Krakteristik Pajak Menurut Syari’ah
Saturday, 9 December 2017
SUDUT HUKUM | Beberapa ketentuan tentang pajak menurut syari’at Islam, yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis (non-Islam), yaitu:
- Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu hanya boleh dipungut ketika di Baitul Mal tidak ada harta atau kurang. Ketika Baitul Mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan. Berbeda dengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan (mustahik). Sedangkan pajak menurut non Islam adalah abadi (selamanya).
- Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum Muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Sedangkan pajak menurut non Islam ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.
- Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum Muslim dan tidak dipungut dari non-Muslim. Sebab dharibah dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum Muslim, yang tidak menjadi kewajiban non-Muslim. Sedangkan teori pajak non-Islam tidak membedakan Muslim dan non-Muslim dengan alasan tidak boleh diskriminasi.
- Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi dirinya dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitarnya. Dalam pajak non-Islam, kadangkala juga dipungut atas orang miskin, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tidak mengenal siapa subjeknya, melainkan melihat objek (barang atau jasa) yang di konsumsi.
- Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih.
- Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut teori pajak non-Islam, tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber pendapatan.