-->

Awal Waktu Shalat Isya’ Menurut Imam Syafi’i dalam Kita Al-Umm

Awal Waktu Shalat Isya’ Menurut Imam Syafi’i dalam Kita Al-Umm - Awal Waktu Shalat Isya’ Menurut Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm

Telah bercerita kepadaku Malik dari Nafi’ Maula Abdillah bin Umar sesungguhnya Umar bin Khaththab telah menyatakan kepada para pekerjanya: sesungguhnya urusan kalian yang terpenting menurutku adalah shalat. Barang siapa yang menjaga dan memeliharanya sungguh-sungguh, maka dia menjaga agamanya. Barang siapa yang menyia-nyiakannya maka perbuatan lain pun lebih sia-sia . Kemudian Umar mewajibkan kepada para pekerjanya untuk Shalat Dhuhur ketika panjang bayang-bayang satu dzira’ hingga panjang bayang-bayang sama dengan panjang mereka. Shalat Ashar ketika matahari masih tinggi dan putih bersih, sekiranya seseorang yang melakukan perjalanan dengan kendaraan masih mudah menempuh jarak dua farsakh atau tiga farsakh sebelum matahari terbenam. Shalat Maghrib ketika terbenamnya matahari. Shalat Isya’ ketika hilangnya syafaq hingga sepertiga malam. Barang siapa yang tidur maka tidak tidur matanya. Barang siapa yang tidur maka tidak tidur matanya. Barang siapa yang tidur maka tidak tidur matanya. Shalat Subuh ketika bintang-bintang masih tampak terang.” (H.R. Malik bin Anas)
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa awal waktu Shalat Dhuhur adalah ketika panjang bayang-bayang satu dzira’ hingga panjang bayangbayang seseorang sama dengan panjang orang tersebut. Shalat Ashar dimulai ketika matahari masih tinggi dan warnanya masih putih bersih hingga seseorang masih mudah melakukan perjalanan sepanjang dua farsakh atau tiga farsakh. Waktu Shalat Magrib dimulai ketika terbenamnya matahari. Shalat Isya’ dimulai ketika hilangnya syafaq hingga sepertiga malam. Waktu Shalat Subuh dimulai ketika bintangbintang mulai tampak meredup.

Dari hadits di atas dijelaskan bahwa waktu Isya’ dimulai saat alsyafaq menghilang dan berakhir saat sepertiga malam. Dalam hal ini beberapa ulama berbeda pendapat mengenai awal dan akhir waktu Shalat Isya’. Adapun perbedaan mengenai awal waktu Shalat Isya’ terletak dalam pemaknaan kata al-syafaq sebagai tanda berawalnya waktu Shalat Isya’ tatkala al-syafaq tersebut menghilang. Sedangkan perbedaan dalam akhir waktu Shalat Isya’ terletak pada batas pembagian malam.

Al-syafaq dalam kalangan ulama memiliki dua arti, yaitu al-syafaq al-ahmar (mega merah) dan al-syafaq al-abyadh (mega putih). Adapun Ulama yang berpendapat bahwa al-syafaq berarti al-syafaq al-ahmar salah satunya adalah Imam Syafi’i. Sedangkan yang berpendapat al-syafaq berarti al-syafaq al-abyadh salah satunya adalah Imam Abu Hanifah.

Pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa al-syafaq adalah al-syafaq al-ahmar tertuang dalam qaul jadidnya yang tertulis dalam kitab al-Umm. Adapun pendapat Imam Syafi’i mengenai al-syafaq pada khususnya dan waktu Isya’ pada umumnya adalah sebagai berikut:
Berkata Imam Syafi’i, telah dikabarkan kepada kami oleh Sufyan dari ibnu Abi Lubaid dari Abi Salamah bin Abdurrahman, dari Ibnu Umar, bahwa Nabi saw. bersabda: ‘tiada akan dikalahkan kamu oleh orang arab desa atas nama shalatmu, yaitu Shalat Isya’ selain bahwa mereka itu berlambatan dengan unta.’ Aku menyukai bahwa tidak dinamakan selain Isya’, sebagaimana yang dinamakan oleh rasulullah saw. dan awal waktunya ketika hilang al-Syafaq. al-Syafaq yaitu merah pada tempat matahari terbenam. Apabila telah hilang yang merah, lalu tidak kelihatan sesuau dari padanya, niscaya datanglah waktu Isya’. Siapa yang memulai waktu Isya’ dan masih ada sedikit dari yang merah itu, niscaya ia mengulanginya. Sesungguhnya aku mengatakan tentang waktu masuk dalam shalat. Maka tiada bagi seorang pun bahwa masuk dalam shalat, melainkan sesudah masuk waktunya. Bahwa tidak dikerjakan sesuatu padanya, selain sesudah masuk waktu. Dan tidak takbir, karena takbir itu masa masuknya dalam shalat. Apabila takbir itu memasukkannya dalam shalat sebelum waktu, niscaya ia mengulanginya. Akhir waktu Isya’ ialah berlalu sepertiga malam. Maka apabila telah berlalu sepertiga malam yang pertama, niscaya aku berpendapat, bahwa waktu telah luput. Karena itu akhir waktunya. Dan tidak datang dari Nabi saw. padanya sesuatu, yang menunjukkan bahwa Isya’ itu tidak luput, selain sesudah waktu itu. Waktu-waktu shalat seluruhnya itu tidak diqiaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan berbuatlah orang menurut kehendaknya dalam keadaan kabut, dalam penjara yang gelap dan orang buta yang tidak ada bersamanya seseorang, sebagaimana yang aku terangkan yang diperbuatnya pada Dhuhur. Dan berbuat menurut kehendaknya dalam malam itu lebih ringan dari berbuat bagi shalat siang, karena panjang waktunya, bersangatan gelap dan nyatanya malam.”
Dari pernyataan Imam Syafi’i di atas sudah jelas bahwa awal waktu Shalat Isya’ itu dimulai setelah hilangnya al-syafaq. al-syafaq yang dimaksud di sini adalah al-syafaq al-ahmar atau mega merah yang muncul di ufuk barat saat matahari terbenam. Adapun tanda-tanda ketika al-syafaq al-ahmar atau mega merah menghilang adalah ketika keadaan di sekitar ufuk barat sudah tidak terlihat suatu apapun atau bisa dikatakan keadaan alam sekitar ufuk barat sudah gelap.

Jadi menurut Imam Syafi’i bahwa awal waktu Shalat Isya’ itu dimulai ketika hilangnya mega merah yaitu saat keadaan alam sekitar ufuk barat sudah tidak terlihat suatu apapun atau dalam keadaan gelap. Apabila seseorang melaksanakan Shalat Isya’ ketika keadaan langit ufuk barat masih terdapat sinar merah atau bisa dikatakan keadaan ufuk masih terdapat pembiasan sinar matahari sehingga batas ufuk masih terlihat meskipun hanya samar-samar, maka shalat orang tersebut tidak sah, karena belum masuk waktu Shalat Isya’.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-syafaq yang dimaksud dalam awal waktu Shalat Isya’ adalah al-syafaq al-ahmar atau mega merah, berdasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Daruquthniy. 

Adapun hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Mukhallid, telah diceritakan oleh waki’ telah diceritakan oleh al-Amriy dari Nafi’ dari Ibn Umar berkata: mega itu merah. (H.R. Ad-Daruquthny)
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Ibnu Umar r.a. pernah mendengar Nabi saw. bersabda bahwa yang dimaksud dengan al-syafaq adalah al-syafaq al-ahmar. Maka dari hadits inilah Imam Syafi’i menguatkan pendapatnya bahwa al-syafaq yang dimaksud dalam hadits Nabi saw. sebagai tanda berawalnya waktu Shalat Isya’ adalah al-syafaq al-ahmar.

Hadits ini juga diperkuat dengan hadits-hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Daruquthniy. Adapun hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Saya telah membaca kitab asli Ahmad bin Amr bin Jabir al-Ramliy dengan tulisannya telah menceritakan kepadaku Ali bin Abd. al-Shamad al-Thayalisiy diceritakan oleh Harun bin Sufyan diceritakan oleh Athiq bin Ya’qub diceritakan oleh malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibn Umar berkata: bersabda Rasulullah saw.:al-syafaq (mega) adalah merah, ketika al-syafaq hilang maka wajib melaksanakan shalat.” (H.R. al-Daruquthniy)
Telah menceritakan al-Qadhiy al-Hasan bin Ismail diceritakan oleh Abbas al-Dauriy diceritakan oleh Ya’qub bin Muhammad al-Zuhriy diceritakan oleh Muhammad bin Ibrahim bin Dinar diceritakan oleh Abu al-Fadhil Maula Thalhah bin Umar bin Abdillah dari Ibn Abi Lubaibah dar Abi Hurairah berkata: alsyafaq (mega) adalah kemerah-merahan.” (H.R. Daruquthniy)
Adapun ulama yang berpendapat sama dengan pendapat Imam Syafi’i diantaranya adalah Ibnu umar, Ibnu Abbas, Athok, mujahid, Sa’id bin Jabir, Zuhry, Malik, Tsaury, Ibnu Abi Laily, Ishaq. Madzhab malikiyah juga berpendapat bahwa al-syafaq ialah mega merah atau alsyafaq al-ahmar. al-Daruquthny, Ibnu Hibban, Abu Yusuf, Muhammad Ibnu al-Hasan, al-Syamany, Abu Daud, Imam al-Nawawy, al-Farra’, Makhul, dan Thawus juga mengartikan al-syafaq sebagai al-syafaq alahmar atau Mega merah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel