-->

Pengelolaan Wakaf

Setiap harta wakaf hendaklah diusahakan hasil dan pemanfaatannya secara maksimal. Karena itu perlu ada orang yang bertanggung jawab mengawasi, menjaga, memelihara, serta mengelola harta wakaf itu, kemudian menggunakan atau membagikan kepada yang berhak menerimanya. Di Indonesia pengelola harta wkaf itu disebut nadhir.

Hal ini didasarkan hadis Ibn Umar yang artinya: 
…tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan asal tidak bermaksud mencari kekayaan”. Yang dimaksud dengan orang yang mengurusnya ialah nadhir”.

Semula kekusaan pengelola harta wakaf itu berada ditangan waqif. Sebab dialah pemilik asal harta wakaf itu. Kemudian kepadanya pulalah kembali wewenang mengawasi, mengelola dan memanfaatkannya. Untuk menetapkan pengelola wakaf tidak memerlukan pernyataan tertentu.

Waqif berhak mengangkat penggantinya jika ia merasa tidak sanggup lagi mengurusnya. Jika waqif meninggal dunia, maka hakim mengangkat ahli warisnya. Hakim tidak boleh mengangkat orang lain, kecuali dengan seizin dari waqif.

Madzhab Maliki mensyaratkan terpisahnya harta wakaf dari waqif karena kedudukan waqif hanyalah sebagai pengawas, sedangkan pengelola wakaf diangkat orang atau badan tersendiri.

Baca Juga

Menurut madzhab Syafi’I hak pengelolaan wakaf berada ditangan orang lain waqif, kecuali jika dalam sighat wakaf ditetapkan bahwa waqif sebagai pengelolanya. Jika tidak ditetapkan ada kemungkinan yaitu:
  • Pengelola tetap berada pada waqif, karena dialah yang berkepentingan terhadap tercapainya tujuan wakaf, semakin besar hasil atau manfaat wakaf, semakin besar pula pahala yang mengalir pada dirinya.
  • Pengelola itu berada pada pemakai manfaat atau hasil wakaf, karena penerima manfaat atau hasil wakaflah yang paling berkepentingan. 
  • Pengawasan itu berada ditangan hakim atau pemerintah (di Indonesia institusi ini disebut PPAIW), karena pemerintah atau hakim berkewajiban melindungi hak penerima wakaf, hak waqif dan terhadap kemungkinan terjadinya peralihan status wakaf dikemudian hari.

Madzhab Hambali berpendapat bahwa pengelola wakaf ditetapkan diwaktu terjadinya ikrar wakaf apakah yang diangkat itu waqif atau orang lain.

Syarat dan tugas nadhir:

Syarat-syarat nadhir
Apabila waqif memberikan persyaratan untuk merawat harta yang diwakafkan, maka syarat tersebut harus dipenuhi. Akan tetapi, jika waqif tidak memberikan syarat apapun terhadap harta wakafnya, maka yang berhak mengelola adalah qaddhi (pemerintah atau hakim). Hal ini karena pada dasarnya hak kepemilikan harta wakaf adalah milik Allah SWT.

Adapun syarat pokok nadhir adalah “adil dan kifayah” sekalipun nadhir itu si wakif sendiri, biarpun ia perempuan. Sama halnya yang memberi kekuasaan padanya itu si wakif ataupun hakim disyaratkan dua hal tersebut yaitu adil dan kifayah, adapun maksudnya:
  • Adil (al ‘Adalah) yaitu adil secara batin, artinya orang yang senantiasa mawasdiri dari perbuatan-perbuatan terlarang. Imam Rofi’i dan Imam Nawawi menggunakan term “amanah”, tapi termasuk adalah lebih spesifik.
  • Kifayah, yaitu kemampuan dalam mengelola harta benda wakaf baik secara khusus atau umum, artinya ia mampu menunjukkan pendayagunaan benda wakaf yang diserahkan kepadanya dengan baik.

Syaikh Zakaria al-Anshari mendefinisikannya sebagai berikut:
Kifayah artinya (nadhir haruslah orang) yang punya kekuatan dan pintar mengelola (harta benda wakaf) yang menjadi tanggung jawabnya.
Dari syarat tersebut di atas, apabila nadhir (pada suatu ketika berlaku fasiq, kemudian ia kembali berlaku adil, maka ia memperoleh kembali hak untuk menjadi wali (wilayah) dengan catatan waqif mensyaratkan demikian. Namun jika tidak ada syarat apapun dari waqif, maka bagi nadhir tersebut tidak memperoleh haknya kembali untuk menjadi wali (penguasa) merupakan hak yang tidak bias dicabut dan diganti oleh siapapun.

Sedangkan sesuatu yang datangnya baru (baik berupa perbuatan atau ucapan) pada dasarnya sebagai penghalang (mani’) dari peran dan fungsi nadhir untuk mengelola harta wakaf, bukannya menghilangkan hak wilayahnya.

Tugas nadhir
Tanggung jawab adalah mengelola, mengawasi, memperbaiki dan mempertahankan harta wakaf dari gugatan orang lain. Apabila seseorang telah ditunjuk menjadi nadhir, maka ia boleh menyewakan dan atau mengembangkan harta wakaf serta membagi-bagikan hasilnya kepada para penerima wakaf. Dalam usaha mengembangkan harta wakaf, agar produktif, dalam Ensiklopedi Hukum Islam menyebutkan bahwa, menurut ulama madzhab Hanafi, nadhir-demikian kata ulama madzhab Hanafi- berhak menerima upah yang wajar. Apabila wakaf disewakan kepada orang lain, untuk jangka waktu tertentu, seperti menyewakan rumah wakaf selama satu tahun, atau menyewakan tanah selama tiga tahun, menurut ulama madzhab Hanafi boleh saja. Kecuali ada cara lain yang lebih banyak kemaslahatannya dari penyewa dengan jangka waktu yang lama itu. Akan tetapi ada pendapat lain dikalangan madzhab ulama Hanafi yang mengatakan bahwa menyewakan harta wakaf, harta anak yatim, dan harta baitul mal dalam waktu yang lama tidak boleh, karena hal tersebut membawa kepada perubahannya fungsi harta wakaf. 

Masih dalam Ensiklopedi Hukum Islam, bahwa menurut ulama madzhab Maliki, nadhir boleh menyewakan harta wakaf dalam jangka waktu satu sampai dua tahun, apabila harta wakaf itu berbentuk tanah, tetapi jika harta wakaf sudah tidak berfungsi, seperti lahan pertanian yang sudah menjadi hutan dan memerlukan biaya perbaikan, maka boleh disewakan kepada orang lain selama 40-45 tahun. Akan tetapi, harga sewa tidak boleh kurang dari harga sewa yang berlaku umum. Hasil sewaan harta wakaf itu, menurut, mereka tidak dibagikan kepada yang berhak menerimanya, kecuali harta yang disewakan itu telah kembali ke tangan nadhir. Apabila nadhir membangun rumah atau menanamkan pohon ditanah wakaf itu, sedangkan ia tidak menjelaskan bahwa itu miliknya, maka apabila ia wafat, rumah dan tanah itu termasuk harta wakaf. Tetapi manakala ada keterangan yang menyakinkan hakim bahwa rumah dan tanaman itu milik nadhir, maka rumah dan tanaman itu diberikan kepada ahli waris nadhir.

Menurut ulama madzhab Syafi’I, apabila harta wakaf disewakan dengan harga yang berlaku di daerah setempat, maka sewa menyewa dianggap tidak sah. Berbeda dengan pendapat ulama madzhab Syafi’i, ulama madzhab Hambali tetap memandang sah sewa harta wakaf yang lebih rendah dari patokan umum, asal saja kekurangan sewaan itu menjadi tanggungan nadhir. Tapi, apabila nadhir merasa ditipu tentang harga sewa, ia berhak menuntut kekurangannya.

Pemberhentian nadhir
Nadhir dapat diberhentikan atau dibebastugaskan apabila:
  • Mengundurkan diri dari nadhir
  • Berkhianat dan tidak memegang amanah wakaf
  • Melakukan hal-hal yang membuatnya ia menjadi orang fasiq, seperti berjudi dan minum minuman keras.
  • Kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila
  • Mengelola harta wakaf itu menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat
  • Waqif atau hakim mencabut wewenang nadhir yang bersangkutan

Persoalan wakaf tanah di Indonesia telah di atur melalui PP. No. 28 Tahun 1977, Peraturan MENDAGRI No.6 Tahun 1977, Peraturan MENAG No. 1 Tahun 1978, dan terakhir mengenai hukum
wakaf tanah dan lain-lain diatur secara rinci dalam Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Dalam Kompilasi Hukum Islam, persoalan wakaf diatur dalam pasal 215-229. Meliputi ketentuan umum, fungsi, unsure-unsur, dan syarat-syarat wakaf, tata cara perwakafan dan pendaftaran benda wakaf, perubahan penyelesaiaan, dan pengawasan benda wakaf, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel