Dasar Hukum Threshold
Thursday, 19 April 2018
SUDUT HUKUM | Dalam Pemilu di Indonesia, kata Threshold dijumpai dalam tiga kasus pengaturan sistem Pemilu. Ambang batas (Threshold) yang pertama kali diterapkan di Indonesia adalah saat menjelang Pemilu 2004, yakni Electoral Treshold yang ditetapkan pada tahun 1999. Ambang batas ini dimaknai sebagai syarat perolehan suara maupun kursi bagi partai untuk bisa ikut kembali di Pemilu mendatang.
Hal ini tertuang dalam UU Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum. Pasal 39 UU No. 3 Tahun 1999 menyatakan:
Untuk dapat mengikuti Pemilihan Umum berikutnya, Partai Politik harus memiliki sebanyak 2% (dua per seratus) dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya 3% (tiga per seratus) jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah propinsi dan di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya seluruh Indonesia berdasarkan hasil Pemilihan Umum”.
Ketentun ini dicantumkan kembali pada Pasal 143 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003. Inilah yang disebut Electoral Threshold, yaitu batas minimal perolehan kursi partai agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya.
Dalam Pasal 5 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan bahwa:
Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR".
Dengan demikian, Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2013 ini mengatur tentang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memiliki sedikitnya 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara Pemilu DPR. Ketentuan ini dinaikkan menjadi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara Pemilu DPR oleh Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatakan:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden."
Aturan tentang Pemilu ini kemudian diatur kembali dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Inilah yang disebut Presidential Threshold, yaitu batas minimal perolehan kursi atau suara partai atau koalisi partai agar bisa mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5 persen suara dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR dan tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota nasional.
Saat Pemilihan Umum 2014, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, ambang batas parlemen yang awalnya 2,5 persen ditetapkan menjadi sebesar 3,5 persen dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD. Namun UU tersebut digugat oleh 14 partai politik ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada akhirnya MK menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD.
Inilah yang dimaksud Parliamentary Treshold, yakni ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam Pemilihan Umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Threshold pertama kali diformalkan (ditegaskan presentasenya) dalam aturan yang berlaku adalah pada tahun 1999, yang kemudian menjadi salah satu dasar hukum pelaksanaan Pemilu tahun 2004. Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Threshold (ambang batas) antara Electoral, Parliamentary dan Presidential memiliki pengertian yang berbeda-beda. Electoral dan presidential adalah syarat bagi partai peserta Pemilu untuk dapat mengikuti Pemilu, sedangkan Parliamentary adalah syarat untuk mendapatkan kursi di parlemen.