Tiga Nilai Dasar Hukum
Wednesday, 18 July 2018
Gustav Radbruch adalah seorang filsuf hukum dan seorang legal scholar dari Jerman yang mengemukakan bahwa idelanya hukum memiliki tiga nilai dasar. Ketiga nilai dasar hukum tersebut adalah :[1]
Keadilan.
Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paing utama dibandingkan dengan kegunaan dan kepastian hukum. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch nilai kepastian hukum menempati peringkat paling atas diantara nilai dasar hukum yang lain. Namun setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman dibawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-peraktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun meralat teorinya tersebut dengan menempatkan nilai keadilan sebagai posisi pertama diatas nilai dasar hukum yang lain.[2]
Menurut plato keadilan adalah kemampuan memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing. Dapat dikatakan keadilan merupakan nilai kebajikan yang tinggi (Justice is the suprime virtue which harmonization all other virtues). Selain itu Plato menyatakan keadilan merupakan nilai kebajikan untuk semua yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara moral, bukan hanya diukur dari tindakan dan motif manusia.
Sementara Aristoteles menyatakan bahwa keadilan menuntut supata tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri (ius suum cuique tribuere).[3] Akan tetapi kenyataannya kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan selalu bertentangan. Selanjutnya Aristoteles mengajarkan adanya dua macam keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan commutatief.[4] Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menuntut jasanya. Keadilan distributif tidak menuntut supaya tiap-tipa orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Sedangkan keadilan commutatief adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.
Kemudian Aquinas membangaun teori keadilan dengan bertoklak pada asumsi bahwa tiap orang memiliki integritas. Integritas diwujudkan melalui aktualitsasi kesetaran (equality) hak yang dimiliki. Menurut Aquinas keadilan adalah kebajikan utama (first virtue), seperti yang diungkapkan sebagai berikut justice is properly included among the other virtues is that others man in his relationship with other. It is concerned with a certain equality, as it name indicates. Equality moreover is concerned with other, whereas the other virtues perfec a man solely in those things to himself.[5]
Dilanjutkan oleh Rawls, memberikan pandangannya yaikni untuk menvcapai suatau keadilan, disayaratkan sekaligus adanya unsur keadilan yang substantif (justice) yang mengacu pada hasil dan unsur keadilan procedural (fairness). Atas dasar demikian munculah istilah istilah yang digunakan oleh Rawls yakni Justice as Fairness, meskipun dalam istilah justice of fairness tersebut unsur fairness mendapat prioritas tertentu dari segi metodologinya. Apabila unsur fairness sudah tercapai, maka keadilan sudah terjadi. Dengan demikian unsur fairness atau keadilan procedural sangat erat hubungannya dengan keadilan substantif (justice).
Kemanfaatan Hukum.
Menurut Radbruch bahwa hukum adalah segala yang berguna bagirakyat. Sebagai bagian dari cinta hukum (idee des recht), keadilan dan kepastian hukum membutuhkan pelengkap yakni kemanfaatan.[6]
Kemanfaatan berkembang pada penganut aliran Utillistis seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Mereka berpandapat bahwa pada intinya hukum harus bermanfaat untuk membahagiakan kehidupan manusia. Hukum yang baik menurut aliran ini adalah hukum yang dapat mendatangkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Bentham menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaannya. Kebahagiaan tersebut diartikan sebagai kebebasan untuk mengemukakan diri dalam membela hak-hak asasi manusia itu sendiri.[7]
Sementara John Stuart Mill mengartikan lebih jauh hubungan antara unsur kemanfaatan dan unsur keadilan. Mill berpendapat bahwa standar keadilan harus didasarkan pada unsur kemanfaatan, tetapi sumber kesadaran keadilan itu bukan terletak pada keadilan, melainkan pada 2 hal yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simnpati. Sumber keadilan terletak pada naluri manusia untuk menolak atau membalas kerusakan yang dideritanya, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari orang lain.[8] Secara garis besar pendapat Mill lebuh bersifat menyempurnakan gagasan darai Bantham. Mill mengaitkan kebahagiaan perorangan dengan keharusan untuk menciptakan kebahagiaan manusia seharusnya.
Menurut Sudikno Mertokusumo masyarakat mengaharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat.[9]
Pendapat Mertokusumo tersebut dapat dimaknai bahwa dalam menegakkan hukum ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian sevara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiganya.
Menurut Nurhasan Ismail kemanfaatan itu diartikan sebagai optimalisasi tujuan sosial dari hukum. Bahwa setiap ketentuan hukum disamping dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan sebagai tujuan akhir, tetapi juga memepunnyai tujuan sosial tertentu yaitu kepentingan-kepentingan yang diinginkan untuk diwujudkan melalui hukum baik yang berasal dari orang perseorangan maupun masyarakat dari negara.[10]
Kepastian Hukum
Van Apeldoorn berpendapat kepastian hukum yaitu adanya kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga masyarakat termasuk konsekwensi-konsekwensi hukumnya. Kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapt ditentukan dari hukum, dalam hal-hal yang kongkret.[11]
Pada dasarnya kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Kepastian hukum intinya adalah hukum itu ditaati dan dilaksanakan.
Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menuntut hukum dapat diperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.[12]
Dari pernyataan tersebut kepastian hukum dapat dimaknai yakni pertama adanya kejelasan hukum itu sendiri. Kedua, hukum itu tidak menimbulkan keraguan atau multi tafsir. Ketiga, hukum itu tidak menimbulkan atau mengakibatkan kontardiktif, Yang keempat, hukum itu dapat dilaksanakan.
Sekalipun ketiga-tiganya ini merupakan nilai dasar dari hukum, namun antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis atau suatu ketegangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan yang demikia ini bisa dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan dan yang yang satu sama lain mengandung potensi untuk bertentangan. Apabial kita ambil contoh kepastian hukum, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan kesamping. Karena yang utama bagi kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum.[13]
Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian kita mengenai keabsahan hukum pun bisa bermacam-macam. Masalah ini biasanya dibicarakan dalam hubungan dengan berlakunya hukum, suatu singkatan dari “dasar-dasar berlakunya hukum”. Perbedaan dalam penilaian kita mengenai keabsahan dari hukum itu menagndung arti, bahwa dalam menilainya kita perlu membuat suatu perbandingan. Hal ini misalnya berarti, bahwa penilaian keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan suatu segi, bukan satu-satunya penilaian. Lebih dari itu, sesuai dengan potensi ketiga nilai dasar yang saling bertentangan, apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan, bisa dinilai tidak sah dari segi kegunanannya bagi masyarakat.[14] Bagi Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa berubah-ubah. Satu waktu bisa menonjolkan keadilan dan mendesak kegunaan dan kepastian hukum ke wilayah tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan.
Hubungan yang sifatnya relatif dan berubah-ubah ini tidak memuaskan. Meuwissen memilih kebebasan sebagai landasan dan cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan kesewenangan, karena kebebasan tidak berkaitan dengan apa yang kita inginkan. Tetapi berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita ingini. Dengan kebebasan kita dapat menghubungkan kepastian, keadilan, persamaan dan sebagainya ketimbang mengikuti Radbruch.[15]
RUJUKAN
[1] Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Cetakan Ke-enam, Hal. 19
[2] Carl Joachim, Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 23.
[3] Apeldoorn ,Van, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ke-dua puluh empat, Jakarta: Pradnya Paramita,1990 hal 13
[4] Ibid, hal 14
[5] Aquinas, Thomas, Justice Eyre and Spottiswoode, London England: Sunma Theologia,, 1975, hal 37.
[6] Gustav Radbruch, Einfuehrung In Die rechtswissenschaft, Stuttgart: Koehler Verlag, 1961, Hal 36.
[7] Pound, Roscoe, An Introduce to The Philosophy Of Law, Yale University Press, 1978, hal 5.
[8] Sajipto rahardjo, Op.cit, 2006, hal. 16.
[9] Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007, hal. 47
[10] Ismail, Nurhasan, Perkembangan Hukum Indonesia: Suatau Pendekatan Ekonomi-Politik, Yogyakarta: Disertasi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2006. Hal. 74.
[11] Apeldoorn ,Van, Op.cit,1990 Hal 24-25
[12] Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007, Hal 160.
[13] Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Cetakan Ke-enam, Hal. 19
[14] Ibid, Hal. 19
[15] Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bandung : PT Refika Aditama, , 2007, hal. 20-21