-->

Hukuman Jarimah Ta’zir

Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i. Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman-hukuman ta’zir antara lain:

Hukuman Jarimah Ta’zir

Hukuman mati

Pada dasarnya menurut Syari’at Islam, hukuman ta’zir adalah memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqoha’ yang lain dalam

Jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati. Di luar ta’zir hukuman mati hanya dikenakan terhadap perbuatan-perbuatan tertentu seperti zina, gangguan keamanan, riddah (murtad, keluar dari Islam), pemberontakan dan pembunuhan sengaja.

Hukuman cambuk

Dikalangan fuqoha’ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman cambuk dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman cambuk dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman cambuk pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.

Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya sama dengan pendapat mazhab Imam Syafi’i. pendapat ke empat mengatakan bahwa hukum cambuk yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta’zir tidak boleh melebihi 10 kali.

Hukuman Kawalan (Penjara Kurungan)

Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi, ulama berbeda pendapat. ulama Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama’-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat.

Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.

Hukuman Pengasingan (at-Taghrib wal Ib’ad)

Mengenai masa pengasingan dalam jarimah ta’zir menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad tidak boleh lebih dari satu tahun, menurut Abu Hanifah masa pengasingan lebih dari satu tahun sebab hukuman disini adalah hukuman ta’zir. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)(Q.S al-Maidah : 33)

Hukuman Salib

Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut merupakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari.

Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tahbih) dan Peringatan

Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancaman jilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi. Hukuman peringatan juga diterapkan dalam Syari’at Islam dengan jalan memberikan nasihat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al-Qur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.

Hukuman Pengucilan (Al Hajru)

Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan  hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara.

Hukuman Denda (Al-Gharamah)

Hukuman denda ditetapkan juga oleh Syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. Hukuman-hukuman ta’zir ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
  • Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, penjara dan sebagainya.
  • Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan dan tegoran.
  • Hukuman-harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan perampasan harta.

Penerapan asas legalitas bagi jarimah ta’zir berbeda dengan penerapan jarimah hudud dan qisas. jarimah hudud dan qisas diyat seperti kita ketahui bersifat ketat artinya setiap jarimah hanya diberikan sanksi yang sesuai dengan ketentuan syara’ sebaliknya, jarimah ta’zir bersifat luas. Oleh karena itu tidak ada ketentuan bagi tiap-tiap jarimah secara sendiri, disamping itu, untuk beberapa jarimah yang mempunyai kesamaan jarimah lain tidak diperlukan aturan asas legalitas yang khusus. Cukup apabila jarimah tersebut mempunyai kesamaan sifat yang telah ditentukan secara umum. Oleh karena itu kemungkinan bisa saja beberapa jarimah yang berbeda akan mendapat hukuman yang sama. Itulah yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang bersifat elastis.

Perbedaan yang menonjol antara jarimah hudud, qishash, dan jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
  1. Dalam jarimah hudud tidak ada pemaafan, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan pemaafan itu ada, baik oleh perorangan maupun oleh ulul amri, bila hal itu lebih mashlahat.
  2. Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukum yang lebih tepat bagi si pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi, dan tempat kejahatan. Sedangkan dalam jarimah hudud yang diperhatikan oleh hakim hanyalah kejahatan material.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel