-->

Teori Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP

Dalam merumuskan pengertian tindak pidana ada beberapa ahli hukum yang memasukkan perihal kemampuan bertanggungjawab kedalam unsur tindak pidana menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal yang sehat. Dalam KUHP kita tidak ada, ketentuan tentang arti kemampuan bertanggungjawab. Yang berhubungan dengan itu ialah pasal 44 
Barangsiapa melakuakan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang tergantung pada penyakit. 
Kalau tidak dapat dipertanggungjawabkannya itu disebabkan oleh hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pada pasal tersebut tidak dapat dipakai.

Teori Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP


Dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:
  1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
  2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual faktor) yang dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

Sebagai konskuensi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan pidana. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut pasal 44 KUHP tadi, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan karena alat-alat batinnya sakit atau cacat dalam tubuhnya.

KUHP dalam merumuskan ketidakmampuan bertanggungjawab sebagai hal yang menghapuskan pidana, orang dapat menempuh tiga jalan yaitu:
  • Ditentukan Sebab-Sebab yang Menghapuskan Pemidanaan.

Menurut system ini, jika tabib (psychiater) telah menyatakan bahwa terdakwa adalah gila atau tidak sehat dalam pikirannya, maka hakim menyatakan seorang tersebut bersalah dengan menjatuhkan pidana.
  • Menyebukan Akibatnya Saja.

Disini yang terpenting ialah, apakah dia mampu menginsyafi makna perbuatannya atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu yang tidak baik atau bertentangan dengan hukum. Perumusan ini sangat luas sekali sehingga mungkin ada bahayanya. System ini dinamakan normative (mempernilai) disini hakimlah yang menentukan.
  • Gabungan dari 1 dan 2.

Yaitu menyebabkan sebab-sebabnya penyakit jika dan penyakit itu harus sedemikian rupa akibatnya hingga dianggap tak dapat dipertanggungjawabkan padanya. Cara ini yang sering dipakai dan juga pasal 44 KUHP juga demikian. Untuk menentukan bahwa terdakwa tidak mampu bertanggungjawab tidak cukup ditentukan oleh tabib atau hakim itu sendiri, tetapi harus ada kerjasama antara tabib dan hakim. Bahwa yang pertama menyebutkan bahwa adanya penyakit sedangkan yang kedua mempernilai bahwa penyakit yang ada itu sedemikian besarnya, hingga perbuatan tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Disini dalam pasal 44 tabib menentukan adanya gangguan pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit, sedangkan hakim mempernilai bahwa karena hal-hal tersebut perbuatan terdakwa tak dapat dipertanggungjawabkan padanya.

Mengenai hal ini haruslah diambil sikap bahwa mengenai mampu bertanggungjawab ini adalah hal mengenai jiwa seseorang yang diperlukan dalam hal untuk dapat dijatuhkan pidana dan bukan hal terjadinya pidana. Jadi untuk terjadinya tindak pidana tidak perlu dipersoalkan tentang apakah terdapat kemampuan bertanggungjawab ataukah mampu bertanggungjawab. Terjadinya tindak pidana tidak serta merta diikuti dengan pidana kepada petindaknya tetapi ketika menghubungkan perbuatan itu kepada orangnya untuk menjatuhkan pidana bila ada keraguan perihal keadaan jiwa orangnya, barulah perhatikan atau persoalkan tentang ketidakmampuan bertanggungjawab dan pula haruslah dibuktikan untuk tidak dipidananya terhadap pembuatnya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel