Hukum Hadiah
Wednesday, 14 June 2017
Menurut syara’, hukum asal hadiah adalah disunnahkan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
Hendaklah kamu saling memberi hadiah karena pemberian hadiah dapat menghilangkan panasnya hati.
Memberi hadiah dan menerimanya serta membalas kepada yang memberikan hadiah itu, disyaratkan oleh ulama, dan hukum seperti ini disepakati oleh ulama. Dibolehkan (tidak dimakruhkan) saling memberi hadiah antara orang Islam dengan orang bukan Islam, hukum ini juga disepakati, walaupun sebagian ulama memakruhkan. Dalam hadits lain juga diterangkan:
Hendaklah kamu saling memberi hadiah karena pemberian hadiah dapat menghilangkan kemarahan hati.
Dari hadits-hadits di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian hadiah itu disunnahkan, begitu pula menerimanya. Hadiah merupakan sebuah lambang kasih sayang antara sesame, akan tetapi bagi yang memiliki kekuasaan atau jabatan, seperti hakim dan pejabat tinggi, hendaknya tidak mudah menerima hadiah. Hal ini untuk menjaga hal-hal yang tidak baik dampaknya.
Apalagi menerima hadiah dari orang yang semula belum pernah memberi hadiah ketika dia belum memangku jabatannya. Alasannya, karena hal tersebut dapat diduga mempunyai maksud tertentu dan tidak sekadar kasih sayang atau persaudaraan, tidak dapat disangkal bahwa ia bermaksud mendapatkan sesuatu yang diinginkan, baik berupa pekerjaan, perlindungan, dukungan, maupun pertolongan. Kalau sudah demikian bentuknya, maka itu bukan hadiah lagi sebagaimana yang telah didefinisikan, melainkan sudah merupakan bentuk suap karena tidak dimaksudkan untuk suatu kebaikan, seperti berkeinginan meraih keridhaan Allah.
Imam Ahmad berkata, "Barang siapa yang menjabat dalam pemerintahan dan sejenisnya, maka tidak boleh menerima sesuatu hadiah dari orang lain". Imam at-Tin berpendapat, "Hadiah dari karyawan untuk atasannya itu jelas suap, bukan lagi hadiah murni. Maka, kalau seorang hakim misalnya menerima hadiah, itu jelas penghasilan haram". lbnu Rabi'ah juga berkata, "Jauhi bentuk-bentuk hadiah yang tidak murni lagi, karena hal itu mengantarkan kepada suap dan hadiah tersebut mematikan cahaya hikmah sebab menyerupai suap".
Dengan demikian hadiah identik dengan suap yang diharamkan. Hanya saja, hukum hadiah dapat berubah tergantung pada masing-masing atau pihak yang terkait dengannya. oleh karena itu, pembahasan ini akan dititik beratkan pada hadiah yang berkaitan dengan jabatan seseorang yang jelas-jelas merupakan suap. Penjelasannya sebagaimana berikut ini:
Hadiah kepada imam
Imam yang dimaksud di sini adalah penguasa kaum muslimin. Dia boleh menerima hadiah. Hanya saja, Ibnu Abidin tidak sependapat. Dia mengatakan bahwa seorang imam yang muslim tidak boleh menerima hadiah, kecuali dia hanya sebagai imam masjid. Adapun jika dia sebagai penguasa atau pejabat, maka diharamkan menerima hadiah dari siapapun karena dia adalah kepala negara.
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa seorang tokoh masyarakat boleh menerima hadiah selama hadiah tersebut diberikan tanpa tendensi yang berkaitan dengan urusan pemerintahan, jabatan, pekerjaan, ataupun pertolongan yang dibutuhkan. Sebab, hadiah yang secara khusus diberikan atau diterima pejabat pemerintahan sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu at-Tin.
Begitu pula pendapat Umar bin Abdul Aziz bahwa hadiah yang diberikan kepada selain pejabat pemerintahan itu diperbolehkan sehingga boleh pula mengambil atau membalasnya dengan hadiah yang lebih baik dari hadiah yang telah diterimanya. Oleh karenanya Rasulullah Saw. tidak pernah menerima hadiah yang berkaitan dengan urusan pemerintahan. Beliau hanya menerima hadiah dari seseorang yang menurut pengetahuan beliau baik hati dan tidak menginginkan kepentingan duniawi.
