Pemberdayaan Masyarakat
Sunday, 9 July 2017
Pemberdayaan masyarakat adalah konsep yang berkembang dari masyarakat budaya barat sejak lahirnya Eropa modern pada pertengahan abad 18. dalam perjalanannya sampai kini telah mengalami proses dialektika dan akhirnya menemukan konsep ke-masa kini-an, yang telah umum di gunakan. Secara umum pemberdayaan dalam pembangunan meliputi proses pemberian kekuasaan untuk meningkatkan posisi sosial, ekonomi, budaya dan politik dari masyarakat yang bersifat lokal, sehingga masyarakat mampu memainkan peranan yang disignifkan dalam pembangunan.
Sumodiningrat (1997:165) menyatakan, bahwa pemberdayaan masyarakat bertalian erat dengan upaya penanggulangan masalah-masalah pembangunan, seperti pengangguran, kemiskinan dan kesejanjangan. upaya memberdayakan masyarakat tersebut harus di lakukan melalui tiga cara, yaitu:
- menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
- Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (ompowering) dalam rangka ini di perlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berkarya dalam memanfaatkan peluang.
- Memberdayakan juga berarti melindungi. Dalam proses pemberdayaan memerlukan cara-cara atau langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya. Tanpa langkah-langkah yang tepat, upaya pemberdayaan akan mengalami banyak kendala. Pemberdayaan sebagai proses ataupun sebagai tujuan pada dasarnya akan memunculkan keberanian pada individu ataupun kelompok. Kondisi semula yang cenderung hanya menerima keadaan akan lebih berani bertindak untuk merubah keadaan. Bentuk keberanian itu juga dapat berupa menghadapi kekuasaan formal guna menghapus ketergantungannya pada kekuatan itu.
Secara khusus kartasasmita (1996:144) meninjau tentang peranan pihak-pihak yang terlibat dalam pemberdayaan, yaitu:
Sebagai upaya untuk memberikan kekuatan dan kemampuan, berarti di dalam pemberdayaan mengandung dua pihak yang perlu ditinjau dengan seksama yaitu pihak yang diberdayakan dan pihak yang memperdayakan. Agar dapat diperoleh hasil yang memuaskan diperlukan komitmen yang tinggi dari kedua pihak. Dari pihak pemberdaya harus beranjak dari pendekatan bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai program dan proyek pembangunan, akan tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunannya sendiri. Untuk itu, maka dalam pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan yang terarah, dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dan menggunakan pendekatan kelompok.
Pihak pemberdaya harus mempunyai komitmen untuk membuat atau melakukan suatu program yang juga memberdayakan. Sebab pengalaman menunjukkan bahwa banyak program pembangunan dalam pelaksanaannya kurang atau bahkan tidak mencerminkan aspek pemberdayaan. Hal ini tidak sesuai dengan pemberdayaan yang memberikan kekuatan dan kemampuan pada masyarakat. Komitman yang rendah dari pihak pemberdaya dapat saja muncul dari kekhawatiran bahwa dengan upaya pemberdayaan akan mengurangi kekuatan dan kekuasaan mereka.
Pemberdayaan sebagai cara pembangunan yang mengacu pada pembangunan yang berpusat rakyat didalamnya mengandung upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia serta partisipasi masyarakat. Karakteristik dari pembangunan yang berpusat rakyat tersebut dikemukakan oleh Supriatna (2000:18), yaitu:
- Keputusan dan insiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat ditingkat local dimana didalamnya rakyat memiliki indentitas dan peran yang dilakukan sebagai partisipasi aktif.
- Fokus utama pembangunan adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengawasi dan menggerakkan asset-aset guna memenuhi kebutuhan yang khas menurut daerah mereka sendiri.
- Pendekatan ini mempunyai toleransi terhadap perbedaan.
- Pendekatan pembangunan dengan menekankan pada proses”social learning”.
- Budaya kelembagaan yang ditandai oleh adanya organisasi yang bias mengatur diri dan lebih terdistribusi.
- Proses pembentukan jaringan koalisi dan komunikasi antara birokrasi dan lembaga lokal, satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian yang integral dan pendekatan ini baik untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengindentifikasikan dan mengelola berbagai sumber maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertical dan horizontal.
Sebagai sesutau yang baru dalam pembangunan, pemberdayaan masyarakat tidak luput dari berbagai bias, seperti:
- Bahwa pemberdayaan masyarakat banyak dilakukan ditingkat bawah yang lebih memerlukan bantuan materal daripada keterampilan teknis dan manajerial. Akibatnya sering terjadi pemborosan sumber daya dan dana karena kurang persiapan keterampilan teknis dan majerial dalam pengembangan sumber daya manusia.
- Anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan jauh lebih ampuh daripada teknologi masyarakat itu sendiri.
- Anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang dikalangan masyarakat cenderung tidak efisien dan kurang bahkan menghambat proses pembangunan. Akibatnya lembaga-lembaga tersebut kurang dimanfaatkan dan kurang ada ikhtiar untuk memperbarui, memperkuat serta memperdayakannya (kartasasmita, 1996:146-149).
Berkenan hal tersebut, Scumacher (dalam Lasito, 2002:28) menyarankan sebagai berikut:
Bantuan yang terbaik yang dapat diberikan pada masyarakat adalah bantuan intelektual yaitu berupa pemberian pengetahuan yang berguna. Bantuan ini jelas lebih baik daripada bantuan dalam bentuk barang. Karena sesuatu yang tidak diperoleh dengan usaha atau pengorbanan yang sungguh-sungguh tidak akan menjadi “milik sendiri”. Bantuan barang dapat diterima oleh penerima bantuan tanpa usaha dan pengorbanan. Karenanya jarang menjadi “milik sendiri”.
Memang disadari bahwa saat ini bantuan berupa pengetahuan itu sudah ada yang diberikan. Namun hal itu didasarkan pada anggapan bahwa “apa yang tidak baik untuk si kaya pasti baik pula untuk si miskin”. Anggapan inilah yang ditentang Scumachler (1993:187) sebagai sesuatu yang salah. “ selama kita mengaku tahu, padahal sesungguhnya tidak tahu, maka kita akan terus datang ke Negara miskin dan memperagakan pada mereka segala yang indah yang dapat mereka lakukan kalau mereka sudah kaya”.
Salah satu prasyarat bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat adalah perlunya kondisi keterbukaan yang lebih besar dalam masyarakat. Akan tetapi tampaknya masih ada kekhawatiran pemerintah terhadap proses politik yang terbuka. Kalau tidak ada keterbukaan, gerakan pengembangan, masyarakat yang berkembang dapat menjadi gerakan yang destruktif, karena dapat tampil sebagai reaksi terhadap control. Akibatnya, ketegangan dapat timbul antara kebutuhan mengembangkan keberdayaan rakyat dan kecenderungan pemerintah untuk mempertahankan control terhadap masyarakat (Pranarka, 1996 :106).
Proses pemberdayaan memerlukan tindakan aktif subyek untuk mengakui daya yang dimiliki obyek dengan memberinya kesempatan untuk mengembangkan diri sebelum akhirnya obyek akan beralih fungsi menjadi subjek yang baru. Karena proses tersebut didukung oleh faktor atau stimulus dari luar, maka subyek tersebut sebagai faktor eksternal. Selain itu, faktor internal yang mementingkan tindakan aktif obyek atau masyarakat miskin sendiri juga merupakan prasarat penting yang dapat mendukung proses pemberdayaan yang efektif (Pranakarta, 1996:137).
Pada umumnya “Negara” hampir selalu takut pada aksi politik tingkat bawah yang murni. Istilah yang lebih disukai adalah “partisipasi”, bukan pemberian wewenan (empowerment) yang kemudian dikenal dengan istilah ”pemberdayaan”. Walau bagaimanapun, partisipasi sebagai ranah dalam pembangunan tetap mensyaratkan suatu komunitas lokal yang aktif, yang melakukan sebagian pengawasan terhadap kondisikondisi kehidupannya sendiri, dan bahkan dapat meminta pertanggung-jawaban pemerintah. Hal tersebut yang merupakan perwujudan keberdayaan mereka dalam berpartisipasi. Gagasan utama dari perencanaan dari “bawah” tersebut akhirnya yang dapat dicerminkan dengan tepat kepentingan sesungguhnya dari rakyat yang terlibat dari rakyat yang terlibat dalam kehidupan masyarakat, (Friedmann dalam Korten, 1988:257).
