Pengertian Keadilan Bermartabat
Sunday, 7 January 2018
SUDUT HUKUM | Keadilan berasal dari kata adil, yang berarti tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Ulpianus mengatakan bahwa:
Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere. Iuris produentia est divinarum atque humanorum rerum notitia, iusti atque iniusti scientia. (Keadilan ialah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing- masing bagiannya. Ilmu hukum (jurisprudentia) ialah pengetahua tentang perkara-perkara ilahi dan manusiawi, ilmu tentang yang adil dan tidak adil”
John Rawls merumuskan keadilan sebagai fairness yang mengandung asas- asas, “Bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk menyumbangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka hendaki”. Arisoteles menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, dimana adil dapa t berarti menurut hukum dan apa yang sebanding atau semestinya. Sehingga seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya, begitu juga jika seseorang yang tidak menghiraukan hukum maka dikatakan tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.
Arisoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan.
Thomas aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum justisia generalis dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Notohamidjojo menyebut nama lain keadilan ini dengan keadilan legal. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proposionalitas. Keadilan khusus dibedakan menjadi:
- Keadilan distributif (justisia distributiva) yaitu keadilan yang secara proposional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Arisoteles mengatakan bahwa keadilan distributif adalah keadilan yang mengatur pembagian barang-barang dan penghargaan kepada tiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, serta menghendaki perlakuan yang sama bagi mereka yang berkedudukan sama menurut hukum.
- keadilan komutatif (justisia commutativa) adalah keadilan yang memberikan kepada masing- masing bagiannya, dengan menginat supaya prestasi sama atau sama-nilai dengan kontraprestasi. Keadilan ini melihat barang dari para pihak dalam perjanjian dan tukar-menukar.
- keadilan vindikatif (justisia vindicativa) adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannnya.
Dalam konteks putusan hakim di peradilan, keadilan menurut Daniel S. Lev dibagi atas keadilan prosedural (prosedural justice) dan substantif (substantive justice). Dimana keadilan prosedural merupakan keadilan berdasarkan hukum positif dan peraturan perundang- undangan. Dalam hal ini hakim hanya sebagai pelaksana undang- undang belaka, hakim tidak perlu mencari sumber-sumber diluar hukum tertulis sehingga hakim dipandang seba gai corong undang-undang dan tidak melihat apakan hal tersebut dirasakan adil baik ba gi para pihak. Sedangkan keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai- nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani, baik hati nurani hakim saat memberikan putusan.
Gustav Radburgh mengatakan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Prinsip keseimbangan antara ketiga tujuan hukum sebagai suatu watak hukum adalah asas penting dalam teori keadilan bermartabat atau sistem hukum berdasarkan Pancasila. Sudikno mertokusumo mengatakan bahwa:
Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusan secara proposional, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Itu adalah idealnya. Akan tetapi dalam praktiknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur tersebut secara proposional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proposional,maka paling tidak ketiga faktor tersebut seyogiyanya ada dalam putusan. Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. “Hukumnya demikian bunyinya harus dijalankan (kepastian hukum)” tetapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta : hukum itu kejam tetapi demikianlah bunyinya). Kalau dalam pilihan putusan sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan, maka keadilannyalah yang harus didahulukan.”
Dengan demikian, secara umum tujuan hukum adalah keadilan. Didalam keadilan yang hendak dicapai oleh suatu sistem hukum juga ada kepastian dan daya guna (kemanfaatan). Teori keadilan bermartabat meletakan tujuan hukum, yaitu keadilan secara sistemik.
Keadilan yang berlaku dalam bangsa Indonesia ditemukan dalam volgeist bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Dalam Pancasila, kata adil terdapat pada sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta terdapat dalam sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai kemanusiaan yang adil dan keadilan sosial mengandung makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berkodrat harus berkodrat adil, yaitu adil dalam hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Keadilan bermartabat melihat dari sistem hukum yang dibangun dari filsafat yang terdapat nilai- nilai luhur suatu bangsa yang diyakini kebenarannya, sehingga keadilan dalam hukum tersebut juga didasari atau dilandasi oleh filsafah tersebut. Sehingga dapat disimpulkan konsep keadilan di Indonesia dilandasi oleh dua sila Pancasila yaitu sila kedua dan sila kelima. Akan tetapi keadilan bermartabat merupakan keadilan hukum dalam perspektif Pancasila yang dilandasi oleh sila kedua, sedangkan keadilan ekonomi dalam perspektif Pancasila dilandasi oleh sila kelima yaitu keadilan sosial.
Keadilan adalah tujuan yang hendak dicapai oleh setiap sistem hukum. Dalam sila kelima Pancasila, keadilan ekonomi bersifat kebendaan, sedangkan keadilan bermartabat melihat dari keadilan yang berdimensi spiritual. Istilah adil dan beradab sebagaimana dimaksud dalam sila kedua Pancasila terkandung prinsip prikemanusiaan dan terlaksananya penjelmaan dari unsur-unsur hakekat manusia, jiwa raga, akal-rasa, kehendak serta sifat kodrat perseorangan dan makhluk sosial. Hal ini dikarenakan kedudukan kodrat pribadi diri sendiri dan makhluk Tuhan sebagai causa prima dalam bentuk penyelenggaraan hidup yang bermartabat setinggi- tingginya.
Sila kedua menegaskan bahwa filsafat Pancasila mengakui manusia adalah pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang luhur, yang merupakan bawaan kodratinya sehingga secara eksplisit Pancasila mengakui faham kemanusiaan atau humanisma. Prinsip kemanusiaan secara tegas mengandung arti adanya penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang luhur tanpa harus membeda-bedakan antara satu dengan lainnya.
Dengan dilandasi oleh sila kedua dalam Pancasila, maka keadilan hukum yang dimiliki bangsa Indonesia adalah keadilan yang memanusiakan manusia. Keadilan berdasarkan sila kedua Pancasila tersebut disebut sebagai keadilan bermartabat. Keadilan bermartabat yaitu bahwa meskipun seseorang bersalah secara hukum namun tetap harus diperlakukan sebagai manusia. Keadilan bermartabat adalah keadilan yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Keadilan yang bukan saja secara material melainkan juga secara spiritual, selanjutnya material mengikutinya secara otomatis. Keadilan bermartabat menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dijamin hak- haknya.
Demikian juga hakim yang salah satu tugasnya adalah menegakan keadilan (gerech’tigdheid), namun yang dimaksud dengan keadilan adalah bukan keadila n menurut bunyi perkataan undang-undang semata (let’terknechten der wet), melainkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 yang menyatakan “Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagaimana keadilan bermartabat yang tidak hanya melihat dari segi materiil saja tetapi juga dari segi spiritualnya, maka hakim dalam mewujudkan keadilan bermartabat harus mampu membuat putusan yang menegakan keadilan yang memanusiakan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang yang harus dijamin hak dan martabatnya.
Dengan adanya sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab ” maka setiap manusia harus diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang sama derajatnya dan sama hak dan kewajibannya sesuai dengan hak asasi manusia yang mereka miliki tanpa membedakan asal usul keturunan, suku, agama dan status sosial. Diatas landasan persamaan derajad, hak dan kewajiban inilah diperlukan adanya pembinaan dan peningkatan sikap aparat penegak hukum untuk memperlakukan seseorang tersangka atau terdakwa dengan cara yang memanusiawi. Sekalipun yang dihadapi dan diperiksa seorang tersangka atau terdakwa, namun mereka sebagai manusia memiliki harkat kemanusiaan, tidak boleh diperlakukan dengan sikap dan cara yang semena- mena dan sewenang-wenang.