-->

Karakteristik Hukum Pidana dalam Konteks Ultimum Remedium

SUDUT HUKUM | Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan.

Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. (Andi Zainal Abidin: 1987:16)

Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa:
Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain. Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”.

Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Huleman dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun 1965 dan A. Mulder dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh karenanya Hukum Pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri.

Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa dalil ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan Hukum Pidana. Berkaitan dengan karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini bahwa penegakan Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dan tajam tetap harus diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan bagi pelaku. 

Baca Juga

Dan mengenai penerapan ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata didahulukan sehingga ketika fungsi sanksi – sanksi hukum tersebut kurang baru dikenakan sanksi pidana. 

Namun melihat sisi lainnya melalui pendapat Van Bemmelen bahwa penerapan ultimum remedium ini harus diartikan “upaya” (middel), bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat, yang apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat menyebabkan orang main hakim sendiri.

Seperti yang telah kami paparkan bahwa sanksi  pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini merupakan jurus  pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi  pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (obat yang utama). Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium ini dapat dilihat dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi. Dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua UU tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat. 

Sehingga dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut. Dan kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) lagi,  banyak perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan aturan UU yang berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (premium remedium). 

Misalnya penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan pencurian atau perbuatan melawan hukum lainnya, adalah tidak mudah untuk menerapkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium bagi mereka, mengingat adanya Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membolehkan adanya pejatuhan pidana penjara terhadap anak yang berumur 12-18 tahun, kemudian masyarakat menganggap keadilan tidak ditegakkan apabila anak yang melakukan kejahatan tidak dipidana, dan masyarakat menganggap bahwa siapapun yang melakukan suatu tindak pidana maka wajib dikenai sanksi berupa pidana penjara agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya, hakim masih sering menganggap anak sebagai penjahat yang harus dibalas agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya.

Jadi melihat hal tersebut di atas, bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil ultimum remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor – faktor lain salah satunya adalah karena Hukum Pidana memiliki UU yang mengatur setiap tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi Hukum Pidana tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel