Wujud Independensi Kekuasaan Kehakiman
Sunday, 7 January 2018
SUDUT HUKUM | Independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam empat bentuk, yaitu:
- independensi konstitusional (Constitutionele Onafhankelijkheid).
Independensi ini merupakan independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu, dimana lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan kelembagaannya harus bebas dari pengaruh politik.
- independensi fungsional (Zakelijke of Functionele Onafhankelijkheid).
Independensi ini berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan putusan sehingga setiap hakim dapat menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan undang- undang apabila undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Akan tetapi hal ini juga dibatasi oleh Independensi substansial, dimana hakim tidak boleh memutus suatu perkara tanpa dasar hukum. Hakim juga dapat mencabut suatu ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan keadilan atau konstitusi.
Baca Juga
- independensi personal hakim (Persoonlijke of Rechtspositionele Onafhankelijkheid).
Independensi ini mengenai kebebasan hakim secara individual ketika berhadapan dengan suatu sengketa. Hakim sebagai mesin penggerak lembaga kekuasaan kehakiman harus benar-benar bebas dari segala bentuk tekanan, pengekangan, ancaman, intimidasi dan lain sebagainya, baik dari lembaga struktur organisasi peradilan, maupun berasal dari luar lembaga peradilan yang membuat jiwa dan perasaan hakim merasa tidak nyaman, tidak bebas dalam menjalankan tugasnya.
- independensi praktis (Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid).
Independensi ini adalah independensi hakim untuk tidak berpihak (imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh berita-berita tersebut, hakim juga harus mampu menyaring desakan-desakan dalam masyarakat untuk dipertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat menerapkan norma-norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian dapat disimpukan bahwa kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari tiga jenis:
a. kemandirian lembaganya atau institusinya.
Kemandirian dalam hal ini merupakan kemandirian yang berkaitan dengan lembaga peradilannya itu sendiri. Para meter mandiri atau tidaknya suatu institusi peradilan dapat dilihat dari apakah adanya ketergantungan dengan lembaga lainnya atau hubungan hierarkhis ke atas secara formal dimana lembaga atasannya dapat campur tangan dan mempengaruhi kebebasan atau kemandirian terhadap lembaga peradilan tersebut.
b. kemandirian proses persidangannya.
Kemandirian dalam hal ini dimulai dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian sampai pada putusan yang dijatuhkannya. Parameter mandiri atau tidaknya suatu proses peradilan ditandai dengan ada atau tidakanya campur tangan dari pihak lain diluar kekuasaan kehakiman yang dengan berbagai upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan baik secara langsung maupun tidak langsung.
c. kemandirian hakim.
Kemandirian dalam hal ini dibedakan tersendiri, karena hakim secara fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum dalam menyelenggarakan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur tangan pihak lain dalam proses peradilan.
Hakim adalah salah satu predikat yang melekat pada seseorang yang memiliki pekerjaan dengan spesifikasi khusus dalam bidang hukum dan peradilan sehingga banyak bersinggungan dengan masalah mengenai kebebasan dan keadilan secara legal dalam konteks putusan atas perkara yang dibuat. Setiap kebebasan selalu melekat pada individu manusia sebagai salah satu hak dasar yang dimilikinya sebagaimana hakim yang memeriksa dan memutus perkara menjadi bentuk pertanggungjawaban hakim baik secara moral maupun sesuai dengan hati nurani terhadap setiap putusan, yang mewajibkan hakim dengan memberikan pendapat pada setiap perkara yang diputus.
Jangkauan kebebasan hakim dalam melaksanakan fungsi Independensi kekuasaan kehakiman adalah kebebasan yang terbatas dan bermakna:
- bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, sehingga kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan harus berdiri sendiri, tidak berada di bawah subordinasi atau berada dibawah pengaruh dan kendali badan eksekutif, legislatif, atau badan kekuasaan lainnya.
- bebas dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial. Sehingga hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan tidak boleh dipaksa untuk mengambil putusan yang dikehendaki pihak yang memaksa. Paksaan yang datang dari siapapun dan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan. Begitupula pengarahan dan rekomendasi yang datang dari luar lingkungan peradilan tidak dibenarkan. Hakim harus memiliki keberanian nurani yang sungguh melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan.
- kebebasan untuk melaksanakan wewenang yudisial (peradilan) yaitu :
a. menerapkan hukum yang bersumber dari pera turan perundang-undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksa.
b. menafsirkan hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran (penafsiran sistemik, sosiologi, bahasa, analogis dan a contrario)
c. mencari dan menemukan hukum, dasar-dasar, asas-asas hukum melaui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis (hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan realism yakni mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama, kepatutan dan kelaziman.
Kebebasan hakim menjelaskan bahwa tidak boleh adanya intervensi dari pihak-pihak extra judicial lainnya dalam peradilan, sehingga dapat mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya di bidang yudisial. Dengan demikian dapat menciptakan putusan hakim yang berkualitas, mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Akan tetapi kebebasan hakim tidak sekedar berarti imparsialitas hakim dari pengaruh eksekutif, legislatif, bahkan dari internal lemba ga yudikatif itu sendiri. Independensi tidak hanya bermakna merdeka, bebas, imparsial, atau tidak memihak dengan individu, kelompok atau organisasi kepentingan apapun, atau tidak tergantung dan dipengaruhi oleh kekuatan apapun. Independensi bermakna pula sebagai kekuatan atau power, paradigma, etika dan spirit untuk menjamin bahwa hakim akan menegakan hukum demi kepastian dan keadilan.
Indepedensi kekuasaan kehakiman akan mewujudkan suatu kebebasan individual atau kebebasan eksistensial pada hakim. Kebebasan eksistensial adalah kebebasan hakiki yang di miliki oleh setiap manusia tanpa melihat predikat yang melekat padanya. Pada profesi hakim, kebebasan eksistensial menegaskan bahwa seorang hakim harus mampu menentukan dirinya sendiri dalam membuat putusan pengadilan.
Kebebasan eksistensial pada hakikatnya tersendiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Sifatnya positif, artinya kebebasan itu tidak menekankan segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Kebebasan tersebut adalah tanda dan ungkapan martabat manusia. Karena kebebasannya manusia adalah makhluk otonom, yang menentukan diri sendiri, yang dapat mengambil sikapnya sendiri. Itulah sebabnya kebebasan adalah mahkota martabat sebagai manusia.
Kebebasan eksistensial seorang hakim adalah kebebasan untuk menentukan sebuah keputusan pengadilan atas perkara yang diadili, yang mensyaratkan bahwa keputusan yang diambil harus mempertimbangkan objektivitas keputusan dengan tanpa tekanan dari pihak manapun. Ketika terjadi penekanan yang dimungkinkan akan mempengaruhi keputusan yang diambil, seorang hakim harus mampu menunjukan kebebasan eksistensialnya dengan objektivitas keputusan yang diambilnya.
Pada hakekatnya, independensi merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan. Tetapi kebebasan ini tidaklah mutlak, tidak berarti bahwa hakim dapat berbuat sewenang-wenang, “Such independence implies freedom from interference by the Executive or Legialative with the exerciae of the judicial function, but does not mean that the judge entitled to act in an arbitary manner”.
Adapun bentuk pembatasan kebebasan hakim dalam memutus perkara antara lain:
- hakim hanya memutus berdasarkan hukum.
Setiap putusan hakim harus dapat menunjukan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara kongkret. Hal ini sejalan dengan asas legalitas bahwa suatu tindakan haruslah berdasarkan aturan hukum. Asas legalitas menuntut suatu kepastian huk um bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan yang didakwakan kepadanya, telah ada sebelumnya suatu ketentuan perundang-undangan yang mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang.
Segala putusan hakim atau putusan pengadilan selain harus memuat alasan- alasan dan dasar-dasar dari putusan tersebut, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar mengadili.
- hakim memutus untuk keadilan.
Untuk mewujudkan keadilan , hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan kontruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengesampingkan suatu ketentuan yang berlaku. Apabila hakim tidak dapat menerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya putusan yang adil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan hukum atau menemukan hukum tersebut semata- mata untuk mewujudkan keadilan, tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang.
Undang-undang telah menggariskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup didalam masyarakat.
Dalam Conferensi International Commission of Jurist juga menjelaskan bahwa kebebasan hakim pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. “Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitary manner”. Ketentuan dari segi prosedural maupun substansial atau materiil sudah menjadi batasan bagi hakim agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang dimana hakim adalah subordinated pada hukum dan tidak dapat bertindak contra legem. Sehingga dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan.
Kekuasaan negara yang merdeka haruslah berdasarkan Pancasila maka dengan demikian nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila harus dipahami sebagai batas-batas pertanggungjawaban dan ukuran kebebasan hakim yang bertanggungjawab. N ilai- nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila dapat dijadikan sebagai alat untuk merefleksikan makna hakiki kebebasan hakim dalam konteks rule of law di Indonesia.