-->

Kebijakan-kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Setelah pengangkatan sebagai Khalifah pasca terbunuhnya Utsman, Ali bin Abi Thalib berusaha keras memulihkan keamanan yang tidak kondusif. Di atas telah dijelaskan bahwa pengangkatan Ali berada dalam kondisi yang amat sulit. Stabilitas yang tidak terjamin menyebabkan Ali mengalami berbagai kesulitan yang tidak sedikit. Beratnya tugas pemerintahan, Ali harus mengambil berbagai kebijakan, walaupun kadang - kadang kebijakan itu tidak populer, atau bertentangan dengan kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat.

Di antara langkah-langkah yang dilakukan Ali bin Abi Thalib:
Pertama, memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat pendahulunya Utsman bin Affan, kemudian menggantinya dengan tokoh-tokoh lain. Pemberhentian itu kelihatan bertujuan untuk mengamankan kekhalifahannya. 

Di antara gubernur yang diberhentikan adalah Ya’la bin Umayyah dan mengangkat sepupunya Ubaidillah bin Abbas untuk Yaman. Dalam pemberhentian dan pengangkatan ini Ali tidak mendapat kesulitan karena ketika Ubaidillah tiba di Yaman Ya’la sudah meninggalkan Yaman dan pergi ke Mekah serta membawa hartanya”. Banyak orang yang meninggalkan negerinya dan pergi ke Mekah untuk mendapatkan keamanan sebab orang yang berada di negeri Mekah tidak boleh diganggu.

Kemudian Ali memberhentikan Abdullah bin Amir al-Hadrami, gubernur Basrah dan menggantinya dengan Utsman bin Hunaif. Dalam hal ini Ali tidak mendapat kesulitan karena ketika Utsman bin Hunaif tiba di Basrah Abudllah sudah meninggalkan kota itu menuju Mekah serta membawa sebagian harta.

Berbeda dengan di atas Khalifah Ali mendapat kesulitan dalam memberhentikan Abu Musa al-Asy’ari, Gubernur Kufah dan menggantinya dengan Umarah bin Syihab. Ketika mendekati kota itu penduduk kota itu dipimpin oleh Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi yang tidak mengharapkan kedatangan Umarah bin Syihab dan memintanya untuk kembali ke Madinah. Penduduk Kufah kelihatannya lebih mempertahankan Abu Musa al-Asy’ari.

Setelah Umarah kembali ke Madinah Abu Musa berkirim surat kepada Khalifah Ali yang isinya menyatakan sang Gubernur bersama rakyatnya membaiat Ali sebagai khalifah yang baru. Dengan demikian kebijakan Ali mengganti Gubernur Kufah tidak berhasil, tetapi karena Abu Musa al-Asy’ari, gubernur Kufah bersama rakyatnya sudah membaiat Ali maka hal itu tidak terlalu bermasalah.

Berbeda dengan pemberhentian dan pengangkatan gubernur sebelumnya Ali mendapat kesulitan besar dalam pemberhentian Gubernur Syam. Untuk daerah ini Ali menunjuk Sahl bin Hunaif salah seorang politikus ulung menggantikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sesampainya di Tabuk, pos perbatasan Siria Sahl ditahan oleh pasukan Mu’awiyah dan disuruh kembali.

Dengan kembalinya Sahl rakyat Syiria merasa gelisah karena ini menurut pandangan masyarakat adalah ulah Mu’awiyah yang suka berperang. Mereka ingin tahu apa yang akan terjadi sebab ini merupakan pembangkangan dari pihak Mu’awiyah dan Ali harus menghadapinya dengan tangan besi atau akan berusaha mencari kompromi.

