Pengertian Zhihar
Tuesday, 12 September 2017
SUDUT HUKUM | Menurut bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata ظهر yang bermakna punggung. Hal ini dikarenakan orang-orang Yahudi mengibaratkan istri yang digauli sebagai kendaraan yang ditunggangi, sehingga mereka melarang menggauli istri dari belakang karena dapat mengakibatkan lahirnya anak yang cacat. Kemudian di dalam syari’at Islam, zhihar digunakan untuk seluruh anggota tubuh sebagai qiyas (analogi) dari kata zhihar itu sendiri.
Penduduk Madinah yaitu para pengucap zhihar ini bergaul dengan orang-orang Yahudi yang mana mereka mengharamkan menggauli istri dari belakang karena dapat melahirkan anak yang cacat, kata punggung ini dimaksudkan untuk menekankan keharaman untuk menggauli istri dari belakang itu. Jadi zhihar ini merupakan pengaruh kepercayaan Yahudi.
Sedangkan zhihar secara istilah adalah ucapan seorang mukallaf (dewasa dan berakal) kepada istrinya bahwa dia sama dengan ibunya, namun Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak hanya ibu akan tetapi bisa juga wanita lain yang haram untuk dinikahi baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan maupun sebab lain seperti lafaz "Punggung kamu seperti punggung saudara perempuanku" sebagaimana juga dikatakan oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya. Namun Jumhur Ulama' mengatakan bahwa yang dikatakan zhihar hanya mempersamakan istri dengan ibu saja seperti yang termaktub dalam al-Qur'an dan sunnah Rasul. Sehingga mempersamakan istri dengan wanita muharramat selain ibu belum dikatakan zhihar. Sedangkan menyamakan istri dengan ibu atau muharramat untuk suatu penghormatan atau ungkapan kasih sayang tidak dikatakan zhihar namun perbuatan tersebut dibenci oleh Rasulullah saw.
Ucapan zhihar di masa jahiliyah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya, untuk selama-lamanya. Syari’at Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan mensterilkannya menuju kemashlahatan hidup. Hukum Islam menjadikan ucapan zhihar itu berakibat hukum yang bersifat Duniawi dan Ukhrawi. Akibat hukum zhihar yang bersifat duniawi ialah menjadi haramnya suami mengumpuli istrinya yang di zhihar sampai suami melaksanakan kafarat zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulang perkataan dan sikapnya yang buruk itu, sedangkan yang bersifat ukhrawi ialah bahwa zhihar itu perbuatan dosa, untuk membersihkannya wajib bertaubat dan memohon ampunan Allah swt, karena mengatakan yang bukan-bukan, yaitu mengatakan bahwa istrinya haram dicampuri seperti ia haram mencampuri ibunya. Dalam agama termasuk perbuatan terlarang apabila seseorang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, karena yang menentukan halal dan haram itu hanyalah Allah swt.
Melakukan zhihar terhadap istri ialah menyamakan kedudukan istri itu dengan kedudukan mahram seperti ibu, dengan maksud hendak membuang istri dan perkataan yang biasanya dipakai ialah menyamakannya dengan punggung ibunya. Umpamanya seorang berkata, “Pada sisiku engkau sama dengan punggung ibuku”. Pada zaman jahiliyah, yang demikian itu adalah satu cara untuk menceraikan istri. Dengan mengumpamakan seperti punggung ibunya itu seolah-olah dia berkata, kalau aku mencampuri istriku maka aku mencampuri ibuku.
Jika mengumpamakan istri dengan salah satu anggota kemuliaan seperti dia berkata, “kau pada sisiku seperti mata ibuku” atau seperti ruh ibuku, “kalau dia berniat zhihar maka jadilah zhihar yang demikian itu, tetapi jika dimaksudkan hanya sebagai kehormatan saja tidaklah dikatakan zhihar.
Dalam madzhab Hanafi seperti diterangkan Abu Bakar dalam Tafsir Ahkamnya, ia mengatakan jika istrinya diumpamakannya seperti anggota tubuh ibunya yang boleh dilihat maka tidaklah dinamakan zhihar, seperti dia berkata, “pada sisiku engkau adalah seperti perut ibu”. Masalah ini diterangkan secara panjang lebar dalam kitab fiqh.