-->

Teori Hukum

Teori hukum dalam Bahasa Inggris disebut dengan Theory of Law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstheorie yang mempunyai kedudukan sangat penting di dalam proses pembelajaran maupun di dalam penerapan hukum karena dengan adanya teori hukum, dapat membantu dalam kerangka pemecahan berbagai persoalan. 

Teori hukum menurut J.J.H. Bruggink adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan metode interdisipliner. Teori hukum dapat lebih mudah digambarkan sebagai teori-teori dengan berbagai sifat mengenai objek, abstraksi, tingkatan refleksi dan fungsinya.

Teori Hukum


Teori Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak memihak atau tidak berat sebelah. Keadilan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang tidak memihak. Keadilan adalah salah satu dari tujuan hukum selain kemanfaatan dan kepastian hukum. Perwujudan keadilan dapat dilihat dalam ruang lingkup kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara.

Keadilan dimulai dengan salah satu pilihan yang paling umum yang bisa dibuat orang bersama-sama, yakni dengan pilihan prinsip pertama dari konsepsi keadilan yang mengatur kritik lebih lanjut serta reformasi institusi. Teori keadilan Hans Kelsen, dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.

Pengembang lain teori keadilan adalah John Rawls, menyajikan tentang konsep keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan “Prinsip kebijaksanaan rasional yang diterapkan pada konsep kesejahteraan agregatif (hasil pengumpulan) kelompok”. Subyek utama keadilan sosial adalah struktur masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.

Ada dua tujuan dari teori keadilan menurut John Rawls, yaitu:
  1. Pertama, teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus kita. Maksud dari “keputusan moral” adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat secara refleksif.
  2. Kedua, Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggul atas teori utilitarianisme. Rawls memaksudkannya “rata-rata” (average utilitarianisme). Maksudnya adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdikan untuk memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata memuat pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya diandaikan untuk memaksimalisasi keuntungan per kapita. Untuk kedua versi utilitarianisme tersebut “keuntungan” didefinisikan sebagai kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-pilihan. Rawls mengatakan bahwa dasar kebenaran teorinya membuat pandangannya lebih unggul dibanding kedua versi utilitarianisme tersebut. Prinsip-prinsip keadilan yang ia kemukakan lebih unggul dalam menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan sosial.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memerhatikan dua prinsip keadilan, yaitu:
Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya terhadap pertanggungjawaban yang dibebankan kepada notaris yang telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik khususnya perbuatan notaris yang telah dijatuhi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Diharapkan teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal pertanggungjawaban notaris terhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi para pihak yang dirugikan oleh notaris atau bagi notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi masyarakat yang akan menggunakan jasa notaris, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap seorang notaris akan semakin besar dan membuat masyarakat merasa aman apabila menggunakan jasa seorang notaris.

Teori Pertanggungjawaban

Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Dari pengertian tersebut maka tanggung jawab dapat diartikan sebagai perbuatan bertanggungjawab (pertanggungjawaban) atas perbuatan yang telah dilakukan. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan atas pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).

Pertanggungjawaban atas kesalahan (based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pada Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367, prinsip ini dipegang teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan untuk bertanggungjawab secara hukum apabila unsur terdapat unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikenal sebagai pasal perbuatan melawan hukum mengharuskan empat unsur pokok yang harus dipenuhi yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility), prinsip tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu pelaku tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekurang hati-hatian atau ketidakpatutan. Tanggung jawab mutlak sering juga disebut dengan tanggung jawab tanpa kesalahan. Menurut Hans Kelsen di dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.

Disamping pandangan di atas, teori tentang tanggung jawab hukum juga dikembangkan oleh Wright, yang disebut dengan interactive justice, yang berbicara tentang kebebasan negatif seseorang kepada oranglain dalam hubungan interaksinya satu sama lain. Esensi dari interactive justice adalah adanya kompensasi sebagai perangkat yang melindungi setiap orang dari interaksi yang merugikan (harmful interaction), yang umum diterapkan dalam perbuatan melawan hukum (tort law), hukum kontrak dan hukum pidana. Menurut Wright, limitasi pertanggungjawaban hukum perdata ditentukan dari ada atau tidaknya suatu standar obyektif tertentu (specified standard of conduct) untuk menjadi dasar penilaian yang terdiri dari (1) no worseofflimitation, (2) superseding cause limitation, (3) risk play-out limitation.

Berdasarkan standar pertama, yakni no worse off limitation, tidak ada pembatasan tanggung jawab terhadap suatu perbuatan melawan hukum, jika jelas adanya suatu kesalahan dan yang mempunyai kontribusi langsung berdasarkan asas kausalitas terhadap kerugian. Standar kedua, superseding cause limitation, harus dilihat terlebih dahulu apakah tindakan yang menjadi penyebab terjadinya kerugian itu bersifat dependent ataukah independent. Jika bersifat dependent, maka pertanggungjawaban hukum tersebut tidak dapat dikecualikan ataupun dibatasi.63 Pendekatan ketiga, risk play-out limitation yaitu adanya hubungan antara bagaimana suatu kerusakan yang terjadi merupakan akibat dari suatu resiko yang dapat diprediksi sebelumnya.

Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu :
  1. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi
  2. Teori fautes de service, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan.

Hubungan antara teori pertanggungjawaban ini dengan permasalahan yang penulis angkat adalah walaupun notaris di dalam menjalankan kewenangannya sebagai pejabat umum telah membuat akta otentik yang baik dan benar serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi tidak dipungkiri di dalam menjalankan tugasnya tersebut seorang notaris bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan didalam pembuatan akta yang akan menimbulkan akibat hukum pada para pihaknya. Notaris apabila melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan para pihak, maka notaris tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahannya tersebut. 

Teori pertanggungjawaban ini digunakan untuk menganalisis pertanggungjawaban apa saja yang dapat dibebankan kepada notaris yang dalam melaksanakan tugas dan jabatannya melakukan perbuatan menyimpang atau perbuatan melawan hukum. Teori ini untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk mengetahui jenis pertanggungjawaban seperti apa yang sesuai diberikan kepada Notaris dan nantinya dapat memberikan kepuasan kepada para pihak yang dirugikan atas perbuatan notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik.

Teori Kewenangan

Istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang sering ditemukan dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah bevoegheid dalam istilah hukum Belanda. Jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah bevoegheid. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah bevoegheid digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.

Kewenangan menurut H.D Stoud adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. Ada dua unsur yang terkandung dalam pengertian konsep kewenangan tersebut yaitu : adanya aturan hukum dan sifat hubungan hukum.

Ada perbedaan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Kewenangan (authority) adalah hak untuk memberi perinta, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi. Kewenangan yang sah jika ditinjau dari mana kewenangan itu diperoleh, maka ada tiga kategori kewenangan yaitu kewenangan secara atribusi, delegasi,mandat. Atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten.

Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.

Kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Jadi dalam atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).

Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris).Sementara pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataristetapberada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya penerima mandat ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.
Max Weber membagi kewenangan menjadi empat macam, yang meliputi:
  1. Wewenang kharismatis, tradisional dan rasional (legal);
  2. Wewenang resmi dan tidak resmi;
  3. Wewenang pribadi dan teritorial; dan
  4. Wewenang terbatas dan menyeluruh.

Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma yang merupakan suatu kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang, yang diyakini bawaan sejak lahir. Wewenang tradisional merupakan wewenang yang dapat dipunyai oleh seseorang atau kelompok orang. Wewenang rasional atau legal, yaitu wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat, sistem hukum mana dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati oleh masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat oleh negara. 

Wewenang tidak resmi merupakan hubungan yang timbul antar pribadi yang sifatnya situasional, dan sifatnya sangat ditentukan pihak-pihak yang saling berhubungan tadi. Wewenang resmi sifatnya sistematis, dapat diperhitungkan dan rasional. Wewenang pribadi lebih didasarkan pada tradisi, dan/atau kharisma. Wewenang teritoral merupakan wewenang dilihat dari wilayah tempat tinggal. Wewenang terbatas adalah wewenang yang sifatnya terbatas, dalam arti tidak mencakup semua sektor atau bidang saja. Wewenang menyeluruh merupakan wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu.

Dalam kaitannya kewenangan dengan permasalahan yang diangkat adalah notaris yang diberi kewenangan dalam membuat akta otentik menyalahgunakan wewenangnya tersebut yang mengakibatkan para pihak mengalami kerugian serta dapat mengakibatkan akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, sehingga notaris dapat dikatakan telah bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Teori kewenangan ini untuk menjawab rumusan masalah kedua.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel