUT HUKUM | Definisi politik hukum menurut
Padmo Wahjono yang dikutip oleh Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari dalam buku
yang berjudul dasar-dasar politik hukum adalah politik hukum sebagai kebijakan
dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.
Definisi diatas bersifat abstrak dan luas. Artikel yang berjudul Menyelisik
Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik
hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria
untuk menghukumkan sesuatu. Kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan
pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.
Uraian definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa definisi politik hukum menurut Padmo Wahjono adalah kebijakan
penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk
maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Politik hukum menurut Padmo Wahjono
berkaitan dengan Hukum yang berlaku di masa datang.
Definisi politik hukum menurut
William Zevenbergen yang dikutip oleh H. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali dalam
buku karangannya yang berjudul Politik Hukum adalah politik hukum mencoba menjawab pertanyaan,
peraturan-peraturan hukum mana yang patut untuk dijadikan hukum.
Perundang-undangan itu sendiri merupakan bentuk dari poltik hukum (legal
policy). Pengertian legal policy, mencakup proses pembuatan dan
pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan ke arah mana hukum akan
dibangun. Politik hukum memberikan landasan terhadap proses pembentukan hukum
yang lebih sesuai, situasi dan kondisi, kultur, serta nilai yang berkembang di
masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu
sendiri. Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu : pertama,
politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan.
Kedua, tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan
perundang-undangan.
Politik hukum
suatu negara berbeda dengan politik hukum negara yang lain. Perbedaan ini
disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang kesejarahan, pandangan dunia
(world-view), sosio cultural, dan political will dari
masing-masing pemerintah. Politik hukum bersifat lokal dan partikular (hanya
berlaku dari dan untuk negara tertentu saja), bukan universal (berlaku seluruh
dunia), namun ini bukan berarti bahwa politik hukum suatu negara mengabaikan
realitas dan politik hukum internasional. Politik
hukum adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik
dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi
juga kepada pengadilan yang menetapkan undang-undang dan juga kepada para
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Proses pembuatan
Peraturan Perundang-undangan, politik hukum memiliki peranan yang sangat
penting. Pertama, sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu Peraturan
Perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan ke
dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. 63 Dengan
demikian, maka dipandang perlu untuk menguraikan sejarah politik hukum
keimigrasian di Indonesia agar dapat menjadi acuan pada Bab pembahasan masalah
selanjutnya.
Pengaturan Pada Masa Kolonial
Pada masa pemerintahan
kolonial memang sudah ada pengaturan kebijakan keimigrasian mengenai keberadaan
orang asing sejak saat masuk, saat melintasi batas negara, dan saat berada di
Hindia Belanda. Semangat pengaturan tersebut tidak berpihak kepada masyarakat
yang ada di Hindia Belanda. Immigratie dients atau dinas imigrasi
bentukan pemerintah Hindia Belanda, yang mempunyai tugas menangani masalah
keimigrasian untuk seluruh kawasan Hindia Belanda, mengeluarkan berbagai
peraturan keimigrasian, namun titik beratnya pada kepentingan pemerintah Hindia
Belanda.
Konferensi
internasional tentang emigrasi dan imigrasi tahun 1924 di Roma, memberikan
definisi imigrasi sebagai suatu “human mobility to enter a country with its
purpose to make a living or for residence”. Definisi itu dipahami bahwa
imigrasi memiliki arti gerak pindah orang memasuki suatu negeri dengan niat
untuk mencari nafkah dan menetap disana. Motif orang berimigrasi dari suatu
negara, antara lain terdesaknya suatu bangsa oleh penyerbuan atau pendudukan bangsa
lain atau orang melaksanakan tugas suci untuk mengembangkan agama.