Hadiah kepada hakim
Hakim boleh menerima hadiah dari orang yang tidak pernah atau sedang bermusuhan dan berurusan dengannya, atau keduanya bukan pada posisi yang berlawanan. Atau, hakim dengan orang yang memberi hadiah itu memiliki hubungan keluarga dan sebelum dia menjadi hakim memang sudah pernah menerima hadiah dari orang tersebut serta tidak lebih banyak dari itu.
Begitu pula seorang pejabat boleh menerima hadiah dari penguasa atau pejabat yang mengangkatnya dengan syarat tidak sedang bermusuhan dengannya atau sudah selesai proses hukum untuknya. Meskipun demikian menurut Alauddin ath-Tharablisi, ”seorang hakim tidak boleh menerima hadiah karena hadiah itu pasti akan menimbulkan toleransi antar-keduanya. Kalau hakim menerima hadiah itu, maka akan cenderung menimbulkan ketidakadilan dalam memutuskan suatu perkara”.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan kriteria-kriteria hadiah yang identik dengan suap:
- Hadiah yang diberi atau diterima kedua belah pihak, yang antara pemberi dan penerima (hakim) sedang dalam proses atau paling tidak terkait suatu perkara meskipun tidak langsung. Baik ketika belum menjadi hakim sudah pernah menerima hadiah dari orang tersebut ataupun tidak. Baik keduanya memiliki hubungan keluarga atau tidak.
- Hadiah yang antara pemberi atau penerimanya (hakim) tidak sedang dalam perkara dan sebelum menjadi hakim pernah menerima hadiah dari orang tersebut, tapi setelah menjadi hakim hadiah itu bertambah banyak jumlah dan frekuensinya. Penambahan itu yang menyebabkan tidak diperbolehkannya pemberian hadiah.
- Hadiah dari penguasa yang mengangkatnya dan dia dalam suatu perkara yang belum diambil keputusannya.
- Hadiah dari seorang yang tidak akan memberinya hadiah seandainva si penerima tidak menjadi hakim. Hadiah-hadiah semacam ini jelas haram untuk diterima karena dengan menerimanya berarti melecehkan arti suatu persaudaraan dan norma-norma yang ada. Hadiah-hadiah semacam itu tidak ada bedanya dengan suap.
Hadiah kepada pemberi fatwa
Hadiah yang diberikan kepada pemberi fatwa dengan bertujuan memuliakan ilmunya dan sebagai perwujudan rasa simpatik diperbolehkan. Akan tetapi, kalau hadiah itu untuk tujuan duniawi dan karena disertai perasaan pamrih supaya mufti (pemberi fatwa) tersebut mengeluarkan fatwa sesuai keinginannya untuk membantu mengangkatnya terhadap lawannya, maka itu tidak diperbolehkan.
Hadiah kepada dai dan guru
Seorang dai atau guru boleh menerima hadiah manakala hadiah itu dimaksudkan sebagai rasa hormat dan memuliakan ilmunya dan agar keduanya tetap melaksanakan kewajiban mereka. Akan tetapi, jika hadiah itu dimaksudkan supaya dai dan guru melaksanakan keinginan si pemberi lantaran jika tidak diberi maka ia tidak melaksanakannya, atau hadiah itu bermotif supaya si pemberi mendapat pertolongan darinya berupa kelulusan atau tambahan nilai, maka hal itu jelas tidak diperbolehkan.
Jabatan-jabatan lain
Menyerahkan pekerjaan atau jabatan kepada seseorang berarti mengamanatkan wewenang atau kekuasaan kepadanya. Maka, yang memegang kekuasaan teratas tidak boleh memungut hadiah dari orang yang diserahi jabatan, baik untuk urusan orang banyak maupun untuk lainnya. Masing-masing wajib melaksanakan tugasnya dengan ikhlas sebagai suatu amanah dan bukti ketakwaannya sehingga akan terwujud persamaan hak antara pejabat yang satu dengan pejabat lainnya.
Maka, jelaslah bahwa apabila seorang atasan memungut hadiah dari bawahannya, hal itu sama dengan memakan suap yang jelas-jelas diharamkan. Disamakan dengan suap karena secara logika hadiah itu tidak mungkin ada kalau bukan karena adanya jabatan yang telah diberikan. Atasan memungut hadiah karena merasa berjasa telah memberikan jabatan atau pekerjaan. Demikian alasan dilarangnya hal tersebut. Seorang pejabat diperbolehkan menerima hadiah dalam batasan-batasan yang sama dengan diperbolehkannya seorang hakim menerima hadiah, seperti penjelasan di atas. Demikian menurut pendapat yang paling kuat.