Sistem Pemidanaan
Monday, 6 March 2017
SUDUT HUKUM | Perkembangan teori-teori
tentang tujuan pemidanaan berkembang seiring dengan munculnya berbagai
aliran-aliran di dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan teori-teori
tersebut. Perihal ide dari ditetapkannya tujuan pidana dan pemidanaan dapat
dilihat dari berbagai teori-teori pemidanaan yang dalam perkembangannya sebagai
berikut:
1. Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien).
Menurut teori ini pidana
dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak
pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan
pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki
penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang
perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana
adalah pembalasan (revegen).
Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa:
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan
yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada
terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam
hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu
kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan
tuntutan keadilan.
Menurut Vos, bahwa: Teori
pembalasan absolut ini terbagi atas pembalsan subyektif dan pembalasan
obyektif. Pembalasan subyektif adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku,
sementara pembalasan obyektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah
diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana
tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan
itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana
secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk
memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan
dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut
teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu
dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.
Nigel Walker menjelaskan bahwa
ada dua golongan penganut teori retributive yaitu: Teori retributif murni yang
memandang bahwa pidana harus sepadan dengan kesalahan. Teori retributif Tidak
Murni, Teori ini juga masih terpecah menjadi dua yaitu:
- Teori Retributif terbatas (The Limiting Retribution). Yang berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah keadaan yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran.
- Teori retributive distribusi (retribution in distribution). Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga gagasan bahwa harus ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi.
2. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)
Teori relatif atau teori
tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan
tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut,
dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan
pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau
membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental.
Menurut
Muladi tentang teori ini bahwa: Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas
kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi
masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya,
yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan
untuk pemuasan absolut atas keadilan.
Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan
yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie)
yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie)
yang ditujukan ke masyarakat.
Teori
relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu
preventif,detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention)
untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari
masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut
melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi
perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan
perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan
dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali
melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Menurut teori ini suatu
kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah
cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya
suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja
dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.Dengan demikian, harus
ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian,
teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan
kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang
lagi (prevensi).
Teori relatif ini melihat bahwa
penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang
yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Menurut Zevenbergen
”terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis,
perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.” Perbaikan yuridis mengenai sikap
si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai
cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan
perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang
bermoral tinggi.
3. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)
Teori gabungan atau teori
modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan
antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu
kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter
pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab
tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa
tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana
di kemudian hari.
Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List
dengan pandangan sebagai berikut :
- Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.
- Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.
- Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi denga upaya sosialnya.
Pandangan di atas menunjukkan
bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu selain memberikan penderitaan
jasmani juga psikologi dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan
pendidikan.
Munculnya teori gabungan ini,
maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang
menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi
seimbang. Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh
Pompe. Pompe menyatakan: Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang,
pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada
ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu
sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena
hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna
bagi kepentingan umum.
Van Bemmelan pun menganut teori
gabungan, ia menyatakan: Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan
masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana
dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana
kedalam kehidupan masyarakat.
Grotius mengembangkan teori
gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan,
tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan
yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.
Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan
oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan
kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah
pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum.
Pidana
mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan. Teori gabungan
yang kedua yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini
tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh
lebih besar dari pada yang seharusnya. Pidana bersifat pembalasan karena ia
hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara
sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan
pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat.
Menurut Vos ”pidana berfungsi
sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia
sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah
berpengalaman.” Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan
pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas
oleh para sarjana.