-->

Tujuan Pemidanaan

Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tujuan pemidanaan di Indonesia adalah sebagai tahap formulatif dalam penegakan hukum yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pemidanaan khususnya pidana penjara dan pembinaan narapidana sebagai tahap eksekusi dalam penegakan hukum. Salah satu upaya untuk mengetahui tujuan pemidanaan kita adalah dengan melihat pada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini KUHP. [1]

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana sebagai pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem  atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan.  [2]

Tujuan Pemidanaan


Tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, adalah sebagai berikut : ”Untuk menakut-nakuti orang agar orang tersebut jangan sampai melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (general preventive) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di kemudian hari orang itu tidak melakukan lagi kejahatan”. [3]

Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk sama-sama yang akan datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan adalah:
  • Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie);
  • Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat;
  • Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni :
  1. Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna
  2. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak    pidana. [4]

Romli Atmasasmita, mengemukakan, jika dikaitkan dengan teori restributif tujuan pemidanaan adalah:
  1. Dengan pemidanaan maka si korban akan merasa puas, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe restributif ini disebut vindicative.
  2. Dengan pemidanaan akan memberikan peringatan pada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak sah atau tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe restributif ini disebut fairness.
  3. Pemidanaan dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut dengan the grafity  of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe restributif ini disebut dengan proportionality. Termasuk ke dalam ketegori the grafity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalainnya. [5]
Tipe restributif  yang disebut vindicative tersebut di atas, termasuk ke dalam kategori pembalasan. John Kalpan, dalam bukunya Criminal Justice membagi teori restributif menjadi 2 (dua), yaitu:
  1. The reverange theory (teori pebalasan)
  2. The expiation theory (teori penebusan dosa). [6]
Pembalasan mengandung arti hutang si penjahat telah dibayarkan kembali (the criminalis paid back), sedangkan penebusan dosa mengandung arti si penjahat membayar kembali hutangnya (the criminal pays back). Jadi pengertiannya tidak jauh berbeda. Menurut John Kalpan, tergantung dari cara orang berpikir pada saat menjatuhkan sanksi. Apakah dijatuhkannya sanksi itu karena ”menghutangkan sesuatu kepadanya” ataukah disebabkan ia berhutang sesuatu kepada kita.

Sebaliknya Johannes Andenaes, menegaskan ”penebusan” tidak sama dengan ”pembalasan dendam” (revange). Pembalasan berusaha memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan penebusan dosa lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. [7]


Rujukan:

  1. Barda Nawawi Arief, 1984. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy). Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. hlm. 34.
  2. Zainal Abidin, 2005. Pemidanaan,  Pidana  dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. ELSAM, Jakarta. hlm. 10
  3. Andi Hamzah, 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 26.
  4. Sudarto, 1986. Op. cit. hlm. 83
  5. Romli Atmasasmita, 1995. Kapita  Selekta  Hukum  Pidana dan Kriminologi. Mandar Maju, Bandung. hlm. 83-84
  6. Muladi, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung. hlm. 13
  7. Ibid., hlm. 14

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel