-->

Ta’abbudi dan Ta’aqquli

Sebagian besar kandungan nash al-Qur`an dianggap bersifat zhanni karena menurut kenyataannya banyak terjadi perbedaan ulama dalam memahami kandungan ayat-ayat tersebut. Hanya sebagian kecil saja dari ayat-ayat al-Qur`an yang kandungannya berkualitas qath’i. Lahirnya anggapan tersebut kemungkinannya disebabkan oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang dapat diinterpretasi oleh akal manusia. Pembahasan tentang ta’abbudi dan ta’aqquli ini berguna untuk mengetahui batasa-batasan ijtihad, sehingga tidak ada ijtihad yang melanggar tujuan-tujuan Allah dalam menurunkan syariat ini.

Ta’abbudi dan Ta’aqquli

Ta’abbudi didefinisikan oleh al-Syathibi dengan sesuatu yang maknanya tidak memerlukan  enjelasan akal secara khusus (al-Syathibi:318), atau sesuatu hukum atau illat yang sudah ditetapkan batasan-batasannya oleh syariat tanpa harus menambah atau mengurangi maknanya (al-Syathibi:314).

Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui bahwa dalam hal-hal yang tidak ada batasan yang jelas dari al-Syari’, maka akal manusia dapat dipergunakan dalam menjelaskan makna yang dimaksud. Dalam hal ini ia termasuk ke dalam masalah ta’aqquli, atau biasa disebut dengan ma’qul al-makna. Artinya nash-nash yang dapat diketahui illat hukum dan hikmahnya melalui pertimbangan akal (al-Syathibi:314).

Masalah-masalah ta’abbudi ini biasanya terdapat pada persoalan-persoalan ibadah, sedangkan yang bersifat ta’aqquli pada umumnya terdapat pada permasalahan muamalah. Oleh karena itu persoalan ibadah yang dibebankan kepada manusia tidak harus dipikirkan terlebih dahulu untuk melaksanakan-nya atau tidak menjadi lapangan pemikiran.

Menurut al-Syathibi, setidaknya terdapat tiga macam ketentuan yang bersifat ta’abbudi ini (al-Syathibi:314). Pertama adalah ta’abbudi yang diketahui melalui proses penelitian (iatiqra`) terhadap al-Qur`an dan Sunnah. Makna ta’abbudi ini adalah dalam rangka pelaksanaan perintah Allah dengan niat menundukkan diri dan patuh kepada Allah serta mengagungkan-Nya. Misalnya tentang kewajiban berwudhuk setelah berhadas. Secara logis, anggota badan yang dibasuh tentunya adalah tempat keluarnya najis saja, tetapi ketentuan agama justru memerintahkan untuk membasuh anggota badan yang lainnya. Dalam konteks ini tentu saja hanya Allah yang tahu kenapa harus demikian. Contoh lain misalanya tentang tidak ada qadha shalat bagi wanita haid dan nifas, serta bacaan-bacaan yang dianjurkan ketika rukuk dan sujud yang sebagian pendapat mengetakan berbeda satu sama lain.

Kedua, ta’abbudi yang telah ditetapkan oleh Allah pada praktek sebagian masalah syariat, tidak pada semua praktek syariat. Kewajiban tersebut ditetapkan berdasarkan nash dan ijmak ulama. Misalnya kebolehan shalat qashar dan jamak karena adanya kesulitan (masyaqqah) dan seperti ketetapan tidak diterimanya shalat seseorang yang berhadas.

Ketiga, bentuk-bentuk ibadah pada masa fase fitrah (sebelum datangnya Rasul membawa wahyu) adalah belum jelas. Menurut al-Syathibi, pada masa ini belum ada ibadah, kalaupun ada yang melakukannya ia berada dalam kesesatan. Akal tidak mampu dengan sendirinya mengetahui makna syariat tanpa adanya wahyu (al-Syathibi:303). Oleh karena itu manusia yang hidup pada zaman fitrah ini bebas dari tuntutan hukum (QS al-Isra`: 15).

Sebagaimana dipahami sebelumnya, bahwa persoalan ta’abbudi merupakan sesuatu yang harus diterima apa adanya tanpa harus memikirkan banyak hal di sana. Namun dalam persoalan ta’aqquli tentu sebaliknya, yaitu memikirkan lebih dalam dalam rangka mencari makna yang tersirat dari bentuk-bentuk perintah dan larangan yang tersurat. Setidaknya ada ada tiga kategori ta’aqquli ini.

Pertama, makna yang ma’qul dari suatu ayat atau hadis dapat diketahui dengan metode istiqra` (deduktif), yaitu dengan menyimpulkan bahwa syariat tidak akan bertentangan dengan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu sesuatu yang dilarang harus dipastikan adanya unsur yang berbahaya di dalamnya, dan kebolehan mengerjakan sesuatu menunjukkan adanya manfaat yang didapatkan. Banyak ayat-ayat al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi SAW bahwa dalam persoalan hubungan sesama manusia, syariat Islam selalu mempertimbangkan tercapainya kemaslahatan dan dapat dimengerti oleh manusia.

Kedua, dalam masalah muamalah, al-Syari’ telah mendasari ketentuan hukumnya dengan illat dan hikmah. Illat dapat diterima oleh akal sehingga dapat dimengerti dan memungkinkan kita untuk tidak hanya berhenti pada teks, tetapi terbuka peluang untuk mengembangkannya kepada kasus lain sesuai illat yang ditemukan tersebut [pembahasan yang agak rinci tentang illat ini dapat dibaca pada bagian terakhir buku ini].

Ketiga, pada fase fitrah urusan muamalah sudah dilakukan oleh manusia menurut pemikiran mereka sendiri, dan tidak semua yang mereka lakukan salah. Contohnya dalam hal membayar diyat, bersumpah dan berkumpul di hari Jumat. Begitu juga dengan mahar, wali nikah, perceraian, perdagangan, kerjasama, dan sebagainya. Sebagian besar aktifitas-aktifitas di atas disetujui oleh syariat dan diperbaiki pada sisi-sisi yang bertentangan dengan ajaran luhur yang dibawa oleh syariat Islam.

Dengan demikian, untuk hal-hal yang bersifat ta’aqquli ini, mujtahid mempuyai peran besar untuk memahami makna-makna yang begitu banyak dari sebuah teks. Pada akhirnya, penggalian makna tersebut akan berguna untuk menjawab tantangan-tantangan hukum Islam yang dihadapi setelah wafatnya Nabi SAW sampai hari ini.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel