Dasar Hukum Pemberian Justice collaborators
Friday, 23 February 2018
SUDUT HUKUM | Justice collaborators memiliki peran penting dalam hal membantu membongkar dan mengungkapkan kasus-kasus yang tergolong dalam tindak pidana yang terorganisir. Dimana dalam praktek peradilan aparat hukum seringkali menemukan berbagai kendala yuridis dan nonyuridis untuk mengungkap tuntas dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana terutama dalam menghadirkan saksi-saksi kunci dalam proses hukum sejak penyidikan sampai proses pengadilan. Posisi justice collaborators sangat relevan bagi sistem peradilan pidana Indonesia guna mengatasi kemacetan prosedural dalam suatu kejahatan dan sulit pembuktiannya.
Berbeda halnya dengan peranan saksi mahkota dalam kasus-kasus tindak pidana yang diatur dalam KUHP. Seorang juctice collaborators hanya digunakan dalam kasus-kasus yang tergolong tindak pidana tertentu. Dimana ketentuan tentang hukum pidananya tercantum di luar KUHP.
Dasar yuridis tentang justice collaborators terdapat dalam kebijakan hukum pidana baik yang berasal dari dokumen internasional maupun nasional. Adapun kebijakan hukum tersebut diantaranya:
- United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC)
Baca Juga
UNCAC atau UU RI Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Konvensi PBB Anti Korupsi merupakan dasar hukum yang melatarbelakangi lahirnya ide tentang justice collaborators dalam peradilan pidana. pengaturan yang berkaitan dengan justice collaborators dalam peradilan pidana yang diatur dalam Pasal 37 sebagai berikut:
Pasal 37 Ayat (2): Setiap Negara Peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalamn konvensi ini.
Pasal 37 Ayat (3) : Setiap Negara wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan hukum dari penuntutan bagi orang-orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan dalam konvensi ini.
Dalam Pasal tersebut terdapat kalimat “orang-orang yang memberikan kerjasama substansial”, hal ini serupa dengan istilah justice collaborators yang berarti saksi pelaku yang bekerjasama. Kerjasama yang dimaksud dalam hal ini adalah kerjasama yang dilakukan bersamasama dengan penyidik untuk mengungkap sesuatu yang merupakan inti dari kejahatan yang terorganisir yang ditetapkan dalam konvensi ini.
- UNCATOC (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime)
UNCATOC atau yang selanjutnya disebut UU RI Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional. Konvensi ini juga memberikan ide pengaturan yang berkaitan dengan justice collaborators dalam peradilan pidana, yakni yang diatur dalam Pasal 26, dimana setiap Negara Pihak diwajibkan untuk memberi pengurangan hukuman dan kekebalan atas tuntutan terhadap seseorang yang memberikan kerjasama yang berarti dalam penyelidikan atas tindak pidana yang diatur dalam konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional.
Kerjasama yang dilakukan adalah kerjasama untuk mengungkap kejahatan Transnasional Terorganisasi, dimana kejahatan ini merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan sosial ekonomi, politik, keamanan, dan perdamaian dunia.
- Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang ini secara eksplisit tidak memberikan pengaturan yang tegas tentang definisi justice collaborator. Akan tetapi pengaturan yang berkaitan dengan justice collaborators dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (2), yakni “seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.
Dalam Pasal ini telah jelas bahwa seorang tersangka dapat pula untuk berkedudukan menjadi saksi yaitu saksi atas kasus yang sama, dimana saksi seperti yang telah diatur dalam undang-undang ini adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan guna penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
- Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban RI Nomor. M.HH-11.HM.03.02.th,2011, PER-045/A/JA/12/2011, 1 Tahun 2011, KEPB-02/01-55/12/2011, 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Tujuan dibentuknya Peraturan Bersama ini adalah untuk menyamakan pandangan dan persepsi serta memperlancar pelaksanaan tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius atau terorganisir. Hal ini dikarenakan ketentuan yang ada saat ini belum sepenuhnya dapat memberikan jaminan dan perlindungan yang memadai bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama.
Diatur dalam Pasal 1 ayat 3, bahwasanya yang dimaksud sebagai saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborators adalah:
Saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
- SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
Lahirnya suatu peraturan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan hukum dari masyarakat. Untuk itu Lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 ini dikarenakan banyaknya peristiwa hukum yang ditangani oleh aparat penegak hukum, akan tetapi belum ada peraturan perundang-undangan yang secara jelas dapat dijadikan landasan hukum dan memberikan batasan secara khusus terkait justice collaborators.
Berdasarkan asas lex specialis derogat lex generali (ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum)22 sesuai dengan Pasal 103 dimana “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII Buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam pidana, kecuali oleh undangundang ditentukan lain.”
Artinya, ketentuan umum atau asas-asas umum berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang atau peraturan di luar KUHP, kecuali terdapat penyimpangan dalam undang-undang tersebut. Oleh karena belum adanya pengaturan justice collaborators dalam KUHP maka dari itu, untuk mengisi kekosongan hukum bagi para hakim dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan peranan justice collaborators maka dikeluarkanlah SEMA ini yang dapat dijadikan pedoman bagi lembaga hukum yang bernaung dibawah Lembaga Yudikatif dalam hal ini adalah Mahkamah Agung.
Pengaturan yang berkaitan dengan justice collaborators termaktub dalam Point 9 tentang pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborators) adalah sebagai berikut:
- Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan merupakan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberi keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;
- Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana yang diperbuatnya.
Dalam pendistribusian perkara dimana justice collaborators berperan dalam pengungkapan kasus tersebut maka Ketua Pengadilan akan memberikan perkara itu kepada majelis yang sama sejauh mungkin dan mendahukukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborators.
Penggunaan aturan SEMA ini adalah untuk saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborators yang berkaitan langsung dengan tindak pidana tertentu yang bersifat serius . Pendefinisian tindak pidana tertentu yang bersifat serius ini dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 terdapat pada poin 1, yakni:
Tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan san supremasi hukum.