Tujuan Hukum Pidana Islam
Tuesday, 12 December 2017
SUDUT HUKUM | Tujuan pokok adanya penghukuman dalam syari’at Islam adalah untuk:
- Pencegahan (al radd wa al jazr)
- Perbaikan (al ‘ishlah)
- Pendidikan (al ta’dib)
Sedangkan menurut Abdul Qadir
Audah, bahwa tujuan penghukuman dalam syari’at Islam adalah
untuk memperbaiki kondisi manusia, menjaga mereka dari kerusakan,
mengeluarkan mereka dari kebodohan, menunjukan mereka dari kesesatan,
menghindarkan mereka dari berbuat maksiat dan mengarahkan mereka agar menjadi
manusia yang ta’at. Syariat Islam sama pendiriannya dengan hukum
positif dalam menetapkan jarimah atau tindak pidana dan hukumannya, yaitu
dari segi tujuannya. Baik hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif
keduanya sama-sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketentraman
masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya.
Baca juga: Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam
Meskipun demikian
terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya, yaitu:
- Hukum Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, sangat memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Oleh karenanya setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya, hukum positif tidaklah demikan. Menurut hukum pidana positif ada beberapa perbuatan yang meskipun bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana. Kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat.
- Hukum pidana positif adalah produk manusia, sedangkan hukum pidana Islam bersumber dari Allah (wahyu). Dengan demikian dalam hukum pidana Islam terdapat beberapa macam tindak pidana yang hukumannya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu jarimah hudud dan qishas. Disamping itu ada pula tindak pidana yang hukumannya diserahkan kepada penguasa (ulil ‘amri) yaitu jarimah ta’zir.
Perbandingan lain dari keduanya
ialah; Pertama, dari sisi pelaku kejahatan. Hukum pidana Islam
memberikan ketentuan yang jelas dan syarat yang begitu ketat sehingga
tidak akan memungkinkan permainan peradilan. Kedua, dari sisi korban atau
keluarga korban. Pada kasus pembunuhan dan penganiayaan disengaja, korban
bisa memilih antara qisas, meminta diyat atau memaafkan. Sebagai contoh,
seandainya seorang wanita yang memiliki banyak anak kehilangan suaminya karena
dibunuh, maka wanita itu bisa meminta diyat dengan asumsi diyat itu dapat
menghidupi dirinya dan anak-anaknya setelah kematian suaminya. Dalam hal
ini kepentingan korban (keluarga korban) untuk diperlakukan adil sangat
diperhatikan. Sedangkan hukum pidana positif hanya fokus dalam menangani pelaku
dan tidak ada upaya untuk meringankan penderitaan korban atau
keluarga korban.
Baca juga: Asas-asas Hukum Pidana Islam
Ketiga, dari sisi penegak
hukum. Hukum pidana Islam telah memiliki landasan yang kuat dan tidak
dapat diubah oleh siapapun yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah. Dengan demikian
tidak ada upaya untuk mengubah aturan, menyimpanginya dan
mengesampingkannya. Jika ada seorang penegak hukum yang berpaling dari ketentuan
hukum pidana Islam maka akan dapat diketahui dengan mudah. Dengan kata lain,
aturan yang jelas dan tegas menutup ruang bagi penegak hukum untuk
berbuat sewenang-wenang.
Dari perbedaan di atas
tergambarlah dengan jelas sifat kedua hukum tersebut. Hukum positif
merupakan produk manusia yang tentu saja tidak lengkap dan tidak sempurna.
Karena penciptanya juga serba tidak sempurna dan terbatas kemampuannya.
Itulah sebabnya undang-undang selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Sebaliknya, hukum Islam adalah ciptaan Allah yang
sempurna dan tidak dapat diubah-ubah atau diganti.