Hak Ex Officio Hakim
Sunday, 1 October 2017
SUDUT HUKUM | Pengertian hak ex officio menurut Yan Pramadya Puspa dalam kamus hukum ex officio berarti karena jabatan, hal ini dapat dilihat dari contoh “dalam hal adanya esksepsi yang dibenarkan secara hukum hakim atau pengadilan ex officio wajib menyatakan dirinya tak berwewenang”.
Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ex officio berarti kerena jabatan, seperti dalam kalimat memangku jabatan secara ex officio. Pengertian hak ex officio berasal dari Bahasa Latin yang berarti kerena jabatan tanpa diperlukan lagi pengangkatan. Seperti dalam kalimat kepala kejari ex officio anggota Muspida daerah tingkat satu.
Selanjutnya menurut Subekti pengertian hak ex officio berasal dari Bahasa Latin, ambtshalve Bahasa Belanda yang berarti karena jabatan, tidak berdasarkan surat penetapan atau pengangkatan, juga tidak berdasarkan suatu permohonan.
Hakim sama dengan qadhi yang artinya memutus, sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya. Adapun pengertian menurut syara' yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan, sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qad}i untuk bertugas menyelesaikan sengketa diantara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya. Hakim sendiri adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang- undang untuk mengadili.
Pengertian hak ex officio hakim adalah hak atau kewenangan yang dimiliki oleh hakim karena jabatannya, dan salah satunya adalah untuk memutus atau memberikan sesuatu yang tidak ada dalam tuntutan. Hak ex officio hakim merupakan hak yang dimiliki oleh hakim karena jabatannya untuk memberikan hak yang dimiliki oleh mantan istri walaupun hak tersebut tidak ada dalam tuntutan atau permohonan dari istri dalam perceraian.
Dalam perkara perceraian hakim dapat memutus lebih lebih dari yang diminta karena jabannya, hal ini berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-undang Perkawinan.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya".
Selain dalam Pasal tersebut, Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya berpendapat bahwa mengabulkan lebih dari yang dituntut, memutuskan sebagian saja dari semua tuntutan yang diajukan atau memutuskan hal-hal yang tidak di tuntut bertentangan dengan Pasal 178 ayat 3 HIR. Sebaliknya dalam putusannya tanggal 23 Mei 1970 Mahkamah Agung berpendapat, bahwa meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas sedang pengugat mutlak menuntut sejumlah itu, hakim berwewenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar dan hal itu tidak melanggar Pasal 178 ayat 3 HIR.
Kemudian dalam putusannya tanggal 4 Februari 1970 Mahkamah Agung berpendapat, bahwa Pengadilan Negeri boleh memberi putusan yang melebihi apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainya, dalam hal ini Pasal 178 ayat 3 HIR tidak berlaku secara mutlak, sebab hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertindak secara aktif dan selalu harus berusaha agar memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Sedangkan dalam putusannya tanggal 8 Januari 1972 Mahkamah Agung berpendapat bahwa mengabulkan hal yang lebih daripada yang digugat tetapi yang masih sesuai dengan kejadian materiil diizinkan.