Bentuk Sumpah dalam Hukum Islam
Tuesday, 27 February 2018
SUDUT HUKUM | Fuqaha sepakat bahwa sumpah yang dapat menetapkan suatu gugatan atau menghapuskannya adalah sumpah dengan nama Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Pandapat fuqaha Amshar tentang bentuk ucapan sumpah tersebut hampir sama.
Teks sumpah itu, menurut Malik adalah:
بِاللهِ الَذِيْ لآ إِلهَ إِلاَّهُوَا
Dengan nama Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia”.
Tanpa ada penambahan. Tetapi Syafi’i menambah kata-kata:
Yang mengetahui perkara yang tersembunyi seperti halnya mengetahui perkara yang nyata”.
Antara sumpah dan saksi fuqaha berselisih pendapat tentang pemutusan perkara berdasarkan sumpah berikut saksi.
Menurut Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Abu Tsaur, tujuh fuqaha Madinah, dan beberapa orang fuqaha, dalam urusan harta dapat diputuskan berdasarkan sumpah berikut saksi.
Sedang menurut Abu Hanifah, ats-Tsauri, al-Auza’i, dan jumhur fuqaha Irak, semua urusan tidak boleh diputuskan berdasarkan sumpah berikut saksi.Pendapat ini juga dipegangi oleh al-Laits dari kalangan pengikut Malik.Silang pendapat ini disebabkan adanya pertentangan riwayat.
Pegangan fuqaha yang menetapkan sumpah berikut saksi adalah beberapa hadis. Antara lain Ibnu Abbas r.a., Abu Hanifah r.a., Zaid bin Tsabit r.a., dan Jabir r.a. Diantara hadis-hadis tersebut adalah yang ditakhrij oleh Muslim, yaitu riwayat Ibnu Abbas r.a.:
Sesungguhnya Rasululla Saw., memutuskan berdasarkan sumpah berikut saksi”.(HR. Muslim dan Abu Dawud).
Hadis ini ditakhrijkan oleh muslim, sedang Bukhrai tidak mentakhrij.
Dalam hal ini Malik menyandarkan pada hadis mursal dari Ja’far bin Muhmmad dari ayahnya:
Sesungguhnya Rasulullah Saw, memutuskan berdasarkan sumpah berikut saksi”.
Sebab, menurut Malik, mengamalkan hadis mursal itu wajib.
Sedang dalil sam’i yang bertentangan dengan pendapat Malik adalah firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.(Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S Al- Baqarah: 282)
Fuqaha berpendapat bahwa ayat ini menghendaki adanya pembatasan. Karena itu penambahan terhadap ketentuan yang dibatasi, berarti pembatalan, padalah al-qur’an tidak bisa dibatalkan oleh sunah yang tidak mutawatir.
Fuqaha yang menetang pendapat ini mengatakan bahwa penambahan tersebut bukan merupakan suatu pembatalan, melainkan suatu penambahan yang tidak mengubah hukum yang ditambahnya itu.
Menurut mereka, keterangan ini merupakan suatu pembatasan hukum dari Nabi Saw., dan pembatalan terhadap alasan kedua belah pihak yang bersengketa.Dan bagi Nabi Saw., tidak boleh untuk tidak meminta bagian-bagian alasan pihak penggugat.
Sedang fuqaha yang menetapkan sumpah berikut saksi memegangi aturan pokoknya.Yakni, sumpah merupakan hujah bagi pihak yang paling kuat alasannya, dari kedua belah pihak dalam gugatan.Dan disini alasan penggugat sudah kuat dengan adanya saksi dan diperkuat lagi dengan sumpah (qasamah).
Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang keputusan perkara berdasarkan sumpah, beserta dua orang saksi perempuan.
Menurut Malik, itu boleh, karena saksi dua orang perempuan itu sama dengan satu orang saksi lelaki.
Sedang menurut Syafi’i, “tidak boleh”, karena posisi dua orang perempuan tersebut menempati posisi seorang lelaki beserta seorang saksi lelaki, bukan sendirian dan bukan pula bersama orang lain.