Sejarah Perampasan Asset
Sunday, 21 January 2018
SUDUT HUKUM | Di Negara-Negara yang menganut sistem common law, Non Conviction Based (NCB) asset forfeiture sudah lazim diterapkan sebagai alat untuk menyita dan mengambil asset yang berasal, berkaitan atau merupakan hasil dari kejahatan. Akar dari prinsip NCB asset forfeiture pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap sebagai instrument of a death atau yang sering disebut deodant.
Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatkanya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan asset yang disita. Kendati dalam peraktiknya NCB asset forfeiture sering kali dianggap bersifat opresif dan tidak adil, namun kongres pertama di Amerika Serikat tetap mempertahankan penggunaannya dihukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi kewenangan kepada pemerintah federal untuk menyita kapal.
Supreme court kemudian juga mendukung penggunaan NCB asset forfeiture di Amerika Serikat dalam kasus the palmyra yang terjadi di tahun 1827 yang mana pengadilan menolak argumen pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan dan pengambil alihan kapalnya adalah illegal karena tanpa adanya sebuah putusan yang menyatakan pemiliknya bersalah. Kasus inilah yang menjadi dasar dari penggunaan NCB asset forfeiture di Amerika Serikat.
Bagi Negara berkembang yang tingkat korupsinya tinggi, NCB asset forfeiture adalah alat penting dalam pengembalian asset (asset recovery) khususnya dalam mengungkap kekayaan yang tidak wajar. Di beberapa yurisdiksi, NCB asset forfeiture ini juga disebut sebagai “civil forfeiture”, “in rem forfeiture”, atau “objektif forfeiture”, adalah tindakan melawan asset itu sendiri dan bukan terhadap individu (in personam).
NCB asset forfeiture ini adalah tindakan yang terpisah dari proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa suatu property itu “tercemar” (ternodai) oleh tindak pidana. Secara umum, NCB asset forfeiture harus ditetapkan pada keseimbangan probabilitas beban pembuktian. Hal ini memudahkan beban pemerintah (otoritas) untuk bertindak dan itu berarti bahwa dimungkinkan untuk merampas asset apabila ada bukti yang cukup untuk mendukung keyakinan bahwa asset yang dimaksud merupakan hasil tindak pidana (kejahatan) mengingat tindakan tersebut tidak melawan individu melainkan terhadap property. Pemilik property tersebut adalah pihak ketiga yang memiliki hak untuk mempertahankan property yang akan dilakukan tindakan perampasan.
David Scott Romantz mengatakan bahwa NCB asset forfeiture adalah penyitaan dan pengambil alihan suatu asset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap asset. Konsep civil forfeiture didasarkan pada “taint doctrine” dimana sebuah tindak pidana dianggap taint (menodai) sebuah asset yang dipakai atau merupakan hasil tindak pidana tersebut. Walaupun mempunya tujuan yang sama yaitu untuk menyita dan mengambil alih asset hasil kejahatan. NCB asset forfeiture berbeda dengan criminal forfeiture yang menggunakan gugatan in rem personam (gugatan terhadap orang) untuk menyita dan mengambil alih suatu asset.
Perampasan non-pidana dapat disebut juga sebagai “perampasan perdata”, “perampasan in rem” atau beberapa sistem hukum yang dikenal sebagai perampasan objektif merupakan tindakan yang ditujukan terhadap asset itu sendiri dan bukan terhadap individu (orang) dan tindakan ini terpisah dan bukan merupakan bagian dalam proses pidana dan dalam mekanismenya membutuhkan bukti bahwa asset/property itu berindikasi berasal dari hasil kejahatan. Linda M. Samuel mengatakan bahwa tujuan dari sistem perampasan tanpa penuntutan/ NCB asset forfeiture adalah untuk menangani kejahatan asalnya (predicate crime), sekaligus merampas asset yang diperoleh atau digunakan untuk suatu tindak pidana.
Namun demikian Linda M Samuel dan Muhammad Yusuf, tidak menjelaskan bagaimana merampas asset transaksi keuangan yang mencurigakan. Padahal transaksi keuangan yang mencurigakan jika tidak segera dirampas tentunya melalui hasil analisis terlebih dahulu, uang dari hasil transaksi keuangan yang mencurigakan bisa saja digunakan untuk kejahatan lainnya. Hal ini guna untuk melakukan pencegahan secara dini terhadap apa yang terjadi kedepannya. Untuk itu perlu dilakukan upaya perampasan asset guna mewujudkan asset recovery dari hasil kejahatan pencucian uang.