Sebab
lainnya yang cukup signifikan adalah kemiskinan dan keyakinan untuk mengadu
untung di negara baru. Motif ekonomi yang telah membuka selera kapitalis untuk
menjajah, sedangkan ilmu pengetahuan telah menarik cerdik pandai untuk
menyelidiki berbagai daerah baru. Politik keimigrasian zaman Hindia Belanda
meliputi tiga bidang yaitu bidang perizinan masuk dan tinggal orang asing,
bidang kependudukan orang asing, dan bidang kewarganegaraan.
Sejarah
perkembangan politik hukum pada masa kolonial meliputi tiga bidang yaitu bidang
perizinan masuk dan tinggal orang asing, bidang kependudukan orang asing, dan
bidang kewarganegaraan. Bidang perizinan masuk dan tinggal orang asing pada
masa kolonial menerapkan politik pintu terbuka (opendeur politiek), yang
dalam penjelasan undang-undang Nomor 8/Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Imigrasi dijelaskan sebagai berikut:
- Untuk menarik kapital asing dan pengaruh asing ke negara kita ini sebesar-besarnya degan pengharapan agar bangsa Indonesia sendiri tidak dapat bergerak oleh karena segala sesuatu diliputi dan ditekan oleh pengaruh tadi.
- Agar bangsa Indonesia tetap terjajah.
- Agar banyak pihak dapat mempertahankan Indonesia bila diserang oleh negara lain, karena kenyataannya banyak negara yang menaruh minat untuk menjajah Indonesia, dengan demikian pihak Belanda akan memperoleh banyak kekuatan karena tentunya negara-negara lain yang menanamkan modalnya di Indonesia tidak akan tinggal diam.
- Untuk menguntungkan kapital asing tadi mereka membutuhkan tenaga-tenaga murah.
Politik pintu
terbuka tersebut diatas, dapat dilihat dari perumusan dalam bepalingen
omtrent de toelating en vestiging in indonesie van nederlanders en vreemdelingen
atau lebih popular dengan nama Toelatingbesluit, diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan Penetapan Izin Masuk, disingkat PIM, yang diundangkan
dalam staatsblad 1916 Nomor 47 sebagaimana diubah dan ditambah terakhir
dengan staatsblad 1949 Nomor 330. Penetapan Izin Masuk tersebut
merupakan produk Perundang-undangan zaman Hindia Belanda sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 160 ayat (1) Wet op de Staatsinrichting van
Indonesia, Staatblad 1855 Nomor 2.
Pengaruh yang
cukup signifikan dalam perkembang sistem hukum nasional berasal dari kedatangan
bangsa penjajah yang membawa dan memberlakukan sistem hukumnya masing-masing
dengan tujuan untuk menjamin dan melindungi kepentingan mereka sekaligus
sebagai cara mengubah masyarakat nusantara yang dianggap tertingal untuk
menerima gaya hidup barat.
Kependudukan orang asing
adalah orang asing yang berhak tinggal menetap di Indonesia. Masalah
kependudukan orang asing di Indonesia sebelum tahun 1950 diatur dalam:
- Wet Op de Staatsinrichting van Indonesie Pasal 160 ayat (2) sampai dengan ayat (6), Pasal 35, dan Pasal 36.
- Penetapan Izin Masuk Pasal 11 dan 12
Pasal 160 ayat
(2) sampai dengan ayat (6) Wet op de Staatsinrichting van Indonesie mengatur
politik mengenai kependudukan orang asing di Indonesia pada umumnya, sedangkan
Pasal 11 dan Pasal 12 Penetapan Izin Masuk mengatur masalah kependudukan bagi
orang asing yang diizinkan masuk ke Indonesia.
M Iman Santosa
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penduduk adalah orang asing yang tinggal
menetap di Hindia Belanda. Produk perundang-undangan di bidang kependudukan
orang asing di Hindia Belanda yang terpenting adalah Wet op de
staatsinrichting van Indonesie, Pasal 160 ayat (2) sampai dengan ayat (6).
Politik
mengenai kependudukan orang asing yang diatur dalam ayat (2) sampai dengan ayat
(6) Pasal 160 Wet op de Staatsinrichting van Indonesie adalah sebagai
berikut:
- Bahwa orang asing menjadi penduduk Indonesia jika ia, dengan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tinggal menetap di Indonesia (ayat (2)).
- Bahwa orang asing penduduk Indonesia hanya dapat dienyahkan dari Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 55 Wet op de Staatsinrichting van Indonesie (ayat(3)).
- Bahwa hak kependudukan bagi orang asing hilang bila ia berhenti bertempat tinggal di Indonesia atau bila orang asing dienyahkan dari Indonesia. Seorang orang asing penduduk Indonesia yang meninggalkan Indonesia dan tidak kembali ke Indonesia dalam waktu 18 bulan, dianggap berhenti bertempat tinggal di Indonesia (ayat(4))
- Bahwa orang-orang yang belum akil balig dan orang-orang yang ditempatkan dibawah pengampuan, yang wakilnya yang sah merupakan penduduk Indonesia, dianggap sebagai penduduk Indonesia, hal yang sama berlaku pula bagi seorang wanita dalam ikatan perkawinan, yang tidak bercerai meja dan tempat tidur, yang suaminya penduduk Indonesia (ayat 5)).
- Bahwa ketentuan mengenai kependudukan yang diatur dalam peraturan-peraturan lainnya hanya berlaku sepanjang masalah-masalah yang diatur dalam peraturan-peraturan tersebut (ayat(6)).
M Iman Santosa
menyatakan bahwa produk Perundang-undangan Kerajaan Belanda di bidang
kewarganegaraan yang dikutip dari penelitian BPHN tentang Sejarah Departemen
Kehakiman Tahun 1945-1985 adalah:
- Wet op het Nederlanderschap en Ingezetenschap (Ned 1892-298), yang berlaku di negeri Belanda.
- Wet van de 10 Februari 1910, houndende regeling van het Nederlands onderdaanschap van niet-Nederlanders, yang berlaku untuk di Hindia Belanda.
Ketentuan ini
menyatakan bahwa perolehan Nederlands Onderdaanschap didasarkan pada
asas ius soli (berdasarkan tempat lahir) dan perkawinan (bagi perempuan yang
kawin dengan seorang Nederlands Onderdaanschap). Ketentuan ini berkaitan
erat dengan politik keimigrasian karena dengan memperoleh Nederlands
Onderdaanschap, orang tersebut bukan lagi termasuk golongan orang asing.
Prinsip yang sama mendasari perundang-undangan tersebut pada dasarnya sama,
yaitu dikenalnya proses naturalisasi (pewarganegaraan) dalam politik
kewarganegaraan Kerajaan Belanda, namun tidak untuk kawula Hindia Belanda untuk
menjadi Nederlander, dengan demikian tertutup kemungkinan bumi putera
memperoleh hak yang sama dengan warga negara Kerajaan Belanda.
Pengaturan Pada Masa Tahun 1950 Sampai Dengan Tahun 1992
Pada kurun
waktu tahun 1950 sampai dengan tahun 1992 Jawatan Imigrasi telah beralih dan
berkedudukan di bawah pemerintah Indonesia. Peralihan tersebut merupakan titik
mula dari era baru dalam politik keimigrasian Indonesia. Perubahan politikhukum keimigrasian yang mengubah politik kolonial pemerintah Hindia Belanda
menjadi politik hukum keimigrasian yang didasarkan pada kepentingan nasional Pemerintah
Republik Indonesia.
Tanggal 26
Januari 1950, dengan resmi Immigratie dients ditimbang terimakan dari
Kepala Jawatan Imigrasi H. Breekland kepada Kepala Jawatan Imigrasi yang baru,
Mr. H.J. Adiwinata.
Masalah pertama dan utama yang
dihadapi jawatan imigrasi dengan pemimpinnya seorang putera Indonesia adalah
bagaimana mewujudkan politik keimigrasian yang mengabdi kepada kepentingan nasional,
atau dengan perkataan lain, bagaimana mengubah politik keimigrasian yang
bersifat politik pintu terbuka zaman Hindia Belanda menjadi politik
keimigrasian yang didasarkan pada kepentingan nasional.
Pada tanggal
26 Januari 1950 dengan resmi Immgratie Dienst diserahkan kepada
pemerintah Indonesia dan dibentuk djawatan imigrasi yang mempunyai tugas dan
kewajiban pokok, yaitu mengawasi orang asing yang masuk (tentu saja secara
inklusif juga yang keluar).
Tugas dan kewajiban djawatan imigrasi mempunyai
garis politik yang berpedoman pada politik negara dalam bidang imigrasi, yaitu
politik keimigrasian yang bersifat selektif, dengan demikian saat itu tidak
hanya merupakan penggantian pimpinan djawatan imigrasi dari tangan pemerintah
belanda ke tangan pemerintah Indonesia, tetapi yang lebih penting adalah bahwa
hari tersebut merupakan titik mula dari era baru dalam politik keimigrasian
Indonesia. Perubahan yang dimaksud ialah perubahan politik keimigrasian yang
menopang politik pemerintah Hindia Belanda menjadi politik keimigrasian yang
didasarkan pada kepentingan nasional.
Pada masa
tahun 1950 sampai dengan tahun 1992 ada empat bidang yang menjadi fokus
pengaturan keimigrasian di Indonesia. Bidang yang diatur adalah bidang
perizinan masuk dan tinggal orang asing, bidang pengawasan orang asing, bidang
pemidanaan keimigrasian, dan bidang kependudukan orang asing.
Perubahan di
bidang perizinan masuk dan tinggal orang asing di Indonesia, yang pertama-tama
perlu diwujudkan adalah dengan tetap menggunakan penetapan izin masuk sebagai
dasar hukum dan menghilangkan aspek-aspek yang merugikan kepentingan nasional.
Hal tersebut dilakukan dalam 2 bidang, yakni:
- Pemasukan orang asing pendatang baru ke Indonesia untuk bekerja atau mencari nafkah di Indonesia, dan
- Pemasukan orang asing pendatang baru yang sebagai anggota keluarga dari orang asing yang sudah ada di Indonesia.
Selain itu
dengan adanya perubahan politik Hukum Keimigrasian menyebabkan pemerintah
menganggap perlu membuat suatu aturan untuk mengawasi orang asing, yaitu dengan
mengeluarkan:
- Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1953 tentang Pengawasan Orang Asing.
- Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi.
- Peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pendaftaran Orang Asing.
- Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Orang Asing di Indonesia.
Pengaturan Pada Masa Tahun 1992 Sampai Dengan Tahun 2011
Ada dua
tahapan yang memiliki peranan penting dalam politik Hukum Keimigrasian antara
tahun 1992 sampai dengan tahun 2011. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3474), yang disahkan oleh DPR pada
tangal 4 Maret 1992 lahir di masa orde baru kepemimpinan mantan Presiden
Soeharto. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian merupakan hasil
kompilasi dan analisa dari berbagai peraturan perundang-undangan peninggalan
dari Pemerintah Hindia Belanda.
Ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992, diikuti dengan ditetapkannya Peraturan
Pemerintah sebagai pelaksanaannya dalam antara lain:
- Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3561),
- Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3562),
- Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3563), dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1994 tentang Surat Pejalanan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3572).
Upaya
perbaikan dilakukan salah satunya dengan Penyempurnaan Peraturan Perundang-undangan
yang mengacu pada:
- Letak geografis wilayah Indonesia (kompleksitas permasalahan antar negara),
- Perjanjian internasional/konvensi internasional yang berdampak terhadap pelaksanaan fungsi keimigrasian,
- Meningkatnya kejahatan internasional dan transnasional,
- Pengaturan mengenai deteni dan batas waktu terdeteni belum dilakukan secara komprehensif,
- Pendekatan sistematis fungsi keimigrasian yang spesifik dan universal dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang modern,
- Penempatan struktur kantor imigrasi dan rumah detensi imigrasi sebagai unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Imigrasi,
- Perubahan sistem kewarganegaraan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
- Hak kedaulatan negara sesuai prinsip timbal balik (resiprositas) mengenai pemberian visa terhadap orang asing,
- Kesepakatan dalam rangka harmonisasi dan standarisasi sistem dan jenis pengamanan dokumen perjalanan secara internasional,
- Penegakan hukum keimigrasian belum efektif sehingga kebijakan pemidanaan perlu mencantumkan pidana minimum terhadap tindak pidana penyelundupan manusia,
- Memperluas subyek pelaku tindak pidana Keimigrasian, sehingga mencakup tidak hanya orang perseorangan tetapi juga korporasi serta penjamin masuknya orang asing ke wilayah indonesia yang melanggar ketentuan keimigrasian,
- Penerapan sanksi pidana yg lebih berat terhadap orang asing yang melanggar peraturan di bidang keimigrasian karena selama ini belum menimbulkan efek jera.
Semangat era
reformasi yang lahir pada Tahun 1997 menuntut pemerintah memperbaiki kinerja di
berbagai aspek khususnya dalam bidang keimigrasian mengenai tata kelola
pemerintahan yang baik, transparansi dan akuntabel. Fungsi keimigrasian dalam
pelaksanaan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1992 lebih menekankan efisiensi
pelayanan untuk mendukung isu pasar bebas yang bersifat global, namun belum
memperhatikan fungsi penegakan hukum dan fungsi sekuriti, mulai pada era ini
harus diimbangi dengan fungsi keamanan dan penegakan hukum sehingga harus
melakukan perbaikan.
Pengaturan Pada Masa Tahun 2011 Sampai Dengan Sekarang
Diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang telah diundangkan
pada tanggal 5 Mei 2011, maka berdasarkan Bab XV Pasal 142, Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengannya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Materi Undang-Undang Nomor 6 tahun
2011 pada dasarnya secara prinsip, tidak banyak mengubah politik hukum
keimigrasian sebagaimana termuat didalam Undang-Undang Keimigrasian yang
terdahulu. Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
menguraikan bahwa perubahan pokok yang terlihat hanya pada alinea ketiga dan
diulang pada alinea ketiga belas mengenai penghapusan ketentuan penangkalan
terhadap Warga Negara Indonesia, serta adanya pembatasan jangka waktu masa
pendetensian seorang asing di Rumah Detensi Imigrasi, yang sebelumnya tidak
pernah diatur masalah tersebut pada undang-undang terdahulu, namun pengaturan
jangka waktu pendetensian maksimal 10 (sepuluh) tahun yang ditetapkan dalam Pasal
85 ayat 2 dirasakan tidak tuntas, karena pasal atau ayat selanjutnya tidak
pernah mengatur bagaimana status keimigrasian keberadaan mereka setelah lepas
dari Rumah Detensi Imigrasi, apakah mereka akan memiliki hak untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
Ada hal baru
yang dimuat didalam Undang-Undang Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011, yaitu
diaturnya teknologi informasi dan komunikasi di dalam sistem manajemen
keimigrasian, suatu ketentuan yang seharusnya sudah dimuat dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 karena sebenarnya instansi keimigrasian Indonesia telah
menerapkan teknologi informasi sejak tahun 1976.
Pengaturan mengenai penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi hanya diatur dalam satu pasal dengan dua
ayat, disayangkan bahwa dalam pengaturan sistem informasi manajemen
keimigrasian tidak diatur suatu pasal mengenai status legal formal penggunaan produk
teknologi informasi didalam suatu proses hukum atau proses peradilan baik itu
berbentuk hard copy atau soft copy sebagai barang bukti yang sah
dan valid.