Hak-hak Orang Gila dalam Hukum Positif
Tuesday, 27 February 2018
SUDUT HUKUM | Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal dikotomi konsep orang gila dan orang waras. Bedasarkan hal tersebut penulis tidak menggunakan terminologi orang gila yang seakan sebagai lawan dan orang sehat/waras yang diakui dan dilindungi secara konstitusional dan sedangan orang gila seakan tidak diakui dan dilindungi secara konstitusional. Oleh karena itu, penulis menggunakan terminologi orang sakit jiwa/sakit jiwa yang memiliki konotasi orang dalam keadaan sakit, maka mau sakit jiwa atau tidak adalah orang yang secara konstitusional tetap dilindungi oleh konstitusi, dengan begitu akan melepaskan dan terminologi dikotomi onang sehat/waras dengan orang gila.
Sebagai landasan pengkajian akan diketengahkan terlebih dahulu tentang konsep atau terminologi tentang hak-hak konstitusional. Secara sederhana konstitusi merupakan resultante atau kesepakan luhur rakyat (modus vivendi) yang tentunya salahsatunya mengatur materi penting yang saya sebut materi utama/prima material yaitu tentang hak-hak asasimanusia yaitu hak-hak asasi manusia atau antar manusia dan hak-hak asasi orang dalam berhadapan dengan negara; karena secara historis konsep konstitusionalisme memang wujud konkrit hasil dan gerakan pemikiran dalam penjuangan pemikiran tentang hak-hak asasi manusia.
Hak asasi manusia merupakan konsep hak manusia yang universal sebagai nilai moral yang universal, dan hak-hak asasi manusia tersebut kemudian di adopsi dalam ketentuan-ketentuan konstitusi suatu negara, nah hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam ketentuan konstitusional itulah yang disebut dengan hak-hak kostitusional.
Ketentuan yang terkandung dalam UUD 1945 sekurang-kuranya terdapat sekitar 37 butir ketentuan dan secara umum mengatur hak-hak kostitusional yang secara umum dapat kita rinci sebagai hak-hak sipil, hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya, hak-hak khusus dan hak-hak atas pembangunan. Dan diantara hak-hak tersebut ada beberapa hak yang sifatnya nonderogable atau tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun, misalnya hak hidup atau hak untuk tidak disiksa dan lain sebagainya.
Hak-hak konstitusional yang bernilai hak asasi manusia tersebut berlaku tidak hanya warga negara Indonesia akan tetapi seluruh penduduk yang ada dalam wilayah kesatuan Repubilk Indonesia. Meskipun demikian ada beberapa hak konstitusional yang hanya merupakan hak warga negara atau civil right yang hanya diMiliki warga negara saja dan tidak untuk semua orang, yaitu misalnya hak pilih.
Keseluruhan hak-hak konstitusional tersebut dinilliki oleh setiap orang yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia/penduduk dan setiap warga negara Indonesia, tidak terkecuali orang dalam keadaan sakit sepanjang tidak dibatasi oleh Undang-Undang. Kembali kepada permasalahan orang sakit jiwa. Orang dalam keadaan sakit jiwa memiliki hak konstitusional untuk sembuh dan mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana berdasarkan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyataan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan endapatkan lingkungan hidup baik dan sehat sertamemperoleh pelayanan kesehatan”.
Kesembuhan dari seseorang yang sedang ada dalam sakit jiwa adalah sebuah keniscayaan bagi penulis agar orang sakit tersebut dapat memperoleh dan menikmati jaminan konstitusional bagi hak-hak asasi manusia yang dijamin konstitusi/hak konstitusional atau hak sipil lainya.
Adalah ketentuan konstitusional yang meletakan kewajiban dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan dan pemenuhan hak-hak asasi atau hak konstitusional bagi negara dan pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (4) yang menyatakan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Kesembuhan dan penyembuhan adalah langkah utama dalam upaya pemenuhan hak konstitusional orang sakit jiwa, dan kiranya ini adalah bukan sekedar permasalahan konstitusional tapi juga merupakan permasalahan tuntutan moralitas dalam penghormatan hak-hak asasi manusia yang dianugerahkan tuhan dalam kelahirannya.
Upaya penyembuhan orang sakit jiwa membutuhkan biaya untuk mendapatkan perawatan kesehatan/mental. Kemalangan bagi kaum yang ekonominya lemah, jika sanak keluarganya mengalami sakit jiwa, anggota keluarganya tersebut biasanya dibiarkan atau kalau tidak, diobati ke paranormal, bahkan kebanyakan dipasung karena dianggap mengganggu dan merugikan masyarakat. Padahal dalam upaya penyembuhan orang sakit jiwa terdapat perawatan dan penanganan khusus, bukan hanya sekedar pemberian obat. Jelas jika membaca ketentuan Pasal 34 UUD 1945 pemberdayaan dan pemenuhan fasilitas kesehatan bagi fakir miskin merupakan tanggung jawab negara.
Dalam Pasal 147 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menekankan bahwa “Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggungjawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat”, jaminan ini penting karena bagiorang dalam keadaan sakit jiwa dalam hal penikmatan hak-hak hukum dan konstitusional harus terlebih dahulu disembuhkan; karena pada dasarnya orang sakit jiwa juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara kecuali ditentukan lain oleh undang-undang yaitu sebagaimana bunyi Pasal 148 ayat (1) UU Kesehatan yang menyatakan “Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara”.
Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dalam menyembuhkan orang sakit jiwa akan lebih jelas lagi jika kita membaca ketentuan Pasal 149 sebagai berikut:
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancamkeselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau menggangguketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatandan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukanpengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagipenderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancamkeselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau menggangguketertiban dan/atau keamanan umum.(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab ataspemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa denganmelibatkan peran serta aktif masyarakat.(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimanadimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan danperawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Selanjutnya dapat dilihat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa, Rancangan Undang-Undang ini telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 8 Juli 2014 dan saat ini masih dalam proses penomoran di Sekretariat Negara:
Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa: Orang Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat OMDK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami ganguanjiwaPasal 1 angka 3: Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkatODGK adalah sesorang yang mengalami gangguan dalam pikiran,perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapatmenimbulkan penderitaan dan hambatan dalam melaksanakan fungsi sebagai manusia.
Jaminan hukum (konstitusi dan UU) tidak serta merta mampu terlaksana karena kebijakan ini kemudian di delegasikan kembali kepada pemerintah untuk diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah sebagaimana berdasarkan Pasal 151 UU Kesehatan. Suatu kemalangan sampai saat ini hampir sekitar 5 tahun PP tersebut belum mampu dikeluarkan dan nyaris semua jaminan konstitusi dan jaminan UU bagi upaya penyehatan orang sakit jiwa yang menjadi tanggungjawab pemerintah tidak mampu dijalankan.