Rukun Dan Syarat Terjadinya Zhihar
Tuesday, 3 July 2018
Jumhur ulama telah merumuskan rukun dan syarat zhihar, yang mereka pahami dari ayat-ayat al-quran maupun hadits-hadits nabi SAW. Menurut Mazhab Syafi’i rukun zhihar antara lain:
- Adanya suami yaitu orang yang menzhihar, yaitu orang yang sah talaknya, baik muslim atau kafir, merdeka maupun hamba sahaya
- Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa yang dizhihar itu adalah istri yang sah dan istri itu berstatus sebagai istri secara hukum
- Orang yang diserupakan itu adalah ibu atau wanita-wanita yang haram dikawani untuk selamanya karena hubungan nasab (keturunan) susuan, atau hubungan yang semenda, jika suami mengatakan “punggung engkau seperti punggung ayahku hal ini dikatagorikan kedalam zhihar
- Lafal (ungkapan/penyata) zhihar. Lafal ini harus jelas maksudnya, lafal ini tidak menunjuki pujian dan penghormatan, sedangkan lafal sindiran adalah lafal yang mengandung kemungkinan penghormatan suami, maka menurut syaf’i lafal sindiran adalah tergantung kepada niat suami.
Apabila seorang suami berkata kepada istrinya “Bagi saya kamu sama seperti punggung ibuku selama satu bulan atau satu hari”, maka menurut syafi’i jika waktu yang disebut dalam ungkapan zhihar telah habis, maka hukum zhihar pun habis maka halal kembali untuk digauli, tanpa harus membayar kafarat, tetapi jika istri tersebut digauli suaminya dalam masa zhihar wajib suami membayar kafarat,
Dari rumusan definisi disebutkan di atas ditemukan empat kata kunci yang sekaligus merupakan unsur-unsur pokok dalam suatu perbuatan hukum yang bernama zhihar. Untuk dapatnya unsur tersebut ditempatkan sebagai rukunyang harus dipenuhi, untuk sahnya suatu perbuatan ditetapkan beberapa syarat yang kesemuanya diramu oleh ulama dari hasil pemahamannya terhadap dalil hukum yang berkenaan dengan zhihar.
Untuk mentsabitkan rukun ini. Beberapa syarat berikut mesti dipahami:
Syarat yang disepakati oleh jumhur ulama:
- Anggota-anggota yang haram dilihat oleh sesama mahram. Contoh punggung, perut, kemaluan disekitarnya dan yang seumpama denganya. Penyamaan dengan tangan, kepala, kaki, rambut, dan lain-lain. Demikian pandangan kebanyakan ulama,’ ulama’ hmbali dan maliki mensabitkan eluruh anggota sama ada haram dilihat maupun tidak, semuanya boleh mensabitkan zhihar. Pandangan yang rajih adalah pandangan jumhur.
- Mestilah anggota-anggota ini daripada wanita yang diharamkan berkawin dengan si lelaki sama ada tahrim secara berkekalan (muabbad) atau katurunan (nasab) atau susuan dan musoharah. Seperti ibu, anak, adik, beradik, dan lain-lain yang berkaitan. Selain pndangan mazhab utama, ia juga pandangan hasan al-Basri, Ato’ Abi Rabah, As-Sya’bi, An-Nakha, Al-Azwa’i, at-Thawry, Ishak Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Thaur, pandangan imam Syafi’i dalam ‘qwal qadim’tidak jatuh zhiharterhadap semua wanita kecuali ibu dan nenek sahaya karena ayat berkenaan zhihar itu ditujukan khas untuk ibu. Tetapi Qaul jadid imam syafi’i ijtihadnya dengan mengatakan jatuh zhihar karena wanita yang diharamkan tadi menyerupai pengharaman ibu. Manakala yang tidak muabbad seperti wanita asing, adik beradik perempuan bagi istri dan lain-lain. Tidaklah penyerupaan dengan merekan dianggap zhihar.
Ulama maliki menambah bahwa binatang juga termasuk kategori yang tidak boleh disamakan. Karena asalnya manusia tidak boleh berhubungan jenis dengan binatang. Maliki juga mensabitkan zhihar kiranya menyamakan rambut istri dengan rambut ibu dan lain-lain. Manakala jumhur tidak berpandangan sekian.
Syarat yang diperselisihkan:
- Mestilah diserupakan dengan anggota wanita
- Kiranya ditasybiskan dengan lelaki seperti “Belakang atau punggung kamu seperti belakang atau punggung bapaku”. Ulama hanafi dan syafi’i mengatakan tidak jatuh zhihar.
- Bagaimanapun ulama’ hambali dan maliki mengatakan jatuh zhihar dengan syarat menyamakan dengan sebatang anggota yang tidak halal dilihat seperti perut, paha, kemaluan, punggung, dan lain-lain yang searti, kiranya menyamakan dengan kepala bapak, rambut, hidung dan lain-lain, tidaklah dianggap zhihar, semua mazhab mempunyai dalil masing-masing.
Ulama syafi’iyyah mengatakan kiranya tasybih itu bukan pada bahagian haram dilihat tadi, ia tergantung pada niat, kiranya ia berniat memulaikan, bangga maka tidaklah jatuh zhihar, jika sebaliknya maka jatuh zhihar.
Rukun keempat: Sighah (Lafaz Zhihar), syarat lafaz untuk sabit zhihar adalah:
- Perlu kepada niat, kiranya ia dibuat secara kinayah (tidak jelas). Sighah Sorihah (terang, jelas) seperti: “punggung dinda benar-benar seperti punggung bunda kanda”. Lafaz di atas tidak perlu kepada niat, bahka jatuh zhihar apabila didengari.
- Tidak disyaratkan untuk sabit zhihar, mesti menggunakan lafaz yang memberi pengertian semasa. Zhihar jatuh dengan lafaz yang membawa pengertian semasa seperti “punggung dinda benar-benar seperti punggung bunda kanda”. Juga jatuh kiranya diikat dengan waktu tertentu seperti “kiranya dinda masuk kerumah itu maka perut dinda seperti perut bundaku”. Jatuh zhihar juga kiranya disandarkan kezaman akan datang seperti: “punggung dinda seperti punggung bundaku sehingga awal tahun depan” atau “perut dinda seperti perut bunda kanda dalam masa sebulan”. Semua lafaz tadi cukup untuk menjatuhkan hukum zhihar.
- Mestilah lafaz tadi diasdarkan kepada anggota tubuh wanita samada secara juzu’ atau sepenuhnya.