-->

Ruang Lingkup Pembaruan Hukum Pidana

SUDUT HUKUM | Mengkaji hal-hal tersebut diatas maka untuk merespon amanat pembukaan UUD1945 maka pembaruan sebagai produk perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia menjadi agenda yang patut diprioritaskan. Dengan demikian dari amanat tersebut juga tersimpul keharusan untuk melakukan pembaruan di bidang hukum. 

Usaha pembaruan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, namun mengingat permasalahan hukum menyentuh aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas sehingga setiap saat berubah, maka pembaruan tidak dapat dilakukan dalam sekejap.

Sebagaimana pengertian pembaruan hukum pidana yang telah dikemukakan pada sub-1 di atas, dalam hal ini, ruang lingkup pembaruan hukum pidana meliputi:

  1. Pembaruan substansi hukum pidana;
  2. Pembaruan struktur hukum pidana; dan
  3. Pembaruan budaya hukum pidana.

Pembaruan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum adalah melakukan pembaruan pada aspek pembaruan substansi hukum pidana, dimana pembaruan substansi hukum pidana, Barda Nawawi Arief berpendapat:

Baca Juga

  • Suatu reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-folosifik, sosio-politik, sosio-kultural masyarakat. Pembaruan hukum pidana pada dasarnya adalah:

  1. Pembaruan konsep nilai
  2. Pembaruan ide-ide dasar
  3. Pembaruan pokok-pokok pemikiran
  4. Pembaruan paradigma/wawasan

  • Sebagai bagian dari “Sosial Policy”, pemnaharuan hukum pidana hakekatnya merupakan bagian dari upaya mengatasi masalah sosial untuk mencapai kesejahteraan/perlindungan masyarakat.
  • Sebagai dari “Criminal Policy”, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya penaggulangan kejahatan.
  • Sebagai bagian dari “Law Enforcement Policy” pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya menunjang kelancaran/efektivitas penegakkan hukum.
  • Pembaruan substansi hukum pidana meliputi:

  1. pembaruan hukum pidana materiel,
  2. pembaruan hukum pidana formal,
  3. pembaruan hukum pelaksanaan pidana.

Pembaruan hukum pidana terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik, maka ruang lingkup pembaruan hukum pidana bertolak dari pembaruan substansi yang meliputi pembaruan hukum pidana materiel. Pembaruan hukum pidana/ KUHP Nasional juga merupakan bagian dari pembaruan hukum pidana substansi, patut dikemukakan bahwa dalam rangka pembaruan hukum pidana nilai-nilai tersebut telah diakomodasikan oleh penyusun RUU KUHP. 

Hal ini dapat dilihat dari beberapa prinsip yang terkandung dalam penyusunan rancangan KUHP Nasional yang antara lain menyebutkan:
  • bahwa hukum pidana dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (basic sosial value) prilaku hidup masyarakat, dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah dan idiologi negara Pancasila;
  • bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial (sicial control) tidak mau atau belum dapat diharapkan keefektifitasannya; dan bahwa dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pambatasan (a) dan (b) di atas, harus diusahakan dengan sungguhsungguh bahwa cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu tanpa mengurangi perlindungan yang perlu diberikan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratik yang modern.

Pernyataan di atas, maka tendensi untuk tetap mempertahankan unsur-unsur asli dalam pembaruan hukum di Indonesia patut dikedepankan, apalagi terhadap hukum pidana. Mengingat hukum pidana dengan segala aspeknya (aspek-aspek sifat melawan hukum, kesalahan, dan pidana) mempunyai sifat dan fungsi yang istimewa, serta mempunyai fungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian dari politik kirminal) dan yang sekunder, ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara sepontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Fungsi yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police, yakni melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar.

Upaya untuk melakukan reorientasi terhadap persiapan melakukan tindak pidana sebagai delik, maka kode etik penggunaan hukum pidana tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan tentang persiapan melakuan tindak pidana sebagai delik agar lebih berorientasi baik pada perlindungan individu maupun masyarakat. Dengan demikian akan tercipta hukum pidana yang lebih fungsional yang tetap berakar pada nilai-nilai sosial masyarakat. 

Sebagaimana Barda Nawawi Arief menyatakan:
Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik san sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.

Penjelasan di atas, bahwa secara konstitusional pembaruan hukum nasional termasuk hukum pidana harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Keharusan konstitusioal tersebut patut untuk dikedepankan agar hukum yang akan terbentuk benar-benar merupakan penjelmaan dari nilai-nilai yang hidup alam masyarakat. Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value- oriented approach”).

Bertolak dari uraian tersebut di atas, perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal yang digunakan untuk mencegah kejahatan sedini mungkin, sehingga perbuatan dapat dilihat dari dua sudut pendekatan yaitu sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai, sehubungan dengan masalah ini, Barda Nawawi Arief menyatakan pendapat sebagai berikut:
  • Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:

  1. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum
  2. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan)
  3. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/ menunjang tujuan nasional (yaitu : “Social defence” dan “Social Welfare”).

  • Dilihat dari sudut pendekatan nilai:

Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (“reorientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai sosio politik, sosiofilosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicitacitakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS), hal ini dipandang bahwa hukum (hukum pidana) merupakan perwujudan suatu unsur sosial masyarakat yang mempengaruhi ada tidaknya penjaTuhan sanksi (dipidananya) terhadap persiapan melakukan tindak pidana tersebut, sehingga perlu adanya pembaruan kebijakan kriminal sejalan beriringan waktu yang didasarkan pada nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik, sosio kultural dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.Bertolak dari sudut pendekatan kebijakan dan sudut pendekatan nilai, pengkajian menitikberatkan pada hukum pidana materiil (KUHP), mengingat bagian hukum pidana ini yang mampu merumuskan atau memformulasikan perbuatanperbuatan apa yang dijadikan tindak pidana, bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya, serta bagaimana mengenai pidana dan pemidanaannya.

Bertolak dari hal tersebut maka tahap formulasi menempati posisi strategis jika dibandingkan tahap aplikasi maupun tahap pelaksanaan hukum pidana yang merupakan kelanjutan dari operasionalisasi atau penegakkan hukum pidana. Mengenai posisi strategis dari tahap formulasi ini juga dikemukakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief : Tahap penetapan pidana hemat kami justru harus merupakan tahap perencanaan yang matang mengenai kebijakan-kebijakan tindakan apa yang seharusnya diambil dalam hal pemidanaan apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, dengan perkataan lain tahap ini harus merupakan tahap perencanaan strategis dibidang pemidanaan yang diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap penerapan pidana dan tahap pelaksanaan pidana. 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sekarang masih tetap menggunakan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mulai diterapkan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918 dan merupakan produk hukum pemerintahan jaman kolonial Hindia Belanda, dengan berbagai perubahan dan penambahannya.

KUHP yang berasal dari Belanda tentu memiliki jiwa, pola pikir dan normanorma yang berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Sudarto, bahwa WvS kita ini tidak mungkin mencerminkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia secara penuh, karena tidak dibuat oleh kita sendiri. Secara politis, sosiologis, maupun praktis KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang perlu segera diganti dengan KUHP yang berasal dan bersumber dari nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Beberapa karakteristik hukum pidana yang mencerminkan proyeksi hukum pidana masa datang secara ringkas di dinyatakan oleh Muladi sebagai berikut:
  1. Hukum pidana nasional mendatang, dibentuk tidak hanya sekadar alasan sosiologis, politis dan praktis semata-mata, melainkan secara sadar harus disusun dalam kerangka Idiologi Nasional Pancasila. Hal ini akan memberi kesadaran bahwa sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya tidak hanya merupakan suatu sistem yang bersifat phisik semata-mata melainkan juga merupakan sistem abstrak yang merupakan jalinan nilai-nilai yang konsisten dalam rangka pencapaian tujuan tertentu. 
  2. Hukum pidana pada masa yang akan datang tidak boleh mengabaikan aspekaspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.
  3. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh didalam pergaulan masyarakat beradab, dalam arti beradaptasi yang kadang-kadang berupa pengambilan hikmah dari perkembangan tersebut.
  4. Sistem peradilan pidana, politik kriminal, politik penegakan hukum merupakan bagian dari politik sosial. Dengan demikian hukum pidana mendatang harus memikirkan pula aspek-aspek yang bersifat preventif.
  5. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektifitas fungsinya di dalam masyarakat.

Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah merdeka juga berupaya segera mengadakan pembaruan KUHP (WvS) yang disesuaikan dengan politik hukum, keadaan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia serta diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan jika dibandingkan dengan undang-undang warisan kolonial.

Bertolak dari hal tersebut maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana dapat mencakup kebijakan di bidang pidana formil, materiel serta pelaksanaan pidana itu sendiri. Ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sangat luas karena tidak hanya menyangkut hukum pidana dalam arti materiel (pidana dan pemidanaan) tetapi juga mengatur tentang bekerjanya hukum pidana melalui lembaga sub-sistem peradilan yang ada serta bagaimana pelaksanaan eksekusinya.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel