Pemikiran Munawir Sjadzali Seputar Reaktualisasi Hukum Waris
Sunday, 4 June 2017
SUDUT HUKUM | Berbicara mengenai reaktualisasi, khususnya ajaran Hukum Islam bidang kewarisan, Munawir Sjadzali mengemukakan bahwa ia tidak pernah sama sekali merasa bahwa ia telah menjadi pencetus dengan memperkenalkan pola pikir baru mengenai pembaharuan Hukum Islam tersebut.
Menurutnya, hal ini dikarenakan sekitar Abad ke-12 yang lalu Abu Yusuf, seorang ulama besar serta Hakim Agung dan murid kesayangan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa walau nash sekalipun, apabila dahulu dasarmya berawal dari adat dan kebiasaan, dan adat itu kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum atau petunjuk yang terkandung dalam nash tersebut. Kemudian sekitar tujuh abad yang lalu At-Thufy, seorang ulama’ besar dari madzab Hanbali, mengatakan bahwa apabila terjadi benturan antara kepentingan masyarakat dan nash serta ijma’, maka wajib mendahulukan atau memnangkan kepentingan masyrakat atas nash atau ijma’ tersebut.
Selain itu, Muhammad Abduh seorang yang sementara, oleh sebagian kalangan dianggap sebagai pembaharu yang hidup di zaman pertengahan kedua Abad 19 dan wafat pada tahun 1905, menyatakan bahwa dalam hal terjadi benturan antara pemikiran berdasarkan nash dan pemikiran berdasarkan nalar, maka hendaknya diambil mana yang sesuai dengan nalar.
Kemudian, dua penafsir awal Abad ke-20, Muasthafa Al-Maraghi dan Muhammad Rasyid Ridha, sependapat bahwa hukum itu diundanghkan semata-mata hanya untuk kepentingan manusia, sedangkan kepentingan manusia itu dapat berbeda karena perbedan zaman dan tempat. Oleh karenanya, maka apabila suatu hukum diundangkan pada waktu kebutuhan terhadap hukum itu mendesak, tetapi kemudian hari kebutuhan itu tidak ada lagi, maka lebih bijaksana kalau hukum itu ditarik dan diganti dengan hukum lain yang sesuai dengan situasi terakhir, dilihat dari segi kepentingan masyarakat.
Oleh sebab itulah, kemudian menurut Munawir Sjadzali bukan dirinyalah orang pertama yang mengajak umat islam untuk mempertimbangkan kemungkinan reaktualisasi ajaran Islam, khusunya dibidang kewarisan antara anak laki-laki dan perempuan. Menurutnya, ulama’ terdahulu telah lebih dulu melemparkan gagasan pengaktualan terhadap ajaran Islam dengan lebih berani dan lebih konseptual.
Kemudian, Munawir Sjadzali mengambil beberapa pendapat ulama’ untuk memperkuat pemikirannya, dengan mengambil pendapat Muhammad Abduh, yang mengatakan bahwa umat Islam, hendaknya harus berani membebaskan pikiran dari belenggu taqlid dan hendaknya umat Islam memahami agama dan mempergunakan metode yang dipergunakan para pendahulu umat Islam sebelum timbulnya perselisihan. Dan dalam mencari pengertian-pengertian agama-agama, hendaknya umat Islam kembali pada sumber-sumber pertama, yakni al-Qur’an dan hadist serta memperlakukan dan memanfaatkan akal sebagai salah satu kekuatan yang paling utama yang dimiliki oleh manusia.
Munawir Sjadzali mengungkapkan bahwa apa yang selama ini ia lakukan hanya merupakan usaha untuk mengikuti anjuran Muhammad Abduh tersebut. Kemudian, menurutnya lebih tepat apabila dirinya dikategorikan ke dalam penganut aliran salaf, dan bukan sekuler. Namun demikian, ia menyerahkan sepenuhnya hal tersebut kepada penilaian para pengamat, ke dalam golongan mana Munawir dikategorikan.