Senada dengan Friedman, Berger dan Neuhaus (dalam Korten, 1988:345) juga menyorot tentang pentingnya pemberian wewenang (empowerment) tersebut, karena pada tingkat operasional dilapangan masih adanya control yang “kuat” pada masyarakat, sebagaimana pengalaman yang ditunjukkan yaitu: “salah satu hasil dari moderenisasi yang paling melemahkan adalah rasa tidak berdaya dalam menghadapi lembaga-lembaga yang dikontrol oleh mereka yang tidak dikenal oleh masyarakat lokal dan nilai-nilai yang dibawapun juga seringkali tidak sesuai dengan yang dianut oleh masyarakat lokal tersebut”. Sehingga bagaimanapun, msyarakat selalu lebih mampu memahami kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik dari siapapun juga, sehingga sudah pada tempatnya, pemerintah atau outsider stakeholder mengambil posisi yang proporsional dan lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Pemberdayaan masyarakat juga dipandang sebagai proses yang lebih bernuansa humanis, sebagaimana dinyatakan oleh Kusnaka (dalam Hikmat, 2001:xi), sebagai berikut:
Bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat martabat, rasa percaya diri dan harga diri serta terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep social budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuh kembangkan nilai tambah ekonomi tetapi juga nilai tambah sosial budaya.”
Berdasarkan uraian-uraian diatas, tampak bahwa hakekat pemberdayaan masyarakat adalah upaya proses yang dilakukan supaya masyarakat memiliki keleluasaan dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya yang lebih khas dan lokal itu. Mereka dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan desa. Mereka dapat menggerakkan segala potensi yang dimilikinya untuk dapat turut mewarnai hasil pembangunan yang diharapkan akan lebih sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat. Namun yang terpenting adalah bagaimana mengakomodir domain sosial, ekonomi, kultural dalam proses pemberdayaan masyarakat, disamping domain politik. Berbicara tentang pemberdayaan masyarakat, akan lebih efektif kalau menyentuh domain-domain tersebut.
Friedman (1992) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencangkup aspek sosial, politik, dan psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke sumber-sember keuangan.
Yang dimaksud dengan pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan public yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedangkan pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri tumah tangga yang lemah. Lebih lanjut, Friedmann menyatakan bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh factor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.
Senada dengan pandangan tersebut, Friedmann juga berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan peningkatan pertisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan unsure yang sungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayan msyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi. (Friedmann, 1992 :34). Pada dasarnya pemberdayaan bermaksud membantu klien (warga masyarakat) memperoleh kekuasaan dalam pengambilan keputusan (perencanaan) dan bertindak dalam menentukan kehidupannya dengan mengurangi dampak dari hambatan sosial atau individu dalam penerapan kekuasaan dengan meningkatkan kemampuan dan percaya diri dalam menggunakan kekuasaan serta memindahkan kekuasaan dari lingkungan kepada warga masyarakat.
Selain itu untuk dapat melakukan pemberdayaan masyarakat perlu didukung oleh situasi dan kondisi yang kondusif, khususnya political will dari pemerintah, alokasi dana yang memadai serta kesungguhan dari para stakeholders yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat. Yang terpenting dalam pemberdayaan masyarakat adalah prosesnya, bukan sekedar hasil, karena proses akan terkait dengan kesinambungan. Demikian juga halnya para stakeholders yang terlihat hendaknya tetap dalam hubungan yang equal sesuai dengan paradigma pemberdayaan yang modern (bukan sekedar paradigma pemberdayaan klasik yang berpangkat dari persepsi dikotomi “yang berdaya”dan “yang tidak berdaya”).