Dalam menghadapi Mu’awiyah Ali tidak mau tergesa-gesa, tetapi itu dilakukan dengan penuh hati-hati agar jangan terjadi perpecahan di kalagan umat Islam. Oleh sebab itu Ali mengutus seseorang kepada Mu’awiyah yang menyuruh membai’atnya dan datang ke Madinah sepengetahuan penduduk Syam agar terjadi kompromi politik yang baik. Surat itu tidak langsung dibalas dengan dalih menurut Mu’awiyah tidak ada suara bulat di kalangan tokoh terkemuka untuk ikut membai’atnya, walaupun mayoritas umat Islam sudah membai’atnya. Alasan lain yang dikemukakan Mu’awiyah akan membai’at setelah Ali terlebih dahulu berhasil menangkap dan menghukum pembunuh Utsman.

Tiga bulan kemudian Mu’awiyah mengirim surat kepada Ali yang dibawa seseorang dari Bani Abas. Surat dibuat dalam bentuk gulungan bersegel dengan format “Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Ali Bin Abi Thalib” tanpa menyebut kata “Amir al-Mukminin” dengan perintah bila sudah memasuki kota Madinah gulungan itu diangkat supaya alamatnya dapat dibaca sehingga orang tahu bahwa Mu’awiyah menantang Amir al-Mukminin. Setelah itu surat tersebut langsung dibawa kepada Ali sehingga masyarakat tahu bahwa isinya adalah jawaban Mu’awiyah terhadap Ali dan ingin mengetahui lebih jauh apa maksud Mu’awiyah dengan perlakuan seperti ini. Setelah surat dibuka ternyata tulisan yang ada dalam surat itu adalah bismillahir rahmanir rahim. Melihat isi surat yang ganjil dan dinilai suatu penghinaan dan mempertanyakan apa maksudnya.

Ini dipahami bahwa tuntutan itu ternyata mengada-ada sementara tujuan yang sesungguhnya adalah ingin mengambil kepemimpinan dari Ali.

Buktinya setelah Ali wafat Mu’awiyah mengadakan kesepakatan dengan Hasan, anak sulung Ali sampai ia sendiri yang memegang kekuasaan. Setelah kekuasaan berada di tangan Mu’awiyah persoalan pembunuhan Utsman hilang sama sekali dan tidak pernah disinggung-singgung lagi.

Kebijakan Ali dalam bidang fiqih siyasah antara lain yaitu dalam:

  1. urusan korespondensi 
  2. urusan pajak 
  3. urusan angkatan bersenjata 
  4. urusan administrasi peradilan. 

Demikian juga strategi pada Perang Shiffin. Ia memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari medan perang.

Kemudian kebijakan Ali yang lain dalam pemerintahan adalah menarik tanah-tanah yang dulu oleh Utsman dihadiahkan kepada para pendukungnya dan hasil tanah itu diserahkan kepada kas negara.

Kebijakan ini didasarkan atas kepribadian Ali, antara lain akidah yang lurus, jujur, berani, menjaga kehormatan diri, zuhud, senang berkorban, rendah hati, sabar, bercita-cita tinggi, adil dan lain-lain. Sifat itu dipetik dari pengalaman hidup bersama Rasulullah saw selama di Mekah dan Madinah. Ketika Ali menjabat sebagai khalifah peran itu yang ingin ditegakkannya dalam memimpin dunia Islam.

Setelah melihat adanya tanah dan harta rampasan dan lain-lain yang seharusnya tersimpan dalam baitul mal ternyata berada di tangan para sahabat Utsman dan keluarganya, maka wajar ia mengembalikannya ke kas negara. Orang-orang yang merasa memiliki tanah dan harta yang diperoleh semasa Utsman merasa takun apa yang sudah mereka miliki akan diambil lagi dan mereka tidak akan dapat menikmati lagi.

Dengan ini Ali akan berpihak kepada orang-orang miskin. Ini juga menghalangi orang Syam enggan untuk membai’atnya sebagai khalifah. Kebijakan seperti ini ternyata menjadi penghalang dan kesulitan tersendiri bagi Ali bin Abi Thalib dalam menjalan pemerintahan sehingga hampir sepanjang pemerintahan Ali dapat dikatakan tidak pernah lepas dari konflik.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel