Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Monday, 10 July 2017
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan, telah dibentuk satu Kedeputian yang secara khusus menangani sengketa, konflik dan perkara pertanahan yaitu Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan alda tingkat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) dan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan.
Hal ini selaras dengan yang dicita-citakan oleh BPN dalam 11 Agenda Prioritas BPN yang berisi:
- Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional;
- Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertipikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia;
- Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah;
- Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air;
- Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara sistematis;
- Membangun sistem informasi dan manajemen pertanahan nasional (SIMTANAS) dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia;
- Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
- Membangun data base penguasaan dan pemilikan tanah skala besar;
- Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah ditetapkan;
- Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional;
- Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum dan kebijakan pertanahan.
Dalam rangka percepatan penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan sesuai peta sebaran kasus sengketa, konflik, dan perkara pertanahan, diperlukan kinerja yang baik dan terukur dalam penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan secara sistematis baik dalam berpikir dan bertindak sehingga tidak hanya bersifat informatif akan tetapi juga menyajikan data-data sengketa, konflik, dan perkara pertanahan, akar permasalahan, tipologi permasalahan, langkah-langkah penanganan serta solusi pemecahannya sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, yang terdiri dari 10 (sepuluh) Juknis, yaitu:
- Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS/D.V/2007 tentang Pemetaan Masalah dan Akar Masalah Pertanahan;
- Petunjuk Teknis Nomor 02/JUKNIS/D.V/2007 tentang Tata Laksana Loket Penerimaan Pengaduan Masalah Pertanahan;
- Petunjuk Teknis Nomor 03/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penyelenggaraan Gelar Perkara;
- Petunjuk Teknis Nomor 04/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penelitian Masalah Pertanahan;
- Petunjuk Teknis Nomor 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi;
- Petunjuk Teknis Nomor 06/JUKNIS/D.V/2007 tentang Berperkara di Pengadilan dan Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Pengadilan;
- Petunjuk Teknis Nomor 07/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penyusunan Risalah Pengolahan Data (RPD);
- Petunjuk Teknis Nomor 08/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penyusunan Keputusan Pembatalan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah/Pendaftaran/Sertipikat Hak Atas Tanah;
- Petunjuk Teknis Nomor 09/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penyusunan Laporan Periodik;
- Petunjuk Teknis Nomor 10/JUKNIS/D.V/2007 tentang Tata Kerja Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional;
Penyelesaian sengketa pertanahan senantiasa diupayakan agar tetap mengikuti tata cara dan prosedur yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan . Pentingnya mengindahkan ketentuan perundangan dimaksud, karena untuk menghindari tindakan melanggar hukum. Hukum mengandung ide dan konsep karena boleh digolongkan sesuatu yang abstrak seperti ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Penyelesaian sengketa tanah dapat dibedakan menjadi 2, yaitu melalui jalur non peradilan/non litigasi (Perundingan/musyawarah atau negotiation, Konsiliasi/conciliation, Mediasi/Mediation, Arbitrase/arbitran) dan jalur peradilan/litigasi. Apabila usaha musyawarah tidak menemukan kesepakatan maka yang bersangkutan/pihak yang bersengketa dapat mengajukan masalahnya ke Pengadilan (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara) (Sarjita 2005 : 9).
Pada hakikatnya setiap ada persengketaan mengenai tanah, penyelesaiannya disesuaikan menurut corak dan karakteristik sengketa itu sendiri. Pandangan budaya asli bangsa Indonesia yang mengedepankan kedamaian, kerukunan, gotong royong, tolong menolong dan tenggang rasa, merupakan konsep dasar dalam menghadapi suatu perselisihan atau sengketa, dimana penyelesaiannya tidak langsung ke Pengadilan (litigasi). Namun biasanya diupayakan melalui caracara kekeluargaan di luar Pengadilan ( non litigasi).
Melalui Peradilan ( Litigasi )
Penyelesaian sengketa melalui Peradilan (Litigasi) diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 Undang-Undang ini, dengan tegas mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan egara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Menurut pasal 2 Undang-Undang di atas, kekuasaan kehakiman yang dimaksud dilaksanakan oleh badan-badan peradilan, diantaranya yakni Peradilan Umum (menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum) yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara perdata, termasuk di dalamnya penyelesaian segala persengketaan mengenai tanah sebagai bagian dari masalah hukum perdata pada umumnya, selanjutnya Peradilan Tata Usaha Negara (menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara) yang berwenang menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, kemudian Peradilan Agama (menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama) yang berwenang menyelesaikan sengketa tanah, diantaranya karena akibat peristiwa hukum (pewarisan).
Melalui Non Peradilan ( Non Litigasi )
Penyelesaian sengketa atau konflik di luar Pengadilan (Non Peradilan/Non Litigasi) lebih dikenal dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternatif Dispute Resolution yang disingkat ADR (Maria S W Sumardjono, dkk, 2008 : 9).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Pasal 1 butir 10, mengartikan APS sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsoliasi atau penilaian ahli.
Jika negosiasi melibatkan para pihak yang bersengketa secara langsung, konsultasi dan pemberian pendapat hukum dapat dilakukan secara bersama-sama antara para pihak yang bersengketa dengan konsultan atau ahli hukumnya sendiri, selanjutnya mediasi dan konsiliasi melibatkan pihak ketiga yang berfungsi menghubungkan kedua belah pihak yang bersengketa, dalam mediasi fungsi pihak ketiga dibatasi hanya sebagai penyambung lidah, sedangkan dalam konsiliasi pihak ketiga terlibat secara aktif dalam memberikan usulan solusi atas sengketa yang terjadi, sedangkan arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan swasta dengan arbitrase sebagai hakim swasta yang memutus untuk kedua belah pihak yang bersengketa. (Gunawan Widjaja, 2001: 86)
Secara umum pranata penyelesaian sengketa alternatif dapat digolongkan ke dalam:
- Konsultasi
Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan di dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat keterkaitan atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. (Gunawan Widjaja, 2001: 86)
Peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan, konsultan hanya memberikan pendapat (hukum) yang selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh klien.
- Negosiasi
Dalam bahasa sehari-hari kata negosiasi sering disebut dengan istilah “berunding” atau “bermusyawarah” sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator. Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif, disini para pihak berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka. (Jhoni Emirzon, 2000 : 44) Negosiasi adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki beberapa kepentingan yang sama maupun berbeda (Fisher dan Ury, 1991:15).
Negosiasi biasanya digunakan dalam sengketa yang tidak terlalu pelik, dimana para pihak masih beritikad baik untuk duduk bersama memecahkan masalah. Negosiasi dilakukan apabila komunikasi antar pihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan untuk cepat mendapat kesempatan dan meneruskan hubungan baik. (Tri Andrisman, 2009 :19).
Pada umumnya proses negosiasi merupakan suatu proses alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat informal, meskipun ada kalanya dilakukan secara formal, tidak ada suatu kewajiban bagi para pihak untuk melakukan pertemuan secara langsung pada saat negosiasi dilakukan. Negosiasi tersebut tidak harus dilakukan oleh para pihak sendiri. Melalui negosiasi para pihak yang berselisih atau bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan “win-win” dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran (concession) atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik (Gunawan Widjaja, 2001 : 88)
- Mediasi
Mediasi atau dalam bahasa Inggris disebut dengan mediation adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi, sedangkan mediator adalah orang yang menjadi penengah. (John M. Echols dan Hasan Shadily, 1990 : 377)
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator atau terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Dengan kata lain mediasi yaitu proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan.
Mediasi merupakan suatu proses dimana sengketa antara dua pihak atau lebih (baik berupa perorangan, kelompok, atau perusahaan) diselesaikan dengan menyampaikan sengketa tersebut pada pihak ketiga yang mandiri dan independen (mediator) yang berperan untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian yang dapat diterima atas masalah yang disengketakan. Tujuan utama mediasi adalah untuk menyelesaikan suatu masalah, bukan sekedar menerapkan norma maupun menciptakan ketertiban saja sehingga pelaksanaannya harus didasarkan pada prinsip-prinsip umum sebagai berikut:
- Sukarela, Prinsip ini sangat penting karena para pihak mempunyai kehendak yang bebas untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek sengketa, hal ini dimaksudkan agar di kemudian hari tidak terdapat keberatan-keberatan atas kesepakatan yang telah diambil dalam rangka penyelesaian sengketa tersebut.
- Independen dan tidak memihak, Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi harus bebas dari pengaruh para pihak baik dari masing-masing pihak, mediator, maupun pihak ketiga. Untuk itu seorang mediator harus independen dan netral.
- Hubungan Personal Antar Pihak, Penyelesaian sengketa akan selalu difokuskan pada substansi persoalan, untuk mencari penyelesaian yang lebih baik daripada rumusan kesepakatan yang baik. Hubungan antar para pihak diupayakan dapat selalu terjaga meskipun persengketaannya telah selesai. Inilah yang menjadi alasan mengapa penyelesaian sengketa melalui mediasi bukan saja berupaya mencapai solusi terbaik tetapi juga solusi tersebut tidak mempengaruhi hubungan personal.
- Konsiliasi
Konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan. Apabila para pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi. Hal ini yang menyebabkan istilah konsiliasi kadang sering diartikan dengan mediasi. (Suyud Margono, 2000: 29)
Konsiliasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi. Bagaimanapun juga penyelesaian sengketa secara konsensus antar pihak dimana pihak netral dapat berperan secara aktif (neutral act) maupun tidak aktif. Pihakpihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa.(Tri Andrisman, 2009 : 20)
- Pemberian Pendapat Hukum
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 juga mengenal istilah pendapat ahli sebagai bagian dari ADR, pemberian opini atau pendapat hukum dapat merupakan suatu masukan dari berbagai pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak untuk memperjelas pelaksanaannya. (Gunawan Widjaja, 2001 : 94-96)
- Arbitrase
Menurut Undang-Undang No. 30 tahun 1999 Pasal 1 ayat (1), arbitrase adalah cara penyelesaian suatu perkara perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang di buat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya arbitrase adalah perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh pihak ketiga atau penyelesaian sengketa oleh seseorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang ahli di bidangnya secara bersama- sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan, tetapi secara musyawarah, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak (Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002 : 67-68).