Praktik asset recovery di Amerika Serikat terdiri dari dua jenis. Pertama, conviction based or criminal “in personal” forfeiture, dimana penuntutan dilakukan terhadap orangnya. Kedua, non conviction based (NCB) atau Civil “in rem” forfeiture, dimana perampasan ditujukan terhadap barang yang diperoleh secara illegal atau digunakan secara illegal, sehingga yang menjadi tergugat adalah assetnya tersebut.
Perampasan non-pidana pada penerapannya memiliki beberapa kegunaan, diantaranya:
- Pelaku tindak pidana adalah buron atau dalam pelarian, dalam hal ini peradilan pidana tidak dapat memutuskan sanksi pidana tanpa kehadiran pelaku.
- Terpidana meninggal dunia sebelum adanya putusan pidana terhadapnya.
- Pelaku tindak pidana kebal hukum.
- Pelaku tindak pidana begitu kuat dan berkuasa sehingga penyelidikan pidana atau penuntutan tidak realistis atau tidak mungkin dilakukan.
- Pelaku tidak pidana tidak diketahui dari asset yang ditemukan. Jika asset berasal dari kejahatan, seseorang pemilik atau pelanggar mungkin tidak mau mengakui karena akan menyebabkan tuntutan pidana. Ketidakpastian ini membuat penuntutan pidana terhadap pelanggar sangat sulit dan mustahil.
- Asset yang dialihkan kepada pihak ketiga yang tidak ikut serta dalam tindak pidana, tetapi sadar atau sengaja terhadap fakta bahwa asset tersebut berasal dari hasil kejahatan. Perampasan asset secara pidana tidak akan dapat dilakukan dikarenakan ada hak-hak yang dimiliki oleh pihak ketiga. Implikasi terhadap asset tersebut yang tidak dapat dilanggar, sedangkan perampasan asset secara in rem dapat mengambil alih asset dari pihak ketiga tanpa melakukan pelanggaran hak-hak pihak ketiga.
Dalam pelaksanaanya, NCB asset forfeiture memerlukan peraturan dan pembuktian serta prosedur yang sangat rinci. Dalam upaya perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang, penting untuk memilki peraturan perundang-undangan yang cukup jelas dan fleksibel agar dapat mengikuti perubahan zaman.
Adapun undang-undang, peraturan administrasi serta peraturan prosedur dalam NCB asset forfeiture secara karaktersitik harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
- Inventigasi, termasuk metode untuk memperoleh bukti-bukti
- Penelurusan yang diperlukan oleh pemerintah untuk memperkuat fakta-fakta pada khususnya.
- Penahanan dan perampasan asset, termasuk jangka waktu dari penahanan dan perampasan serta kemampuan mengupayakan perpanjagan waktu yang disetujui secara yudisial.
- Perampasan asset termasuk:
- Persyaratan dasar fakta dan dasar hukum memerintah perampasan;
- Pihak yang berkepntingan yakni kepentingan pihak ketiga, status buronan, pihak yang telah meninggal dunia dan pejabat dengan imunitas;
- Pihak yang berhak untuk memberitahu dan bagaimana cara memberlakukannya;
- Batas waktu untuk pengumpulan dan pertanggungjawaban untuk perampasan asset.
- Peraturan, jika ada yang melindungi pada saat pemberatan hukumpada saat proses peradilan pidana berdasarkan hasil wawancara yang diadakan untuk proses peradilan NCB.
- Pembelaan yang diberlakukan.
- Bukti yang dimiliki Pemerintah (sebagai contoh, informasi yang didengar dari pihak lain dan dokumen ringkasan lainnya).
- Kemampuan untuk meminta ke pengadilan untuk dapat memberikan satu atau lebih tuntutan tanpa perlu melanjutkan persidangan.
- Kemampuan untuk meminta alasan keputusan yang rinci atas dasar fakta dan dasar hukum, yang juga harus merupakan sebuah dokumen publik.
- Apakah pembayaran sebagai pengganti dari perampasan diperbolehkan.
- Apakah harta benda asli yang telah tercampur dapat dipulihkan (asset pengganti).
- Pengelolaan asset.
- Kerja sama internasional, apakah termasuk kriminalitas ganda.
Namun tidak ada penjelasan bagaimana tentang perampasan asset dari transaksi keuangan yang mencurigakan dan prosedurnya. Karena itu perlu kiranya melihat praktek di beberapa Negara dalam rangka perampasan asset. Karena dengan studi perbandingan dengan melihat ke beberapa Negara akan tampak perbedaan masing-masing Negara dalam mermpas asset, terlebih lagi merampas asset dari transaksi keuangan yang mencurigakan guna mewujudkan asset recovery hasil kejahatan pencucian uang.