Dasar Hukum Tindak Pidana Fraud
Thursday, 15 February 2018
SUDUT HUKUM | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan terbagi menjadi tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam:
- Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, diatur dalam Pasal 46.
- Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur dalam Pasal 47 Ayat (1) Ayat (2) dan Pasal 47 A.
- Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank diatur dalam pasal 48 Ayat (1) dan Ayat (2).
- Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur dalam pasal 49 Ayat (1) huruf a,b dan c, Ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 dan Pasal 50A.
Ketentuan Pasal 46 Ayat (1):
Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun serta denda sekurangkurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).”
Ketentuan Pasal 46 Ayat (1) sering menimbulkan permasalahan yaitu: Pertama, apakah yang dimaksud dengan “menghimpun dana dari masyarakat”. Kedua, apakah simpanan yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya berupa giro, tabungan, deposito dan sertifikat deposito atau juga meliputi bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Ketiga, apakah si pelaku harus menggunakan nama bank atau tidak.
Ketentuan Pasal 49 Ayat (1):
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Suatu pertanyaan yang sering timbul adalah apakah tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan merupakan tindak pidana umum atau khusus. Hal ini berkaitan dengan tugas penyidikan terhadap tindak pidana ini. Terdapat kesan, bahwa pihak Kepolisian menganggapnya sebagai tindak pidana umum, karena walaupun tindak pidana ini diatur di luar KUHP, tetapi Undang-Undang Perbankan tidak mengatur Hukum Acara khusus mengenai tindak pidana perbankan. Ada pihak lain yang menyebut sebagai tindak pidana khusus, karena diatur di luar KUHP, ancaman hukum berat dan kumulatif dengan minimum hukuman dan ada sedikit hukum acara seperti yang diatur dalam Pasal 42 yang berkaitan dengan permintaan keterangan yang bersifat rahasia bank dalam proses peradilan perkara pidana.
Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tindak pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana khusus (sebagai penjelasan dari Pasal 284 KUHAP).
Hal yang terjadi didalam suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa Undang-Undang yang dapat dan biasanya diterapkan yaitu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Fraud sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tentang Pencurian, Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan, dan Pasal 378 KUHP Tentang Perbuatan Curang.
Ketentuan Pasal 362 KUHP:
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Pasal ini termasuk dalam kategori fraud karena perbuatan yang dilakukannya adalah dengan cara mengambil sesuatu milik orang lain (dalam hal ini adalah mengambil uang nasabah yang seharusnya bukan dalam kekuasaan pegawai banknya).
Ketentuan Pasal 372 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Pasal ini mencakup pengertian tentang fraud karena dilakukan dengan sengaja mengambil sesuatu yang merupakan milik orang lain (dalam hal ini uang nasabah).
Ketentuan Pasal 378 KUHP:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Pasal ini termasuk dalam kategori fraud karena perbuatan yang dilakukannya untuk menguntungkan diri sendiri dan dilakukan secara melawan hukum. Karena perilaku fraud jelas dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri, namun masih banyak kasus demi kasus yang terjadi sehingga dapat dilihat bahwa hukum sepertinya tidak memiliki kekuatan bagi pelaku fraud itu sendiri.